Kamis, 17 Mei 2012

Lady Gaga dan Isu Moralitas


Negeri saya ini bener-bener lucu dan unik. Jika ditanyakan bagaimana rasanya jadi orang Indonesia, jawabannya seperti permen nano-nano  : manis, asem, kecut, semua ada. Kadang ada saatnya merasa bangga dan cinta, tapi akhir-akhir ini kok sepertinya lebih banyak bikin kecut dan cemberut.

Negara ini sepertinya semakin dilekatkan dengan kekerasan, kemunafikan, korupsi, dan pemerintahan yang kacau balau. Konflik antar kelompok masyarakat semakin sering terjadi. Tentang korupsi, Kompas hari Rabu 16 Mei 2012 menulis judul gede “Mental Korupsi Sudah Merata”, disitu diberitakan temuan BPK tentang korupsi birokrasi melalui perjalanan dinas yang mencapai 30-40 persen dari biaya perjalanan dinas Rp 18 trilyun selama setahun (wow...seram!!). Di tengah belitan kasus korupsi, kekerasan dan pengelolaan negara yang amburadul terselip hal-hal ringan dan sepele tapi ditanggapi secara serius dan berkembang menjadi perdebatan panas seputar isu moralitas.  Ada yang ngurus rok mini , video porno artis dan anggota dewan, dan yang lagi hangat saat ini soal Lady Gaga gagal konser.

Berhubung saat ini libur panjang dan saya mau santai menikmati liburan, saya nggak mau capek-capek berpikir serius seputar korupsi, kekerasan atau soal politik lainnya. Problem ini sudah banyak yang ngomong. Saya hanya ingin tahu siapa itu Lady Gaga?  Apa sih hebatnya si Lady Gaga ini kok bisa-bisanya mencuri perhatian sebagian orang-orang penting untuk sekedar  memberi komentar atau berkotbah soal moralitas? Bagaimana performance dan lirik lagunya sehingga dia  dituduh sebagai pembawa ajaran setan dan ditolak oleh banyak ormas keagamaan di Indonesia?

Dari jalan-jalan di internet saya menemukan berita tentang kiprah bermusik Lady Gaga. Menurut Dailymail.co.uk Lady yang satu ini dalam performance-nya memang sengaja menggunakan shock tactics dan melecehkan simbol-simbol agama Kristen demi untuk mendongkrak popularitasnya. Meski dibesarkan dalam keluarga dengan iman Katolik Roma dan saat kecil bersekolah di biara, tapi saat ini –seperti dikatakan Bill Donahue, Pemimpin umat Katolik di New York – dia sepertinya sengaja mengusik umat Katolik dan Kristen pada umumnya, seperti dalam pentas memakai gaun biarawati atau menelan rosario. Yang paling mengundang kemarahan adalah lagunya yang berjudul Judas. Judul ini diambil dari nama Judas Iskariot – murid Yesus yang berkhianat dengan menyerahkan Yesus ke musuhnya. Dalam lirik lagu Judas, ada beberapa lirik yang  bagi umat Kristen akan dikenali sebagai bagian dari kisah dalam Alkitab yang menggambarkan penghormatan Maria Magdalena kepada Yesus. Namun dalam lagu Judas, kisah di Alkitab diplesetkan oleh Lady Gaga menjadi kesetiaan  bukan pada Yesus tapi pada Yudas. Contohnya bisa disimak bait-bait ini :

When he comes to me, I am ready
I'll wash his feet with my hair if he needs
Forgive him when his tongue lies through his brain
Even after three times, he betrays me
..........
I wanna love you,
But something's pulling me away from you
Jesus is my virtue,
And Judas is the demon I cling to
I cling to

Sebenarnya, lirik lagu sebagai karya seni tak beda jauh dengan deretan kata dalam kalimat karya sastra – bersifat sangat multi interpretasi. Akibatnya, belum tentu makna dari si pembuat lirik akan dipahami secara sama oleh pendengar atau pembacanya. Dalam kasus Lady Gaga, lirik lagu yang identik dengan ayat di Alkitab ditambah lagi dengan visualisasi panggung atau  videoklip yang terkesan melecehkan simbol-simbol agama Kristen menjadikan kesan langsung yang tertangkap mata adalah pelecehan agama.

