Jumat, 30 Mei 2014

Donna Donna : Tentang kehendak bebas dalam pilihan politik

Satu bulan lagi, tepatnya tanggal 9 Juli 2014, kita akan memilih  Presiden dan Wakil Presiden. Mendekati hari pemilihan, persaingan antar kubu kandidat presiden semakin panas. Segala cara dan strategi dilakukan untuk mengambil hati rakyat agar mau menjatuhkan pilihan pada  salah satu kandidat. 

Dalam kontestasi politik, rakyat sepertinya hanya sebagai pelengkap penderita...dihargai saat suaranya dibutuhkan atau difungsikan sebagai batu loncatan  untuk meraih kekuasaan. Nasib terburuk… siap dijadikan tumbal saat terjadi konflik antar  elite yang berebut kuasa. Berapa nyawa rakyat yang harus dikorbankan saat meruntuhkan Orde Lama? Berapa orang yang dibakar dan berapa perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual saat melengserkan rezim Orde Baru? Di luar negeri, berapa banyak nyawa rakyat yang hilang saat rezim Nazi di Jerman? Saat konflik politik di Mesir dan Suriah? dan masih banyak lagi.

Bicara tentang posisi rakyat dalam kompetisi berebut kuasa jadi ingat lagu Donna Donna yang menjadi soundtrack film Gie (2004) atau Soe Hok Gie,  aktivis mahasiswa di jaman Orde Lama. Lagu Donna Donna aslinya adalah lagu rakyat Yahudi yang dipopulerkan oleh Joan Baez di tahun 1960. Ada yang mengatakan lagu ini lagu yang dinyanyikan orang Yahudi saat dalam perjalanan menuju kamp konsentrasi atau rumah pembantaian Yahudi di Auswitch, Polandia. Lirik lagu ini sendiri bercerita tentang seorang petani dengan anak sapinya saat dalam perjalanan menuju ke rumah jagal. Dengan muka sedih si anak sapi yang mau disembelih melihat burung yang terbang bebas di angkasa. Si petani bilang …udah nggak usah komplain …siapa suruh kamu jadi anak sapi…coba kamu punya sayap, kamu bisa terbang bebas seperti burung di langit. Bait akhir lagu ini menyimpulkan anak sapi mudah untuk dibunuh tanpa tahu apa alasannya. Namun bagi yang memiliki kebebasan akan bisa terbang bebas seperti burung layang-layang di angkasa.

Calves are easily bound and slaughtered
Never knowing the reason why
But whoever treasures freedom
Like the swallow must learn to fly.

Apa yang bisa dipelajari dari lirik lagu ini ?

Lagu ini bicara tentang posisi rakyat kecil yang mudah dijadikan tumbal kerakusan elite berebut kekuasaan politik.

Mengapa rakyat mudah menjadi korban?


Mengapa rakyat tidak bisa bebas menentukan nasibnya sendiri?

Apa selamanya rakyat hanya selalu sebagai tumbal dalam perjuangan perebutan kekuasaan ? Apa selamanya rakyat hanya tunduk manut pada arahan (agitasi dan indoktrinasi) para elite ?

Jawabnya : Who told you a calf to be ? Siapa suruh kamu jadi anak sapi ?

Kenapa kamu tidak memilih untuk menjadi seperti burung yang terbang bebas di udara?

Sesungguhnya, demokrasi yang genuine memberikan kita hadiah yang tidak dimiliki oleh otokrasi ….yakni kehendak bebas…free will…kedaulatan penuh untuk ikut menentukan pimpinan Negara

Dalam otokrasi , rakyat adalah anak sapi atau domba

Dalam demokrasi rakyat adalah burung yang terbang bebas

Tapi,

Demokrasi bukan pasangan ideal dari kemiskinan dan kebodohan

Karena miskin dan ketidaktahuan, banyak burung yang memilih menjadi domba atau anak sapi

Karena lapar, pilihan politik bukan disetir oleh kehendak bebas tapi kehendak kebutuhan perut…kita memilih mereka yang bisa bayar

Karena ketidaktahuan dan tidak mau tahu, kita tidak mendengarkan suara hati dan lebih mengikuti irama genderang yang ditabuh para elite

Kita punya pilihan untuk bebas memilih sesuai bisikan hati nurani, tapi kita lebih mendengarkan bisikan elite  untuk memilih sesuai kepentingan mereka

Kita punya nalar sehat untuk membuat pilihan bebas,  namun lebih memilih  tunduk pada panduan elite  dengan alasan yang tidak masuk akal sekali pun.

