Jumat, 17 Agustus 2012

Tentang Memaafkan : Coretan Menyambut Hari Lebaran


Besok  -tanggal 19 Agustus 2012 - kita merayakan Hari Lebaran atau Idul Fitri. Lebaran di Indonesia tidak sekedar perayaan keagamaan yang dijalankan oleh pemeluk agama Islam, tapi telah menjadi ritual budaya yang dilakoni oleh semua lapisan masyarakat.  Di hari ini, kata “maaf” menjadi kata yang akan sering diucapkan atau lengkapnya “maaf lahir dan batin”, yang maknanya kurang lebih permintaan maaf yang tidak sekedar lip service, tapi benar-benar permohonan maaf yang tulus yang keluar dari lubuk hati.  

Mumpung ini momen lebaran yuk kita mengulas seputar maaf memaafkan. Saya tidak akan menyorotinya dari perspektif religi karena tidak mempunyai kapasitas untuk itu. Saya akan memaknai arti dan manfaat memaafkan dari sisi yang umum. Dari ngobok-obok internet akhirnya saya temukan banyak artikel yang mengulas tentang makna penting memaafkan dan melupakan kesalahan.

Tom Valeo dengan sangat menarik mengulas manfaat memaafkan dari sisi kesehatan jiwa dan fisik. Memaafkan atau mengampuni merupakan suatu bentuk ungkapan cinta –suatu hadiah yang diberikan secara cuma-cuma bagi siapa saja yang telah menyakiti kita. Hasil penelitian membuktikan bahwa mengampuni membawa manfaat yang sangat besar bagi orang yang memberikan hadiah (maaf) itu. Jika seseorang dapat memaafkan dan melupakan kesalahan, ia akan menikmati tekanan darah, sistem kekebalan tubuh yang kuat, dan penurunan hormon stres yang beredar dalam darah. Sakit punggung, masalah perut, dan sakit kepala bisa hilang, karena  mengampuni dapat mengurangi kemarahan, kepahitan, dendam, depresi, dan emosi negatif lain yang biasa muncul  apabila seseorang sulit untuk memaafkan.

Meskipun memaafkan bisa mendatangkan manfaat yang luar biasa, tapi tetap saja tidak mudah untuk dipraktekkan. Terus gimana caranya supaya bisa mengampuni kesalahan ?

Menurut Frederic Luskin, PhD, direktur  the Stanford University Forgiveness Project (dalam Valeo) memaafkan atau mengampuni itu , seperti halnya mencintai, tidak bisa dipaksakan. Luskin menyatakan untuk mampu mengampuni pertama-tama orang harus mengembangkan budaya terima kasih atau bersyukur , yakni  upaya aktif untuk mengakui apa yang baik dalam hidup Anda dengan senantiasa memfokuskan pada hal-hal positif. Kemampuan berpikir positif  bisa diperoleh melalui manajemen stress atau kontrol emosi yang bisa dibantu lewat cara meditasi dan relaksasi. Orang yang mampu bersyukur akan memandang hal-hal negatif dengan kacamata positif. Kejadian yang menyakitkan hati dan kondisi yang menjengkelkan akan selalu dicari hikmahnya.  Orang yang mampu bersyukur adalah orang yang senantiasa melihat masa depan dengan penuh harapan dan tidak suka mengeluh atau pun menyimpan kesalahan.