Namun dari kacamata rasa seni yang saya  miliki, terlepas dari keimanan saya, saya bisa saja menafsirkan lagu Judas ini sebagai ungkapan ketidakberdayaan perempuan yang terjerat dalam cinta buta pada laki-laki yang salah. Jika lihat videoklip Judas di youtube, disitu ada gerombolan laki-laki naik Harley Davidson pakai jaket kulit hitam yang di punggungnya tertulis Judas dan si Gaga membonceng dengan pakai kalung salib gede. Ini saya maknai sebagai Si Gaga jatuh cinta pada laki-laki bertipe Judas - dengan tampilan sangar pakai jaket kulit hitam bergambar tengkorak bertuliskan Judas. Si perempuan tahu bahwa laki-laki itu tipe yang tidak setia, tipe pengkhianat dan dia seharusnya memilih setia pada imannya – pada Yesus, tapi cinta yang buta membuatnya nggak bisa lepas dari si Judas. Ini jelas diungkap di kutipan bait yang kedua di atas yang terjemahan bebasnya kurang lebih begini :

Aku ingin mencintaimu,
Tapi ada sesuatu yang menarikku menjauh darimu
Yesus adalah kebajikanku,
Tapi  Yudas adalah setan saya pegang teguh...saya pegang teguh

Bisa juga saya menarik lirik ini untuk makna yang lebih luas dan mendalam, misalnya ini menggambarkan kondisi umat Kristen saat ini yang seharusnya setia berpegang pada ajaran mulia Yesus, tapi justru mengkhianati  perintah Yesus dengan menggadaikan iman demi materi, korupsi atau kekuasaan. Nggak salah kan , kalau saya menafsirkan lirik Judas seperti ini? Jika kita terbiasa membaca karya sastra, kita tidak akan mengartikan kalimat atau bahasa secara harfiah atau  tersurat tapi lebih secara tersirat- atau menggali makna dibalik kata.

Bicara soal tafsir lirik lagu akan menjadi semakin menarik kalau dikaitkan dengan pornografi. Dalam UU No 44 Th. 2008 tentang Pornografi disebutkan tulisan atau syair dikatakan porno kalau mengeksploitasi daya tarik atau bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa (pasal 4). Pasal ini hanya bisa menjerat tulisan yang bermakna harfiah, tapi tidak bisa menjerat tulisan, syair atau lirik yang tersirat. Lagu Cucak Rowo-nya Didik Kempot, misalnya, tidak ada liriknya yang berbau eksploitasi seksual, wong hanya bicara soal gadis yang takut dengan burung , yang dideskripsikan seperti ini :

Manuke manuke cucak rowo,
Cucak rowo dowo buntute
Buntute sing akeh wulune,
Yen digoyang ser-ser aduh enake
(Burungnya, burung cucak rowo...Cucak rowo panjang ekornya...Ekornya banyak bulunya...Kalau digoyang ser ser aduh enaknya)

Hal yang sama juga berlaku untuk lagu Julia Perez (Jupe) Belah Duren yang bicara tentang enaknya makan duren malam-malam dengan kekasih :


Makan duren dimalam hari
Paling enak dengan kekasih
Dibelah bang dibelah
Enak bang silahkan dibelah

Jangan lupa mengunci pintu
Nanti ada orang yang tau
Pelan-pelan dibelah
Enak bang silahkan dibelah

Tidak ada bau pornografi dalam kata per kata di lirik lagu Cucak Rowo dan Belah Duren. Kalau itu berbau atau berkonotasi mesum , itu karena daya interpretasi otak manusia atau cara memaknai pesan dibalik kata-kata.  Lha kalau bicara soal otak atau pikiran manusia, pasal hukum mana yang bisa untuk menjerat liarnya daya imajinasi manusia?  Menurut saya, mimik wajah Jupe saat menyanyikan Belah Duren jauh lebih mesum ketimbang Lady Gaga.  Belum lagi kalau dinilai dari kualitas liriknya.  Lirik lagu Cucak Rowo dan Belah Duren  sungguh dangkal dan tak jelas pesan apa yang mau disampaikan, selain hanya menyeret otak kita untuk berimajinasi jorok, punya Lady Gaga – secara sastra - jauh lebih berkelas. Entah mengapa, kalau mendengar lirik lagu Cucak Rowo dinyanyikan oleh anak-anak , saya jadi sebel dan geregetan. Meskipun lagu itu ceria seperti lagu anak-anak dan tidak ada kata-kata vulgar berbau seksual disitu, tapi kok rasanya jengah atau enggak nyaman banget dengar lagu itu keluar dari mulut anak-anak .