Kita tutup mata atas segala kelemahan dan cacat cela para elite panutan. Apapun pilihan elite itu yang terbaik buat kita.

Siapa suruh kita jadi domba?

Siapa suruh kita jadi tumbal kerakusan para elite berebut kuasa?

Dalam demokrasi ….. bagi yang mampu dan tahu …. memilih untuk menjadi burung atau domba sepenuhnya pilihan ada di tangan kita.

Dan kalau kita bisa jadi burung, kenapa memilih jadi domba.

Jatuhkan pilihan politik sesuai bisikan nurani, bukan apa kata mereka.


Selamat memilih.


=============================

Ini suara merdu Sita menyanyikan DONNA  DONNA :


Dan ini LIRIK LAGUNYA :




Rabu, 21 Mei 2014

Soal Integritas dalam Kontestasi Politik dan Jose Mujica

Tahun 2014 benar-benar jadi tahun politik. Baru saja pemilihan legislatif usai, kini disusul dengan hingar bingar pemilihan presiden. Pemilu adalah hari-hari dimana rakyat Indonesia terpaksa menonton  jungkir balik manuver politik yang dipertontonkan para politisi dan kandidat presiden. Rasanya jengah, muak bin mual melihat kerakusan dan nafsu berebut kuasa yang nampak “mloho” (bahasa Jawa transparan) tanpa ditutupi. Syahwat berkuasa membuat mereka membuang segala rasa malu dan harga diri.

Ada pasangan capres-cawapres yang kompak  beriklan di TV milik pribadi bak main di sinetron kejar tayang…tiap hari muncul dengan acting lebay dan dibuat-buat seolah-olah pro-rakyat kecil. Ada lagi capres dari parpol besar yang karena kepedean, jual mahal waktu didekati mau diajak berkoalisi. Dia merasa pantas jadi nomor satu, tidak  mau jadi nomor dua.  Saat batas waktu pendaftaran  calon  presiden belum juga dapat pasangan, bingunglah dia.  Akhirnya kesana kemari menawarkan diri cari pasangan. Banting harga, jadi nomor dua ya mau. Tapi sudah turun harga pun, tetap tidak ada yang mau. …yah akhirnya terpaksa menjomblo. Dari jual mahal sampai akhirnya ….tidak dapat apa-apa. Terus, ada lagi yang sakit hati dikhianati atau ditolak lamarannya dan akhirnya memindahkan dukungannya ke capres lawan.

Memperhatikan  perilaku para politisi saat pileg dan menjelang pilpres besok 9 Juli, saya sampai pada kesimpulan bahwa motivator utama mereka berpolitik masih sebatas tujuan meraih kekuasaan. Proses, cara dan mekanisme menuju kekuasaan menjadi tidak penting. Akibatnya, integritas menjadi barang langka.  Kata dan tindakan bisa seenaknya di-setting disesuaikan dengan arah kepentingan politik. Omong kosong itu segala macam  jargon ideologi dan platform partai. Ada partai yang melabeli dirinya sebagai partai nasionalis atau partai religius. Pada mulanya kontestasi politik antar parpol sangat rigid, tapi kemudian mencair saat ternyata tidak ada parpol yang menang dominan. Karena harus cari kawan koalisi untuk bisa mengusung capres-cawapres mulailah terjadi transaksi bak jual beli di pasar. Ada pendekatan, terus tawar menawar, bagi-bagi siapa memberi apa, siapa dapat apa. Disini yang namanya ideologi dan platform partai tidak lagi penting. Ada partai yang semula saling ejek, saling kritik dan cari kelemahan pesaing berubah menjadi saling rangkul, saling jilat, dan saling menghamburkan  puja-puji.

Yeah, all is fair in politics ! Tidak ada kawan atau lawan yang abadi. Demi tujuan dan kepentingan meraih kekuasaan, segala cara apa pun dianggap halal.