Kedua, memaafkan lahir dan batin. Everett L. Worthington Jr., PhD, profesor psikologi  dari  Virginia Commonwealth University mengemukakan dua jenis pengampunan yaitu pengampunan decisional dan pengampunan emosional (dalam Vale0).  Pengampunan decisional adalah tindakan melepaskan pikiran-pikiran marah terhadap orang-orang  yang telah membuat sakit hati. Adapun pengampunan emosional adalah level pengampunan yang lebih tinggi di mana emosi negatif seperti kemarahan, kepahitan, permusuhan, kebencian, kemarahan, dan ketakutan digantikan dengan cinta, kasih sayang, simpati, dan empati.  Jadi pengampuan desisional itu bisa disebut maaf hanya di bibir saja atau secara lahirnya saja karena kesalahannya belum bisa dihapus dari hati dan ingatan. Sedang pengampunan emosional adalah pengampunan dari dalam hati atau maaf lahir dan batin yakni memaafkan secara lisan dan juga melupakan segala kesalahan dan sakit hati dan menguburnya sebagai masa lalu yang harus dilupakan. Dengan memaafkan lahir batin seseorang bisa membangun hubungan baru yang tulus.

Menurut Worthington ada 5 langkah pengampunan emosional yang disingkat dengan REACH.  Pertama, Recall atau mengingat atau bahasa Jawanya ngonceki semua rasa  sakit hati secara obyektif, tanpa menyalahkan dan melihat diri sendiri sebagai korban. Kemudian Emphatize,  berempati dengan mencoba membayangkan sudut pandang orang yang bersalah pada kita. Altruistic, memaafkan lahir dan batin akan mudah dilakukan dengan cara membayangkan dan merasakan bagaimana rasanya saat kesalahan kita diampuni. Commit,  dalam berkomitmen untuk memberi maaf  seringkali kita merasa tidak siap atau belum ikhlas untuk memaafkan kesalahan, namun apabila telah berketetapan (commit) untuk memaafkan maka kita harus benar-benar Hold on atau sepenuh hati  memaafkan kesalahan itu lahir dan batin, jangan diingat atau diungkit-ungkit lagi kesalahan itu.

Demikian coretan singkat tentang makna memaafkan. Semoga bermanfaat. Akhirnya, selamat menyambut Lebaran. Mari kita saling maaf dan memaafkan secara lahir dan batin.


Sebagai pelengkap mari kita renungi kata-kata bijak yang saya kutip dari  inspirationalspark. com berikut ini  :

"Let us forgive each other - only then will we live in peace." ~ Leo Tolstoy

"To err is human, to forgive, divine." ~ Alexander Pope

"A heart filled with anger has no room for love."~ Unknown

"Forgive all who have offended you, not for them, but for yourself." ~ Harriet Nelson

"To forgive is the highest, most beautiful form of love. In return, you will receive untold peace and happiness." ~ Robert Muller



Referensi :
Tom Valeo. Forgive and Forget <http://www.webmd.com/mental-health/features/forgive-forget>

Gambar : 123rf.com dan kartu lebaran dari 1.bp.blogspot.com

Kamis, 16 Agustus 2012

Kampanye Politik di Jaman Internet (catatan menyambut ultah NKRI ke 67)


Pilgub DKI Jakarta tahun 2012 memang menarik  untuk diamati. Bukan soal isu SARA yang heboh itu. Tapi model atau cara baru berkampanye yang menjadi semakin kreatif dan inovatif berkat  bantuan tehnologi komunikasi. Di zaman Orba kampanye banyak dilakukan dengan menempel spanduk atau baliho gambar calon yang bertebaran dimana-mana atau yang paling bikin sebel adalah pengerahan massa dan konvoi sepeda motor dengan suara meraung-raung memekakkan telinga. Saat ini model pengerahan massa selain tidak diperbolehkan juga sepertinya terkesan jadul. Di jaman digital, semakin banyak orang yang memilih internet sebagai media kampanye.