Saya  hanyalah seorang ibu yang berusia menjelang setengah abad, saya merasa tidak pantas menjadi fans Lady Gaga. Penampilan Lady Gaga yang vulgar , cara berbusana yang aneh,  serta videoklip yang terlalu mengumbar tubuh perempuan tidak connect dengan selera musik saya yang jadul. Meskipun demikian, saya mencoba memahami gerak jaman dengan segala dinamikanya. Mengapa anak muda lebih suka mengambil idola atau role model dari ikon dunia hiburan semacam Lady Gaga? Nampaknya anak muda jaman sekarang semakin realistis dan terbuka dalam menanggapi perbedaan. Standard moralitas tidak lagi diukur dari bagaimana seseorang memperlakukan tubuhnya atau identitas seksualnya, tapi lebih ke hal yang substansial seperti kejujuran, integritas, kesetiakawanan, dan kasih sayang. Prinsip mereka adalah  jadilah diri sendiri, siapa pun kamu, apa pun identitasmu. It’s okey,  sepanjang kamu tidak merugikan orang lain, tidak menyakiti orang lain. Gejolak jiwa muda adalah  pencarian jati diri dan pemberontakan pada tatanan yang dianggap mapan dan penuh kepalsuan.

Menurut saya,  Lady Gaga adalah gambaran ikon musik pop yang merepresentasikan anak muda abad internet : straight to the point, lugas, semua hal bebas diekspresikan dan diungkapkan, bahkan semua rambu tabu ditabrak tanpa rasa takut. Dari sisi penampilan, Lady Gaga terkesan pokoknya tampil eksentrik dan aneh. Pokoknya tidak umum , lihat saja sepatu-sepatunya atau kostum dan aksesoris panggungnya.  Lagu-lagu Lady Gaga mengungkapkan hal apa saja yang bisa mengguncang nilai-nilai sosial yang mapan. Misalnya,  Born This Way menyuarakan keberanian untuk mengungkapkan jati diri  dan menerima serta menghargai identitas kultural apa pun, termasuk identitas seksual yang berbeda atau dianggap menyimpang dari nilai moralitas dan agama. Lady Gaga kebetulan datang ke Indonesia di saat yang bersamaan dengan Irshad Manji – perempuan warga Kanada (mengaku sebagai lesbian) yang juga dituduh mengusik nilai-nilai keagamaan melalui tulisan di buku-buku karyanya.

Terkait dengan isu moralitas dan identitas seksual,  abad ini adalah abad galau dan gamang karena sepertinya moralitas tidak lagi bisa hitam putih, ada banyak wilayah abu-abu. Ajaran agama apa pun dan masyarakat mana pun tidak bisa menerima pelecehan terhadap ajaran atau kesakralan simbol agama, ekspresi tubuh yang bebas, terlebih lagi  perilaku seksual “menyimpang” . Isu-isu tabu ini yang nampaknya coba disuarakan oleh Lady Gaga dan Irshad Manji. Jadi bisa dimaklumi kalau kedatangan kedua perempuan ini menyinggung sensitivitas religius kelompok ormas keagamaan yang harus menjalankan peran penjaga moralitas masyarakat.  Di satu sisi, sebagai orang yang mengaku beragama saya bisa memahami kekhawatiran ormas keagamaan menghadapi gempuran ikon-ikon budaya pop global yang banyak mengabaikan nilai moralitas demi mengeruk keuntungan ekonomis sebanyak-banyaknya.   Namun di sisi lain, dalam hidup bermasyarakat dan bernegara yang menjunjung tinggi hak dan martabat manusia, kita tidak dibenarkan untuk menggunakan kekerasan atau paksaan untuk menolak segala sesuatu yang dianggap bertentangan dengan nilai agama dan budaya. Pendekatan agama adalah pendekatan persuasif, pendekatan yang bermartabat dan beradab.