Sungguh perilaku politik yang tidak “elegant”. Persaingan menuju kekuasaan tidak dilandasi adu gagasan strategis -visioner yang ditawarkan untuk membenahi kondisi bangsa dan Negara, tapi terjebak pada black campaign menebar isu-isu SARA , ejek-ejekan antar pemandu sorak para capres, sikut menyikut dan saling menelikung.  Yang mereka pertontonkan ke publik hanyalah seni berpolitik dagang sapi atau politicking, bukan civic education

Yang bikin tambah sedih, inkonsistensi perilaku politik juga ditunjukkan kaum intelektual yang terjun ke politik praktis. Saat memasuki masa-masa kampanye pileg, saya memiliki satu dua tokoh dari akademisi yang saya kagumi karena saya anggap mereka memiliki karakter dan integritas bagus.  Saya meletakkan harapan akan eksistensi NKRI di tangan segelintir tokoh yang saya anggap negarawan dan berjiwa besar. Tapi perkembangan persaingan politik paska deklarasi capres dan cawapres membuat saya kecewa. Ternyata negarawan yang berintegritas di Indonesia sudah benar-benar langka. Bagaimana mungkin seorang dengan tingkat pendidikan tertinggi, dengan sejarah kepemimpinan yang bagus ….hanya karena kalah dalam kompetisi politik …bisa berubah menjadi pribadi yang pragmatis….apakah  prinsip, nilai dan etika berpolitik yang mengutamakan kepentingan kelangsungan masa depan bangsa dan negara sudah kalah oleh sakit hati dan kecewa karena kepentingan pribadi :  kalah berebut kuasa dan jabatan. Ada seorang professor yang ikut membidani lengsernya rezim Orde Baru, kini bergabung dalam koalisi pengusung capres yang dulu dengan keras dikritiknya sebagai pelanggar HAM (kontras.org ). Berita terbaru, yang bikin tambah nyesek adalah diangkatnya professor hukum dan anggota Dewan Penasehat Komnas HAM sebagai Ketua Tim Pemenangan capres yang dituduh pelanggar HAM (kompas.com).   Kemana larinya spirit intelektualitas para akademisi ini? Kalau ditanya apa sih motivasi para pakar dan guru besar saat memutuskan terlibat dalam politik praktis , saya bisa menebak jawaban idealnya adalah untuk ikut membenahi sistem dari dalam. Tapi apa hasilnya? ….Boro-boro bisa ndandani (memperbaiki kondisi)…  yang terjadi mereka malah  tersedot ke dalam pusaran sistem yang busuk.

Terus terang saya sedih …mesti saya tidak kenal tokoh ini secara pribadi , tapi rasanya saya seperti orang yang dikhianati oleh orang yang kita percaya …yang kita kagumi karena integritasnya. Yah,  ternyata dia hanya segitu ya…

Kehilangan respek itu sungguh menyesakkan
Karena didalam respek ada kepercayaan
Didalam kepercayaan ada harapan
Dan harapan adalah …..setitik cahaya yang menuntun kita menemukan jalan keluar dari kegelapan
Tidak ada yang lebih menakutkan selain kehilangan dan tidak punya panutan

Saat ini,  siapa sih  tokoh yang masih bisa kita pegang ucapannya? Yang bisa kita teladani tindakannya?
Kenapa ya susah banget cari pemimpin dengan karakter kuat dan berpegang kuat pada prinsip dan idealisme. Konsistensi dalam kata, sikap dan perbuatan dan berpegang pada etika politik adalah bukti integritas  seorang negarawan. Ini yang susah saya dapatkan pada mereka yang terjun ke politik.

Untuk menghibur diri agar tidak larut dalam apatisme,  saya lari ke Om google saya ingin tahu apakah ada pemimpin Negara yang tidak haus kuasa dan harta.  Iseng-iseng saya tulis “presiden termiskin di dunia” dan jawabannya adalah Jose Mujica. Membaca profil Mujica, saya merasa terhibur nggak lagi sedih, ternyata masih ada lho pemimpin negara yang tidak gila jabatan dan tidak doyan duit. Meski bukan orang Indonesia, paling tidak ini membangkitkan kepercayaan dan harapan saya bahwa suatu saat di Indonesia pun  bisa lahir presiden seperti Mujica.

Siapa Jose Mujica?

