Jumat, 24 Juni 2011

Tentang Bahasa Politik


Ours is the age of substitutes: Instead of language we have jargon; instead of principles, slogans; and instead of genuine ideas, bright suggestions.

(Eric Bentley - developingteachers.com)

Mari merenung soal bahasa. Ya , bahasa atau bunyi-bunyi yang mempunyai makna yang keluar dari mulut manusia.  
Bahasa adalah alat komunikasi  berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.  Semua makhluk sosial , mulai  semut, ikan paus dan monyet  berkomunikasi satu sama lain, namun hanya manusia yang mampu  menciptakan bahasa yang tidak hanya berupa bunyi atau sinyal-sinyal.  Manusia adalah makhluk sosial yang pandai menciptakan alat atau media (tool-using animals) dan alat  yang paling hebat yang dikembangkan manusia adalah bahasa : lisan maupun tulisan (Gorys Keraff ,1997 dan Patrick Lockerby http://www.science20.com/chatter_box/ blog/ what_language).
Melalui bahasa manusia bisa bekerja sama dan berinteraksi dengan sesamanya. Bahasa juga bisa menjadi simbol identitas diri seseorang. Pada dasarnya, bahasa memiliki fungsi utama sebagai alat untuk mengekspresikan diri, sebagai alat untuk berkomunikasi. Namun di tangan manusia, bahasa bukan sekedar alat untuk berkomunikasi tapi dapat pula dimanipulasi sedemikian rupa   untuk memaksimalkan kepentingannya.


Lihatlah bagaimana para pejabat Negara dan politisi pandai berpidato dan menghipnotis pendengarnya dengan janji-janji dan retorika. Yang keluar dari mulut mereka adalah susunan kata-kata yang membentuk kalimat indah, dengan intonasi dan nada suara yang membius sehingga pendengarnya mau bertindak sesuai dengan isi pesan yang disampaikan. Politisi menyadari betul kekuatan bahasa dalam mempengaruhi pikiran manusia. Manusia memang makhluk yang ahli memanipulasi apapun, termasuk memanfaatkan  bahasa untuk alat politik atau alat kontrol sosial.
Dalam politik, fungsi bahasa diredusir sebatas sebagai alat untuk mengekspresikan kekuasaan.   Bahasa politik adalah bahasa sebagai alat persuasi sehingga sarat dengan eufemisme, jargon dan retorika. Penggunaan gaya bahasa eufemisme dimaksudkan untuk membuat segala sesuatu menjadi tampak berkesan positif , berkesan lebih baik ketimbang realitas senyatanya. Eufemisme dan retorika adalah cara membungkus  agar tindakan dan kebijakan penguasa kelihatan beradab namun cara ini  membuat  bahasa menjadi tersesat  jauh dari makna sebenarnya. Bahasa yang digunakan untuk kepentingan kekuasaan akan  mengalami distorsi makna yang luar biasa.
Ini contoh eufemisme ala Orde Baru :
-    Realitasnya penangkapan, penculikan, pembunuhan terhadap mahasiswa, namun istilah yang dipakai pemerintah adalah mengamankan, menertibkan, atau menjaga stabilitas nasional.
-    Istilah penataan kelembagaan seperti dalam kasus tata niaga cengkeh atau jeruk. Realitasnya justru malah semrawut, eksploitatif, serta memporak -porandakan sistem pasar cengkeh/jeruk  yang sebelumnya relatif stabil.
-    Istilah normalisasi kampus mestinya membuat kehidupan akademik bergerak ke arah yang lebih baik. Justru sebaliknya kebebasan mahasiswa
menjadi semakin terkungkung, wacana ilmiah merosot, sikap kritis luluh, kemampuan berorganisasi berkurang
Namun eufemisme atau penghalusan bahasa ternyata hanya berlaku untuk tindakan dan kebijakan penguasa. Sedang untuk masyarakat yang ingin mengkritisi kebijakan penguasa digunakan bahasa sarkasme. Seringkali orang atau masyarakat yang ingin mengkoreksi tindakan sewenang-wenang penguasa, mereka malah dicap subversif atau makar (Moch. Jalal).