Dalam perspektif administrasi negara, persoalan moralitas agama menjadi wilayah otoritas kelembagaan agama yang merupakan institusi sipil. Tidak dibenarkan kalau ormas keagamaan sebagai institusi sipil mendesakkan prinsip dan nilai yang diyakininya  secara paksa dengan melakukan kekerasan ke kelompok sipil lainnya. Jika setiap kelompok masyarakat berdasarkan pemahaman akan prinsip dan nilai yang dianggapnya benar berpandangan dibenarkan bagi mereka untuk melakukan paksaan atau kekerasan pada pihak lain yang dianggapnya bertentangan atau melanggar nilai yang diyakininya, tak terbayangkan betapa kacaunya kehidupan sosial. Untuk itulah dibutuhkan kehadiran  administrasi negara sebagai mediator konflik  yang adil dan berdiri di atas semua golongan. Lembaga Negara  yang beradab mampu menjadi representasi kepentingan publik dan menjamin agar tiap-tiap individu dan kelompok dapat hidup berdampingan secara damai.  Apabila yang terjadi adalah institusi negara justru tunduk ,  memihak atau berkolaborasi  dengan yang kuat untuk  menindas yang lemah, maka inilah tanda dari kegagalan administrasi negara.


Gambar : 
musica.tuttogratis.it dan 123rf.com

Selasa, 08 Mei 2012

Ikatan Primordial, Identitas Sosial dan Konflik Komunal


Lagi-lagi kekerasan. Kali ini giliran terjadi (lagi) di Kota Solo. Rasanya capek ngomong soal kekerasan yang  hampir setiap saat terjadi di Indonesia, terutama Paska Orde Baru. Di blog ini, tema tentang kekerasan telah berkali-kali saya tulis. Sudah males banget mau nulis lagi tema yang sama, apa lagi yang mau diulas. Dan untuk apa? Apa gejala kekerasan cukup hanya dengan dianalisis dan didiskusikan saja? Apa dengan menuliskan ide atau pendapat akan bisa merubah cara pandang banyak orang tentang permasalahan sosial yang dihadapi bangsa Indonesia ini?

Namun, melihat gejala konflik sosial yang tidak sehat seperti terjadi di Solo beberapa hari yang lalu, saya tidak bisa acuh tak acuh lagi. Isu-isu liar  bertebaran di internet  dan bahkan di salah satu situs besar di Indonesia ada tulisan yang mengaitkan kekerasan antar kelompok preman dan sebuah ormas itu ke isu agama. Membaca debat panas dan cara penyikapi perbedaan yang terlontar membuat saya miris. Pikiran saya tidak bisa diam, bermacam-macam pertanyaan berkecamuk di benak saya. Mengapa konflik sosial antar  kelompok masyarakat , bahkan konflik antar individu yang bersumber pada persoalan yang sepele sekali pun , kalau itu melibatkan dua pihak yang berbeda identitas primordial (suku, ras, agama, dan antar golongan) mudah meletup menjadi bara konflik komunal atau konflik antar kelompok? Dan mengapa perbedaan identitas keagamaan dari pihak-pihak yang bertikai akan mudah membentuk solidaritas kelompok dan menyeret pada “aroma”  saling mengkambinghitamkan satu sama lain dan cenderung mengarah pada generalisasi yang stigmatis  pada pihak yang sudah diberi label buruk, bahkan sekali pun pihak itu tidak terlibat langsung di dalam konflik?