Jose Alberto Mujica Cordano adalah Presiden Uruguay sejak tahun 2010. Mujica jadi sorotan dunia karena gaya hidupnya yang sederhana. Mujica menyerahkan 90 persen dari gajinya per bulan sebesar Rp 116 juta  untuk beramal kepada warga yang miskin dan membutuhkan. Ia hanya menyisakan Rp 7,7 juta gajinya untuk membiayai hidupnya.  Mujica tinggal di rumah peternakan milik istrinya di pinggiran Montevideo. Rumah peternakan ini bisa dibilang rumah sangat-sangat sederhana. Tidak ada Paspampres yang menjaga ketat rumahnya, yang menjaga hanya  dua orang polisi serta beberapa anjing milik Mujica, salah satunya Manuela yang berkaki tiga. Tidak ada pula  kepala pelayan atau kepala rumah tangga yang melayani dan memasak apa saja seperti layaknya rumah kepala negara. Mujica dan istrinya bekerja sendiri memenuhi kebutuhan mereka. Termasuk menggarap tanah pertanian mereka dengan bercocok tanam bunga krisan untuk dijual. Pada tahun 2010, saat menjadi presiden, harta kekayaan Mujica berjumlah US$ 1.800 atau Rp 17,4 juta, ini nilai dari mobil VW Kodok lawas tahun 1987 miliknya.

Apa komentar Mujica tentang gaya hidupnya ini ?

"Saya mungkin terlihat sebagai manusia tua yang eksentrik. Namun ini adalah pilihan bebas. Saya telah hidup seperti ini di sebagian besar hidup saya. Saya bisa hidup dengan baik dengan apa yang sudah saya punya," kata Mujica seperti dilansir dari BBC.

"Saya dijuluki 'presiden termiskin', tapi saya tidak merasa miskin. Orang miskin itu adalah mereka yang hanya bekerja untuk memenuhi gaya hidup yang mahal, dan selalu ingin lebih dan lebih. Ini hanyalah masalah kebebasan, jika Anda tak memiliki banyak keinginan, Anda tak perlu bekerja seumur hidup seperti budak untuk memenuhinya. Dan dengan begitu Anda memiliki lebih banyak waktu untuk diri sendiri," tutur Mujica.

Wow..Jose Mujica benar-benar presiden yang keren. Dari Mujica saya dapat pelajaran berharga yaitu : “Orang miskin itu adalah orang yang dibelenggu oleh hasrat dan keinginan untuk mendapatkan  (harta, kuasa, jabatan) yang lebih dan selalu ingin lebih”.  Orang-orang ini bukanlah orang merdeka, mereka adalah budak seumur hidup dari nafsu keserakahannya. Berbahagiakah orang-orang seperti ini ? Saya yakin tidak. Lihatlah wajah-wajah mereka yang tidak lagi malu menunjukkan hasrat akan kuasa. Apakah terpancar ketulusan dan kebahagian di raut muka mereka?.  

Artikel terkait :    Tentang Integritas

Gambar :