Cara kampanye yang unik dan kreatif dilakukan  pendukung Jokowi-Ahok dengan menciptakan game online yang diberi nama SELAMATKAN  JAKARTA Game yang terdiri dari 30 level ini bukan game sekedar game.  Game ini bercerita tentang usaha Jokowi untuk mengentaskan empat permasalahan utama di Jakarta, yakni oknum pejabat yang korup, pengusaha hitam, preman, dan tempat sampah.  Setelah memenangkan setiap level, akan keluar tagline seperti "Jakarta Baru Tanpa Kekerasan". Menurut Kompas.com hingga saat ini sudah 12.000-an orang yang bermain di desktop dan hampir 1.000 yang bermain game ini di Facebook (Kompas.com ). Yang menarik kreator game ini   bukan penduduk Jakarta atau orang Solo, tapi orang Bandung yang mengaku bukan tim kampanye Jokowi-Ahok (merdeka.com ).  

Kampanye kreatif di internet juga bisa dilihat dari visualisasi adaptasi lagu What makes you beautiful dari one direction yang di-upload simpatisan Jokowi. Berbagai model kampanye ini membuktikan bahwa media massa, khususnya internet,  mampu menyebarkan gaung Pilgub DKI bak kompetisi Indonesian Idol yang menarik perhatian publik untuk ikut terlibat secara emosional dalam kontestasi politik ini.

Internet terbukti telah menjadi alternatif baru untuk merebut hati konstituen melalui sharing ide dan gagasan   lewat media sosial seperti facebook dan twitter, dan bahkan lewat media permainan. Perang , intimidasi atau istilahnya “panas-panasan” saling menyerang pribadi antar kandidat yang biasa dilakukan melalui pengerahan massa pendukung di lapangan atau stadion, yang disitu dihadirkan tokoh atau figur publik sebagai juru kampanye dan dimeriahkan dengan orkes dangdut atau artis,  tidak lagi ampuh sebagai magnet untuk menarik atau mempengaruhi pilihan masyarakat. Bagi masyarakat perkotaan yang melek internet, media sosial di dunia maya lebih dipilih sebagai referensi untuk mengenal lebih jauh para kandidat dalam pemilihan politik.  Di kota-kota besar, internet telah memindahkan medan kontestasi politik dari lapangan ke dunia maya. Konsentrasi massa tidak lagi dibatasi ruang dan waktu. Dunia maya adalah lahan kampanye yang bisa menampung jumlah massa yang tanpa batas. Disini setiap individu bisa menjadi juru kampanye bagi kandidat yang didukungnya.

Namun model kampanye via internet  punya keterbatasan karena hanya efektif diaplikasikan di wilayah kota-kota besar seperti Jakarta, bukan di wilayah yang masih sulit terjangkau jaringan internet.  Dan lagi, kampanye via dunia maya lebih pas untuk menjangkau kelompok menengah atas perkotaan dan berpendidikan cukup yang kebanyakan merupakan pemilih rasional. Bagi pemilih tradisional atau yang memilih atas dasar ikatan primordial yang kebanyakan ada di daerah pinggiran dan pedesaan, perang isu lewat internet tidak mereka kenal. Bagi kelompok ini suara patron atau tokoh lebih didengarkan sehingga kampanye dengan isi pesan dan model apa pun ya tidak ngaruh, yang dicoblos ya sesuai dengan arahan tokoh yang dihormatinya.

Bagi basis massa tradisional, kampanye internet secanggih apa pun sulit untuk menggoyahkan pilihan politik yang sudah jadi tradisi turun menurun. Saya tidak akan mengatakan pemilih yang berlandaskan ikatan primordial sebagai tidak berpendidikan dan tidak rasional. Setiap orang punya rasionalitasnya sendiri-sendiri. Setiap orang mempunyai acuan nilai yang dipandang paling baik untuk dirinya. Tidak bisa standard nilai seseorang atau kelompok  dipaksakan untuk diterima sebagai kebenaran bagi banyak orang. Namun, menyangkut pengelolaan urusan publik,  idealnya setiap warga negara  berpegang pada rasionalitas publik atau  prinsip kepentingan dan kesejahteraan publik mengatasi semua kepentingan individu dan kelompok.