Agama nampaknya menjadi sense of identity paling kuat pada seseorang. Nilai religi yang ditanamkan secara intens dan terus menerus sejak kecil  hingga dewasa akan membentuk cara pandang yang baku dan rigid dalam memandang dunia sekitar : individu, kelompok, masyarakat , dan lingkungan atau sistem sosial, budaya, politik dan ekonomi. Ajaran dan nilai agama membentuk pola pikir atau perspektif yang seragam.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa proses penanaman nilai religi tidak sekedar berisi tuntunan menuju kebaikan, kriteria apa yang benar dan salah, yang boleh dan tidak boleh, pahala dan dosa, tapi disitu terdapat proses penguatan sense of identity – yang menegaskan siapa “kita”  dan “mereka”. Jalan agama adalah jalan menuju kepadaNya yang diklaim  paling benar oleh masing-masing penganutnya. Dan karena di dunia ini tidak hanya ada satu agama, maka akan ada pihak-pihak lain yang dianggap berbeda jalan,  yang akan dicap sebagai “sesat”. Dan misi penganut agama adalah mengajak atau membawa pihak-pihak yang dianggap “sesat” ini kepada jalan yang benar. Celakanya, ada "sebagian" kelompok beragama yang mempunyai pemahaman bahwa ,  jika mereka yang dianggap menyimpang atau melanggar ketentuan ajaran agama  tidak lagi bisa diluruskan dengan himbauan atau pengajaran maka dibenarkan kalau kelompok ini ditangani dengan cara kekerasan.Kekerasan akan pecah ketika kelompok yang dianggap sesat melakukan perlawanan.  Inilah akar konflik antara  “ sebagian pemeluk “ agama dengan mereka yang dicap non agamis atau “kafir”.Kasus kekerasan antara kelompok ormas beragama dengan kelompok  keagamaan yang dianggap sesat dan bentrok antara preman dengan ormas di Solo adalah contoh  konflik komunal  yang tahun-tahun terakhir ini sering  terjadi di banyak kota di Indonesia.

Konflik sosial berlatar belakang isu agama juga terjadi antar kelompok umat beragama. Hal ini bisa terjadi  karena ada ayat-ayat dalam kitab suci yang diyakini atau diinterpretasikan para penganutnya sebagai  firman   Tuhan yang mengharuskan pengikut suatu agama untuk menyebarkan ajarannya atau istilahnya mengajak kepada jalan yang benar dimana definisi jalan yang benar itu tergantung pada masing-masing penganut. Akibatnya, semua pemeluk agama yang “ekspansif” semacam ini akan mengklaim jalan agamanya yang paling benar dan berusaha menyebarkan misinya ke banyak orang.  Bisa dibayangkan kalau dua kelompok agama dengan pemahaman seperti ini sama-sama bersaing meraih “massa” sebanyak-banyaknya. Massa atau jumlah umat yang banyak – tak beda jauh dengan politik – adalah simbol pengaruh dan punya kekuatan riil. Sebagaimana partai politik dengan massa banyak akan berkontribusi dalam pemenangan kompetisi politik, terlebih lagi massa umat beragama dimana  ikatan dibangun  atas dasar loyalitas dan militansi agama yang relatif konstan.  Perebutan dan persaingan pengaruh dan massa umat  seringkali menimbulkan gesekan   di antara “pemeluk” agama. Konflik ini sekali pun tak selalu  tampak sebagai konflik terbuka tapi bak bara dalam sekam yang  setiap saat bisa terbakar jika ada pemantiknya.

Belajar dari berbagai kasus konflik dan kekerasan komunal seperti di Ambon dan Kalimantan ternyata pemicu konflik adalah persoalan pertikaian antara individu yang berkembang menjadi bentrok antar kelompok dan membesar menjadi konflik komunal karena menyeret identitas agama. Identitas agama menyeret identitas suku dan ras. Mengapa ini terjadi? Mengapa orang mudah bangkit emosinya apabila disinggung identitas primordialnya, lebih khusus lagi identitas agamanya? Mengapa agama merupakan identitas sosial yang kuat bagi seseorang?

Dalam upaya  memperkuat ikatan umat pada agamanya, terkadang tidak cukup dengan internalisasi kesalehan sosial atau manifestasi pada relasi kemanusiaan, tapi juga upaya menjadikan agama sebagai identitas sosial seseorang. Identitas sosial adalah pemaknaan seseorang tentang siapa dirinya (self-concept) sesuai dengan keanggotaannya dalam suatu kelompok. Menurut Jacobson ( dari blog.uin-suska.ac.id/ivan/teori identitas sosial fokus  terhadap individu dalam mempersepsikan dan menggolongkan diri mereka berdasarkan identitas personal dan sosial mereka. Lebih lanjut teori identitas sosial menyatakan ketika individu bergabung dengan kelompok, dan kelompok itu memiliki status yang superior dibandingkan kelompok lain, maka hal ini akan meningkatkan self -image mereka sendiri.