Kamis, 13 Februari 2014

Kado Valentine untuk Dosen, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Besok tanggal 14 Februari  adalah  Hari Valentine atau Hari Kasih Sayang,  hari  ketika anak muda mengekpresikan rasa sayangnya kepada orang yang mereka kasihi  dengan memberikan hadiah mawar merah, coklat dan boneka warna pink. Saya tidak lagi muda tapi di momen penuh Kasih Sayang ini saya secara khusus ingin memberi kado bagi rekan-rekan dosen yang belakangan ini banyak mendapatkan kado “Kasih Sayang” yang super….super special dari pemerintah.
Kado special pertama, kebijakan kenaikan pangkat ke golongan IV atau jabatan Lektor Kepala yang mensyaratkan ijazah S3. Bagi dosen yang belum S3 jangan berharap bisa naik pangkat ke golongan IV. Jadi kalau guru TK, SD, SMP, dan SMA bisa sampai ke IVa cukup dengan ijazah S1,  dosen yang berijazah S2 harus cukup puas sampai golongan maksimal IIId.  Namanya kebijakan artinya keputusan ini telah diambil pemerintah dengan pertimbangan yang sangat bijaksana. Pemerintah ingin dosen-dosen itu tidak hanya puas di jenjang pendidikan S2. Dengan adanya kebijakan ini maka semua dosen nantinya adalah lulusan S3 yang dijamin berkualitas dan kompeten.
Kado special kedua, dosen diwajibkan melaporkan pelaksanaan fungsi  tri darma perguruan tinggi (mengajar, meneliti dan pengabdian masyarakat) melalui Sistem Informasi Pengembangan Karir Dosen  atau SIPKD  (sayangnya website SIPKD Dikti error-error melulu). SIPKD mewajibkan dosen wajib mengisi semua kolom kinerja  tri darma, tidak boleh ada yang kosong. Ketentuan wajib mengunggah kinerja tri darma per semester merupakan bukti kasih sayang pemerintah pada dosen.  Pemerintah ingin memotivasi dosen agar mengurus kenaikan pangkatnya sehingga semua dosen bisa mencapai jenjang karier dosen tertinggi dan menikmati tunjangan professor yang sudah disediakan pemerintah.
Kado special ketiga, melalui Penpres  No.88 Th. 2013 pemerintah menetapkan pemberian tunjangan kinerja atau remunerasi bagi PNS di lingkungan Kemendikbud dengan pengecualian bagi dosen. Kebijakan ini diputuskan karena pemerintah ingin dosen tidak serakah, sudah mendapat sertifikasi dosen masak mau ditambah lagi dengan tunjangan remunerasi. Bagi pemerintah,  dosen adalah tugas yang sangat mulia,.. tugas pengabdian jadi tidak layak kalau dinilai secara materi. Kalau dosen mendapat limpahan tunjangan serdos plus remunerasi, pemerintah khawatir dosen tidak fokus pada pengembangan kompetensi mengajar dan meneliti tapi malahan berubah gaya hidup bak selebritis yang glamor,  hedonis, dan materialistis (maaf alasan ini tidak berlaku untuk dosen yang belum dapat sertifikasi).
Kado special keempat, meskipun dosen tidak mendapatkan remunerasi tapi mulai Januari 2014 ini diberlakukan ketentuan sebagaimana PNS yang dapat remunerasi. Tunjangan jabatan untuk pengelola jurusan dan program studi dan  honor-honor mengajar di luar S1 reguler (D3, S1 nonreg, S2 dan S3) tidak (belum?) diberikan. Karena kebijakan ini, hari-hari belakangan ini saya merasakan ada semacam suasana “bad mood” di kalangan dosen.  Untuk rekan dosen , janganlah melihat ini sebagai perlakuan diskriminatif terhadap dosen. Mungkin Pemerintah bermaksud baik kok yaitu tidak ingin dosen menjadi capek karena dibebani tugas mengajar yang berlebihan. Idealnya dosen mengajar sesuai ketentuan SIPKD yang sekitar 9 SKS per semester. Tidak adanya tunjangan jabatan dan tambahan honor-honor mengajar  diharapkan tidak  mematahkan semangat dosen untuk mengajar dan mengelola program. Ingat ya bagi pemerintah tugas dosen itu adalah kerja sosial… suatu tugas yang sangat mulia.  
Menjelang hari Kasih Sayang besok, saya ingin rekan-rekan dosen tidak gundah atau galau.  Semakin beratnya tuntutan kinerja dosen di satu sisi tapi tidak dimbangi dengan reward atau penghargaan yang seimbang atau memadai kita terima dengan lapang dada. Jangan sampai persoalan ini berimbas pada mahasiswa. Dosen itu bak artis, harus tampil maksimal di depan mahasiswa.  Apapun problema  yang kita hadapi tidak selayaknya mempengaruhi peran yang harus kita jalankan. Kalau ada rekan dosen yang mulai berwacana untuk protes, lakukan protes itu secara intelektual dan elegant. Jangan demo di jalanan apalagi dibumbui dengan adegan teatrikal, malu  ah. Juga jangan mogok ngajar lho, nanti orang jadi nggak bisa membedakan antara profesi dosen dengan buruh.
Kalau dosen bisa menerima semua “hadiah” yang telah saya sebutkan di atas dengan sabar dan ikhlas, maka dosen layak menggantikan predikat guru sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.  Sekalipun kita tidak dapatkan imbalan secara materi, namun pabila kita menjalankan tugas kita penuh passion kita akan dapatkan hadiah yang sangat indah yang tak ternilai secara materi yaitu : rasa cinta dan hormat dari anak didik dan juga masyarakat.

Sebagai kado Valentine  saya hadiahkan lagu cinta untuk guru “ To Sir With Love”. Lagu jadul tahun 1967 ini merupakan soundtrack film dengan judul sama, versi original dinyanyikan oleh Lulu 


dan versi modern ala  Glee :


Sabtu, 25 Januari 2014

Perayaan Imlek dan Realitas Pluralitas Budaya Kota Solo

Sudah sejak tahun 2003 peringatan tahun baru Cina atau dikenal sebagai Imlek dinyatakan sebagai hari libur nasional dan bebas dirayakan di Indonesia. Di Kota Solo sendiri suasana Imlek kental terlihat di seputaran Pasar Gede. Dari tahun ke tahun semenjak Imlek bebas dirayakan, di kawasan ini selalu semarak dengan hiasan lampion merah meriah yang gemerlapan di waktu malam. Dan Tahun 2014 ini, suasana Imlek Solo semakin terasa dengan hadirnya event baru Solo Imlek Festival (SIF) yang dipusatkan di Benteng Vastenburg di Depan Gedung BI di Jalan Jendral Sudirman. Di sepanjang jalan tempat SIF diselenggarakan dipasang 12 boneka lucu yang merepresentasikan shio-shio yang ada di kalender Cina.