Besok, tanggal 17 agustus 2012, usia Indonesia akan genap 67 tahun. Di usia 67 mestinya Indonesia sudah cukup dewasa dan telah memiliki dasar nilai bersama yang kokoh dan  disepakati semua elemen anak bangsa. Pancasila sebagai ideologi negara harusnya sudah tertanam sebagai rule of the game , termasuk dalam berkompetisi politik. Kalau ternyata isu SARA atau  ikatan primordial masih menjadi jualan dalam meraih dukungan suara publik ini artinya nilai-nilai Pancasila belum terinternalisasi dan rasionalitas publik belum bisa diterima sebagai  etika governance oleh segenap elemen bangsa.

Terkait dengan pilgub DKI Jakarta, penduduk Jakarta tentunya sangatlah beragam dan tidak semuanya punya rasionalitas publik yang tinggi. Bagaimana pun basis massa tradisional juga cukup banyak. Jadi siapa nanti yang terpilih jadi Gubernur Jakarta sedikit banyak akan bisa menjadi barometer atau memberikan gambaran profil dan preferensi  pemilih Pemilu 2014. Dan kalau yang menang adalah calon incumbent yang banyak  mengusung isu SARA  ini berarti ikatan primordial masih menjadi dasar kuat dalam membuat  pilihan atau keputusan politik.  Sebaliknya, kalau yang menang bukan calon incumbent berarti keinginan akan perubahan atau perbaikan kondisi sosial ekonomi lebih kuat ketimbang ikatan emosional primordial. Ini artinya basis massa tradisional sudah semakin tinggi rasionalitas publiknya atau juga bisa jadi mereka sudah patah arang dengan tokoh atau lembaga yang menjadi patronnya. Kalau ini yang terjadi berarti model kampanye cerdas dan kreatif yang mengedepankan rasionalitas publik sudah bisa diterima masyarakat. Yah, kita tunggu saja bagaimana akhir cerita drama Pilgub DKI Jakarta ini.

Gambar : reddigitalmedia.com

Kamis, 02 Agustus 2012

Ras , Etnis, dan Agama dalam Kontestasi Politik di Indonesia


Ras, etnis, dan agama menjadi isu yang sensitif untuk dibicarakan di Indonesia. Di era Orde Baru, isu seputar identitas kultural tersebut ditambah dengan antar golongan diberi istilah sebagai isu SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Keberagaman suku, ras dan agama adalah realitas sekaligus keunikan dan kekayaan Indonesia. Dari  sisi budaya, keberagaman identitas budaya ini termanifestasi dalam seni tradisi, ritual adat budaya dan agama yang dijalani dan dihidupi oleh ratusan etnis yang hidup di Indonesia. Bahkan tak jarang terjadi akulturasi budaya yang melahirkan budaya campuran yang unik khas Indonesia.  

Bila keberagaman identitas dari sisi budaya relatif mudah diterima bahkan diadopsi, tidak demikian halnya dengan keberagam identitas kultural di ranah politik praktis. Ras, etnisitas dan agama jika masuk ke praktek politik ternyata menghasilkan kontroversi, pro-kontra dan perdebatan panas seputar identitas primordial dan isu SARA yang tak ada matinya.  

Saya tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang identitas kultural di ranah politik setelah mengamati maraknya isu SARA selama proses Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahap pertama dan berkembang semakin panas dan intensif menjelang pemilihan tahap kedua di bulan September nanti.

Identitas Kultural dan Pilgub DKI Jakarta 2012
Ada beberapa hal yang menarik untuk diulas dari Pilgub DKI Jakarta tahun ini . Pertama-tama, tentu saja figur calon gubernur Jokowi yang berpenampilan menyempal dari gambaran umum kandidat kepala daerah yang kebanyakan suka tampil berwibawa, formal , religius, dan menggunakan identitas kultural etnisitas. Kelebihan Jokowi dibanding calon gubernur lainnya ada di caranya mendekati masyarakat yang terkesan merakyat dan natural tidak dibuat-buat. Pilihan  kostum baju kotak-kotak  dengan lengan digulung juga kostum yang aneh dan selama ini belum ada kontestan pilkada yang menggunakan model ini. Baju kotak-kotak dipadu celana jeans jelas bukan kostum yang match dengan pejabat publik di Indonesia.