Apabila agama menjadi identititas sosial seseorang, maka dia akan mengidentifikasi dirinya dengan segala sesuatu yang menjadi ajaran dan identitas agamanya. Agama adalah identitas diri atau self –image , citra diri seseorang dimana disitu ada nilai-nilai yang menjadi miliknya, ada kelompok yang bisa diakui sebagai komunitasnya.  Agama sebagai identitas sosial cenderung bersifat tertutup atau eksklusif, karena itu mudah dijadikan sarana untuk menggalang solidaritas kelompok. Sayangnya, tidak jarang ditemui adanya upaya menumbuhkan solidaritas dan soliditas kelompok keagamaan dengan menanamkan pemahaman tentang adanya “musuh bersama” yang mengancam eksistensi dan kemurnian agamanya. Apabila dua kelompok keagamaan dengan cara pandang semacam ini berkompetisi, maka yang ada hanya kecurigaan dan ketidak percayaan satu sama lain. 

Dalam suatu masyarakat apabila kecurigaan, syak wasangka, dan ketidakpercayaan di antara kelompok masyarakat yang berbeda itu sudah membatu, ini menunjukkan gejala masyarakat yang tidak sehat. Ini sinyal bahwa segregasi sosial itu sudah sedemikian akut.  Sedikit saja terjadi gesekan di antara mereka akan gampang membangkitkan solidaritas kelompok. Inilah yang memicu konflik komunal.



Konflik komunal akan mudah tersulut ketika di masing-masing pihak sudah tercetak mind set pokoknya “yang lain” itu ya seperti itu, dan selamanya akan seperti itu. Kalau “yang lain” itu menunjukkan kebaikan, itu karena terpaksa atau pasti punya pamrih atau punya agenda tersembunyi. Paranoia atau ketakutan akan “yang lain” akan membawa pada segregasi sehingga orang tidak mau membaur  atau bergaul dengan mereka yang berbeda. Gejala paranoia ini bisa dikenali apabila orang mulai membuat kantong atau wilayah yang terkotak-kotak berdasarkan identitas primordial.  Saya yakin, masyarakat Kota Solo atau Indonesia umumnya belum sampai ke tahap paranoid semacam ini. Namun, kalau konflik berlatar belakang atau dibumbui isu SARA dibiarkan terjadi terus menerus dan tidak segera dilakukan upaya untuk rekonsiliasi, untuk membuka komunikasi, untuk saling memahami satu sama lain , saya tidak bisa menjamin bahwa kita tidak akan  menuju masyarakat yang “sakit”. Kalau ini terjadi, kita semua punya andil di dalamnya, karena selama ini kita sibuk dengan identitas kelompok kita sendiri-sendiri sehingga  abai dan tidak mau merawat identitas kebangsaan Indonesia.

Indonesia adalah negara multikultur. Ini fakta yang tak dapat diingkari. Karena itu sejak awal lahirnya, negara ini telah sadar betul akan pentingnya nation building. Simbol negara, semboyan Bhineka Tunggal Ika, Pancasila, Negara Kesatuan adalah lem perekat identitas kebangsaan. Tapi kini, baru menjelang 67 tahun, nampaknya upaya nation building itu sepertinya tidak ada pengaruhnya. Terbukti masyarakat akar rumput dan mungkin juga kita semua, masih menyimpan kecurigaan dan tidakpercayaan pada sesama anak bangsa sendiri, sehingga konflik sekecil atau sepele apapun apabila dibumbui “aroma” SARA,  akan dengan mudah membakar emosi kelompok yang bernuansa sentimen primordial. Penanaman rasa nasionalisme yang ditanamkan sejak kecil melalui pendidikan kewarganegaraan dan Pancasila sepertinya  sudah terlupakan dan tidak ada lagi bekasnya. Ikatan kebersamaan sebagai satu bangsa mestinya menjadi identitas sosial yang lebih kuat ketimbang identitas kelompok primordial.  Bagaimana kita mau menghadapi globalisasi, jika soliditas internal antar sesama bangsa saja sedemikian rapuh? Kalau negara lain sibuk membangun sumber daya manusianya dan bahkan ada yang merintis riset untuk menemukan kehidupan di planet lain, kita disini sibuk berkelahi sendiri merebutkan sesuatu yang tidak jelas dan para elitnya berebut kuasa politik yang orientasinya jangka pendek dan tidak visioner.