     Foto : Koleksi pribadi

Sabtu malam atau malam Minggu kemarin kebetulan cuaca cukup cerah maka saya sempatkan berkeliling seputar Pasar Gede untuk melihat bagaimana suasana Imlek pada malam hari. Begitu mendekati kawasan Gladak jalanan macet, sepeda motor, mobil dan manusia berjubel jadi satu. Di sebelah selatan perempatan Gladak perayaan Sekaten baru saja usai, di Timur ada Galabo dan di sebelah utara Galabo ada Benteng Vastenburg dengan SIF-nya. Tambah lagi banyak orang -  anak-anak, ABG dan orang tua - pada narsis berfoto ria di depan boneka lampion shio yang berjejer di depan lokasi SIF. Malas bedesak-desakan di jalan, akhirnya saya batalkan niat untuk masuk ke lokasi SIF. Tapi dari pengamatan suasana sekitar pusat perayaan Imlek, saya bisa melihat keceriaan banyak orang. Remaja pada bergerombol dan duduk di pagar jembatan di depan Pasar Gede dan mengambil gambar dengan pasang pose penuh tawa di bawah juntaian ratusan lampion dan kerlip-kerlip lampu warna-warni. Senang rasanya melihat kegembiraan di suasana malam di seputaran Pasar Gede.

Foto: Koleksi pribadi
Foto :solopos.com
Melihat meriahnya perayaan Imlek di Kota Solo tahun ini membuat saya jadi ingin tahu mengapa ya dulu pada jaman Pak Harto kok Perayaan Imlek sampai dilarang? Apa alasannya?  Terus mengapa kok Imlek bisa dirayakan sebegitu meriah di Kota Solo? 

Berbeda dengan perayaan tahun baru Masehi dan tahun Jawa, Imlek punya sejarah tersendiri, sejarah yang panjang dan penuh kontroversi. Perayaan Imlek dari sisi budaya telah menjadi bagian ekspresi kultural yang meng-global karena dirayakan di seluruh bagian dunia dimana banyak tinggal komunitas Tionghoa. Tapi di Indonesia, Imlek bukan sekedar identitas budaya tapi juga sarat dengan muatan politis. Bau kepentingan politik ini bisa ditelusuri dari sejarah Imlek di Indonesia, utamanya di jaman Presiden Soeharto atau era Orde Baru.

Foto: Koleksi pribadi
Selama Orde Baru, perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Presiden Soeharto melalui  Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, melarang atau membatasi segala hal yang berbau Tionghoa. Dalam instruksi tersebut ditetapkan bahwa seluruh Upacara Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Instruksi Presiden ini bertujuan mengeliminasi secara sistematis dan bertahap atas identitas diri orang-orang Tionghoa terhadap Kebudayaan Tionghoa termasuk Kepercayaan, Agama dan Adat Istiadatnya. Dengan dikeluarkannya Inpres tersebut, seluruh Perayaan Tradisi dan Keagamaan Etnis Tionghoa termasuk Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, Pehcun dan sebagainya dilarang dirayakan secara terbuka. Demikian juga tarian Barongsai dan Liong dilarang dipertunjukkan.
Larangan Imlek ini dihapus oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya). Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri mulai tahun 2003 (wikipedia.org/)

Foto : Koleksi pribadi
Mengapa Orde Baru sebegitu takutnya dengan segala sesuatu yang berbau Cina? Ini alasannya : “….pemerintahan Soeharto dengan dengan tegas menganggap keturunan Cina dan kebiasaan serta kebudayaan Cina, termasuk agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa sebagai "masalah" yang merongrong negara dan harus diselesaikan secara tuntas”. Alasan ini tertulis dalam buku "Pedoman Penyelesaian Masalah Cina" jilid 1 sampai 3 yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang berada di bawah BAKIN (Wikipedia)