Hal yang tak kalah menarik lainnya adalah figur calon wakil gubernur pasangan Jokowi , Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang keturunan Tionghoa atau orang Indonesia umum menyebut sebagai orang Cina. Selama ini jarang orang Cina yang cukup punya nyali untuk ikut berkompetisi dalam ajang Pemilihan Kepala Daerah. Institusi publik , terlebih birokrasi  di Indonesia, sepertinya menjadi tempat yang relatif steril dari etnis Cina. Nggak percaya? Coba tengok-tengok di instansi pemerintah atau lembaga pendidikan negeri , ada berapa PNS, tentara, atau dosen PTN yang beretnis Cina? Langka bukan? Melihat realitas ini, pilihan Jokowi untuk berpasangan dengan Ahok dan keberanian Ahok untuk terjun di kontestasi politik menjadi isu yang menarik untuk diulas lebih jauh. Kesediaan Jokowi untuk dipasangkan dengan wakil gubernur dari kelompok etnis dan agama minoritas dan penolakan pada penggunaan simbol dan identitas ras dan etnis untuk kepentingan politik merupakan tindakan yang berani dan seolah-olah hendak melawan model pemasaran politik yang selama ini menjadi pakem atau mainstream di banyak Pilkada di Indonesia.

Dan memang terbukti munculnya Jokowi-Ahok langsung mengundang munculnya beragam isu SARA seperti perdebatan seputar baju koko dan peci, ayat suci dan ayat konstitusi, orang Betawi dipertentangkan dengan orang daerah (Solo) dan orang Cina, dan soal memilih pemimpin yang harus seiman, dan masih banyak lagi. Isu-isu semacam ini kalau kita simak bukanlah isu baru tapi penyakit musiman yang akan kambuh setiap kali ada pemilihan pimpinan dimana penentuannya dilakukan melalui pilihan rakyat. Jadi lihat saja isu ini akan muncul di setiap voting pilihan pimpinan yang strategis, kalau memilih ketua selevel RT, PKK apalagi tugas sosial yang tidak ada sumber daya yang bisa diperebutkan ya jelas banget tidak akan dibutuhkan bantuan isu SARA.

Isu SARA menjadi jualan yang diobral bebas dan liar melalui sms dan internet selama masa Pilgub DKI Jakarta 2012 tentunya bukan  karena kali ini ada kehadiran Ahok yang orang Cina dan beragama Kristen. Buktinya, pada pemilu Presiden tahun 2004 yang lalu, isu SARA juga menerpa ibu Presiden dan Wakil Presiden yang meskipun beliau berdua itu mempunyai latar belakang agama yang jelas, tapi masih saja diperdebatkan soal kebenaran identitas agama mereka. Kemudian, dulu saat Megawati dianggap sebagai kandidat kuat calon presiden terjadi perdebatan panas seputar gender (boleh tidaknya perempuan menjadi pemimpin) dan gugatan seputar kadar keimanan Megawati. Kesimpulannya,  kalaupun sebenarnya tidak ada isu SARA yang bisa dimainkan ya dicari-cari atau digolek-goleki, pokoknya isu ini memang seksi banget dan gampang digunakan untuk menarik solidaritas dan loyalitas kelompok.

Apa dan Mengapa ada isu SARA di Kontestasi Politik?
Mengamati pemberitaan dan perdebatan di media cetak maupun elektronik seputar Pilgub DKI Jakarta tahun 2012 mengundang banyak pertanyaan liar di benak saya.  Mengapa ras dan etnisitas menjadi isu yang panas dan sensitif? Mengapa dan untuk apa to manusia kok dikelompok-kelompokkan ke dalam berbagai ras dan etnisitas?  Apakah ras dan etnisitas itu sesuatu yang kodrati atau hasil dari konstruksi sosial masyarakat? 