Uhh, cuaapek deh. Mau dibawa kemana Indonesia kita ini? Quo vadis, Indonesia?

(Pertanyaan ini bisa menjadi perenungan bersama menjelang Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei)


Gambar  : 

Rabu, 02 Mei 2012

Perempuan, Politik dan Korupsi

Akhir-akhir ini media massa -cetak maupun elektronik- banyak memberitakan tentang kasus korupsi yang melibatkan para perempuan yang terjun ke politik atau dekat dengan kekuasaan politik. Ada Miranda Gultom, Nunun Nurbaeti, dan -  yang tengah hangat diberitakan saat ini  anggota DPR yang juga mantan Miss Indonesia - Angelina Sondakh, dan masih  banyak lagi yang lainnya.

Semakin banyaknya kasus korupsi yang menyeret para perempuan, menggelitik keingintahuan saya tentang apa dan bagaimana perempuan dalam kekuasaan politik?  Faktor apa yang menyebabkan perempuan terseret dalam pusaran arus korupsi yang selama ini pelakunya identik dengan kaum laki-laki ?

Perempuan dan Politik : mewarnai atau terkooptasi?

Dulu, politik adalah wilayah yang relatif steril dari perempuan. Politik adalah dunia dan permainan para laki-laki.  Kalau ada perempuan yang bisa menduduki kursi kekuasaan politik – itu karena tradisi atau keturunan  misalnya Ratu Elizabeth 1 dan 2 dari Inggris , Ratu Mesir Kuno – Cleopatra, Ratu Majapahit – Tribuana Tunggadewi, dan lain-lain.

Bertahun-tahun secara tradisi, politik diwariskan, diperebutkan dan dipertahankan di antara kaum laki-laki. Mengapa  politik hanya diperuntukkan bagi laki-laki? Apakah perempuan tidak pantas untuk terjun di dunia politik?

Perebutan dan perluasan kekuasaan dulu seringkali dilakukan dengan jalan peperangan. Hal ini menjadikan politik lebih pantas kalau dibebankan ke pundak para lelaki. Tugas perempuan adalah memenuhi kebutuhan domestik atau konsumsi. Berabad-abad pembagian peran ini dijalankan tanpa ada gugatan dari kaum perempuan. 

Sekarang, sebagian besar negara memilih jalan demokrasi dalam meraih kekuasaan. Kekuasaan tidak lagi diperebutkan melalui peperangan tetapi melalui proses pemilihan politik secara damai dimana faktor yang menentukan adalah popularitas dari si kandidat. Kalau seperti ini, tidakkah alasan dunia politik adalah wilayah yang pantas bagi laki-laki tidak berlaku lagi? Dalam tatanan demokrasi semua orang memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih. Nilai-nilai fraternity, egality dan equality menjadi prinsip utama. 

Namun, sistem demokrasi tidak serta merta menjadi pintu pembuka bagi perempuan untuk masuk ke kancah politik. Butuh perjuangan keras untuk bisa menerima agar perempuan diberi hak politik paling dasar yakni ikut memberikan suara dalam pemilihan umum. Di Inggris, hak ini baru disahkan dalam undang-undang pada tahun 1928.  Di Amerika Serikat hak ini baru diberikan kepada kaum perempuan pada sekitar tahun 1920. Saat ini, semakin banyak perempuan yang terjun dalam politik bahkan menjadi pemimpin tertinggi suatu negara lewat proses demokrasi.

Pertanyaannya, apakah perempuan yang terjun ke politik dapat melembutkan atau melunakkan wajah politik yang keras dan kejam ataukah sebaliknya justru integrasi ke politik melahirkan perempuan-perempuan yang maskulin? Dengan kata lain, apakah terintegrasikannya perempuan ke dunia politik mampu mendorong terjadinya feminisasi politik ataukah justru yang terjadi sebaliknya maskulinasi para perempuan yang terjun ke politik  akibat mereka terkooptasi oleh dunia dan permainan politik ala laki-laki? 