Dalam politik, bahasa menjadi tak bermakna karena  tidak keluar dari hati. Pesan perdamaian tidak akan sampai jika si pemberi pesan menunjukkan perilaku yang mengobarkan peperangan. Ini contohnya :
“One way to fight evil is to fight it with kindness and love and compassion” (George W. Bush)
Bahasa sebagai alat politik adalah kata-kata yang keluar dari mulut orang yang suka berjanji tanpa ada komitmen untuk menepatinya . Bahasa sekedar pemanis bibir. Mau tahu contohnya lihat saja saat musim kampanye akan banyak sekali berhamburan kata-kata yang manis di bibir saja  atau contoh yang satu ini :


“Kita mengharapkan hukum dan keadilan ditegakkan, serta korupsi, kolusi dan nepotisme terus diberantas Di masa depan nanti, pakta integritas akan menjadi best practices di semua lini pembangunan. Pemerintahan Indonesia masa depan, Insya Allah, akan makin bersih dari semua wujud tindak pidana KKN”  
(Pidato Presiden SBY menyambut hari kemerdekaan di Rapat Paripurna DPR, Senayan, Jakarta, Jumat 14 Agustus 2009 - Vivanews.com).
Bahasa sebagai alat kuasa  juga bisa keluar dalam bentuk kata-kata nasehat bijak yang dikotbahkan oleh orang yang justru melanggar apa yang dikotbahkannya.  Contohnya coba dicari sendiri pada tokoh-tokoh terkenal yang sering tampil di TV atau tokoh-tokoh tidak terkenal di sekitar kita. Ada tidak orang yang pandai berkotbah, tapi perilakunya tidak sejalan dengan yang dikotbahkannya. Pantun Jawa untuk orang seperti ini adalah “Wit gedang woh pakel. Ngomong gampang, nglakoni angel “ (Pohon gedang (pisang), berbuah pakel (jenis mangga). Omong gampang, menjalani susah). Semakin banyak tipe  orang yang hanya pandai berkotbah tapi tidak mengimplementasikan kotbahnya membuat bahasa mengalami inflasi. Istilah atau konsep-konsep religius apabila menjadi bahasa politik akan mengalami kemerosotan makna dan menjadi sekedar jargon atau slogan.


Bahasa sebagai alat politik bisa menjadi tidak bernilai karena jatuh menjadi sarana untuk mengumpat, mencaci-maki dan menelanjangi kejelekan orang lain. Bahasa menjadi alat untuk mengobarkan konflik, kebencian, dan pembunuhan karakter  lawan politik. Lihatlah propaganda atau perang wacana  para politisi dari partai politik yang berseberangan. Contohnya mudah ditemukan di TV One atau Metro TV.
Kalau demikian, adakah bahasa yang membuat orang  tidak sekedar mengerti maknanya tapi pesannya juga sampai , tidak hanya ke telinga tapi juga ke hati pendengarnya ?
Ada. Menurut Project Pop adalah bahasa musik. Jika dengan bahasa politik kita sibuk berkelahi, lantas apakah yang bisa menyatukan kita? Jawabnya adalah dengan musik dangdut.  Dangdut is the music of my country. Di dalam masyarakat dimana bahasa telah kehilangan maknanya, musik menjadi media komunikasi yang  bisa berbicara lebih keras dibanding susunan kata-kata lisan yang keluar dari mulut manusia.  
Music speaks louder than words” – musik berbicara lebih keras dibanding kata-kata, demikian judul lagu jadul dari Peter, Paul & Mary.
Music speaks louder than words
It's the only thing that the whole world listens to.
Music speaks louder than words,
When you sing, people understand.

Sometimes the love that you feel inside
Gets lost between your heart and your mind
And the words don't really say the things you wanted them to.
But then you feel in someone's song
What you'd been trying to say all along
And somehow with the magic of music the message comes through
Karena itu daripada pusing memikirkan politik, lebih enak mendengarkan lagu Project P ini
Gambar : filipspagnoli.wordpress.com




1 komentar:

  1. Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
    Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.

    Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)

    BalasHapus