Ada banyak teori yang mencoba menjelaskan ras dan etnisitas dalam hubungannya dengan politik atau negara. Dua pendekatan yang utama adalah primordialisme dan pendekatan konstruktivis . Menurut pendekatan konstruktivis,  ras sesungguhnya lebih merupakan  merupakan konstruksi sosial politik. Negara yang mengkonstruksi atau membentuk kategori rasial. Di beberapa negara, ras digunakan sebagai alat memobilisasi pemilih saat pemilihan umum.

..race is greatly controlled and manipulated as a tool by many state governments. In some states, race is a tool used during election to garner when political parties represent a particular racial group and "play up" the race's differences from members of another race. If this situation of people identifying themselves along racial lines becomes too extreme, ethnonational riots may break out where one racial group feels it is unfairly treated by another. Political parties may hence used the race card to mobilize its voters (http://sc2218.wetpaint.com/).

Ras dan etnisitas menjadi isu yang seksi dalam pemilu. Mengapa demikian? Nampaknya ada keyakinan di benak para kandidat atau tim suksesnya bahwa cara termudah dan paling efektif menarik hati orang untuk memilih seorang kandidat adalah dengan cara membangkitkan ikatan emosional pemilih pada calon. Ikatan emosional mana yang bisa melebihi kecintaan seseorang pada identitas primordialnya : suku, agama, ras, dan golongan atau komunitas? Diantara semua identitas ini, suku-agama-dan ras menjadi identitas yang paling kuat sehingga mudah menyulut emosi. Dalam ras, agama dan etnisitas ada stigmatisasi dan pelabelan yang pada akhirnya akan bermuara pada  kebencian, syak wasangka, kecemburuan sosial, eksklusi dan inklusi.

Mengingat isu ras  dan etnisitas hanya muncul sebagai  jualan selama musim kampanye tidak aneh kalau ditarik kesimpulan bahwa isu SARA itu lebih sebagai komoditas politik. SARA sebagai alat politik tak ubahnya minuman keras oplosan yang bisa memabukkan dan mematikan. Apabila setiap orang Indonesia setuju dengan pandangan bahwa memilih pemimpin itu yang penting pokoknya yang utama harus beridentitas ras dan etnisitas (dan juga agama) yang sama dan soal kapabilitas serta integritas itu urusan belakangan, ya kita jadi tahu  salah satu faktor penghambat mengapa Indonesia sulit untuk maju.

Menurut saya tidak ada yang salah dengan kecintaan pada identitas primordial. Kelestarian nilai-nilai dan praktek budaya serta agama hanya dapat terjaga apabila setiap orang bisa menghargai dan menghidupi nilai dan ritual budaya dan agama yang  dicintainya. Tapi jangan sampai kecintaan kita pada identitas budaya dan agama membuat kita buta sehingga mudah dikendalikan untuk kepentingan yang sesungguhnya belum tentu berkaitan dengan ajaran luhur agama.

Bicara tentang identitas kultural, sesungguhnya etnisitas dan ras hanyalah idiom atau konsep yang hanya bisa dipahami oleh orang dewasa.  Ini membuktikan bahwa etnisitas dan ras dibangun untuk kepentingan orang-orang dewasa. Perbedaan ras, etnis, agama dan gender tidak ada dalam alam pikir anak-anak. Anak-anak bisa dikatakan buta warna kulit, ras, gender dan agama. Ingin tahu buktinya? Coba kita lihat iklan-iklan dari Petronas Malaysia ini.






Untuk lebih memahami tentang makna keberagaman bisa didengar apa kata Paul McCartney dan Stevie Wonder dalam lagunya Ebony and Ivory




Gambar : darren-ng.livejournal.com