Saya kira politik tidak mengenal jenis kelamin. Tapi politik yang identik dengan perebutan kekuasaan atau power struggle jelas tidak merepresentasikan sifat-sifat yang feminin. Intrik-intrik permainan politik, manipulasi dan kecenderungan memilih jalan kekerasan jelas lebih menggambarkan maskulinitas. Karena itu, mereka yang terlibat langsung dalam power struggle adalah orang-orang yang keras, ulet dan tangguh, bukan orang yang lembek. Siapa pun mereka, entah laki atau perempuan. 

Margaret Thatcher karena menunjukkan kepemimpinan politik yang tangguh maka mendapat julukan Si Wanita Besi. Aung San Suu Kyi meskipun penampilannya lembut, tapi ketegaran dan sikapnya yang pantang menyerah dan konsisten memperjuangkan demokrasi di Myanmar membuatnya pantas disebut sebagai wanita baja. Hillary Clinton, Condoleezza  Rice, Christina Fernandez  Presiden Argentina  , dan Sri Mulyani tentunya paling tidak juga memiliki ketangguhan yang sama.

Ada banyak perempuan yang mampu menduduki puncak kekuasaan politik suatu negara atau jabatan strategis lainnya. Tapi dari sekian banyak perempuan itu, berapa yang benar-benar mampu merubah wajah politik dan tercatat dalam sejarah sebagai perempuan yang menginspirasi dunia?

Mengapa justru banyak perempuan yang terjun ke politik malahan terseret arus dan ikut andil dalam proses “pembusukan” kolektif yang disebut korupsi?

Perempuan dan Korupsi : feminisasi atau maskulinisasi?

Bicara korupsi tidak bisa lepas dari kekuasaan. Power tends to corrupt but absolute power corrupt absolutely, kata Lord Acton. Kekuasaan adalah salah satu godaan yang sulit ditaklukkan. Siapa pun yang diberi kekuasaan, pasti tergoda untuk memanfaatkannya untuk keuntungan diri dan orang-orang terdekatnya. Kuasa akan melahirkan godaan untuk menyalahgunakannya, apalagi kalau itu kekuasaan yang mutlak- jelas akan diselewengkan. 

Kalau semakin banyak  perempuan yamg  terjebak dalam korupsi, itu tidak berarti terjadi feminisasi korupsi. Perempuan korupsi karena ia diberi kekuasaan atau menjadi bagian dari jaringan penguasa. Bukan karena gendernya. Siapa pun yang terjun dalam politik, kalau sistem politik itu tidak bersih, maka kemungkinan besar dia akan terkontaminasi oleh sistem itu. Saya kira, hanya perempuan luar biasa yang bisa imun dari godaan korupsi apabila ia menjadi bagian dari lembaga politik di Indonesia.  

Selain kuasa, akar korupsi adalah keserakahan. Jika seseorang pejabat eksekutif atau anggota legislatif tergoda korupsi, penyebabnya tentu bukan karena gaji yang kurang tapi karena keserakahan. Korupsi kerah putih atau state corruption jelas karena didorong oleh faktor keserakahan, tidak mesti serakah materi tapi bisa juga serakah kuasa atau haus kekuasaan.

Kalau bicara soal keserakahan, ini sifat manusiawi. Tidak ada hubungannya dengan laki dan perempuan. Perempuan yang menjadi pejabat atau politisi, kemudian korupsi bukan berarti mereka ketularan oleh sifat para laki-laki, tapi karena sebagai manusia, perempuan pada dasarnya mempunyai sifat dasar yang sama dengan laki-laki – naluri untuk tergoda kekuasaan dan meraih kekayaan sebanyak-banyaknya. Feminitas perempuan, naluri sebagai ibu yang suka memelihara atau melindungi tidak jaminan akan bisa mengalahkan naluri dasar manusia lainnya : keserakahan. Jadi dalam hal korupsi, tidak ada feminisasi atau maskulinisasi. Laki perempuan sama saja. 

Gambar :
makesthree.org dan ygoy.com