Mengapa ekspresi budaya bisa menjadi ancaman bagi suatu Negara? Budaya bagaimanapun adalah ekspresi dari nilai-nilai yang diyakini oleh suatu komunitas atau masyarakat. Budaya tidak sekedar ritual, seremoni dan simbol-simbol yang dinampakkan dari bukti fisik. Ada nilai, norma dan keyakinan di balik budaya yang material. Pertanyaannya lagi, apa yang ditakutkan dari nilai-nilai budaya Cina?   Zaman Soekarno dan Soeharto, komunisme menjadi paham atau ideology yang menjadi momok dan sekaligus bisa dijadikan “hantu politik” bagi rezim yang berkuasa. Ketakutan pada infiltrasi komunisme melalui budaya Cina sedikit bisa dipahami.
Tapi untuk saat ini, alasan budaya Tionghoa bisa mengancam Negara sepertinya kok nampak “jadul” ya. Negara Cina (RRC) sendiri sudah sangat kapitalis. Ideologi komunisme sudah jarang dibicarakan. Orang-orang Cina Indonesia sendiri sudah banyak yang pakai nama Indonesia dan sebagian besar sudah tidak bisa bahasa Mandarin. Terus karena Konghucu menjadi agama terlarang di Indonesia, mayoritas orang Cina banyak yang eksodus ke agama Kristen dan Katholik. Banyak diantara mereka yang tidak menjalani ritual Konghucu. Mereka merayakan Imlek sebagai ekspresi identitas budaya saja tanpa banyak dilatari keyakinan agama. Imlek jatuh sekedar selebrasi atau perayaan kultural tak beda jauh dengan Sekaten atau Tahun Baru Masehi. Sebagai selebrasi kultural, Imlek di Solo sudah tidak murni lagi bau Cina-nya buktinya ada Gerebeg Sudiro sebagai modifikasi atau kawin campur budaya Cina dan Jawa. Di Gerebeg Sudiro apem yang biasa menghiasi tumpeng  atau gunungan diganti dengan kue keranjang. Disini orang tidak lagi berpikir apakah ini merusak nilai filosofi dari tumpeng atau tidak, yang ada adalah bukti bahwa budaya Jawa sangat fleksibel dan terbuka menerima unsur-unsur budaya dari luar. Justru akulturasi budaya semacam ini yang memperkaya budaya Jawa. Budaya Jawa sangat menghargai nilai pluralitas. Budaya Jawa bukan budaya yang memegang kuat-kuat identitasnya dan menutup sama sekali pengaruh dari budaya luar. Karena karakter budaya semacam ini, maka perayaan Imlek mudah diterima oleh orang Solo. Kebiasaan merayakan nilai-nilai Jawa dalam berbagai ritual dan seremoni menjadikan orang Solo gampang menerima dan suka sekali dengan bentuk-bentuk ungkapan budaya yang serupa dengan budaya mereka.
Foto : Koleksi pribadi

Saat ini, perayaan Imlek kembali diterima sebagai bagian dari kekayaan pluralitas budaya Indonesia. Masyarakat Solo kembali bisa menyaksikan tarian Barongsai bebas ditarikan di seputar Pasar Gede. Orang dari berbagai latar belakang etnis, budaya dan agama tumpah ruah jadi satu ikut larut dalam selebrasi tanpa tahu atau bahkan tidak perduli alias tidak mau tahu apa nilai dan keyakinan dibalik Imlek, yang ada dibenak mereka hanya ikut bergembira dalam pesta budaya sekaligus sarana refreshing lepas dari rutinitas dan beban hidup sehari-hari. 
Foto:solopos.com 
Keterbukaan menerima realitas budaya yang plural adalah ciri dari Budaya Wong Solo. Event perayaan Imlek mempunyai fungsi ganda. Pertama,  sebagai sarana untuk memperkaya khazanah budaya dan  sekaligus membuktikan “Solo sebagai Kota Budaya” bukan sekedar slogan tanpa makna dan realita. Kedua, fungsi yang lebih mendasar yaitu untuk membangun soliditas sosial antar etnis. Khusus untuk komunitas Tionghoa di Solo, Imlek semestinya bukan untuk memperkuat ikatan mereka pada  identitas budaya Cina, tapi justru menguatkan eksistensi mereka sebagai etnis Cina yang "Indonesia dan Jawa". Ikatan sosial mereka tidak hanya ke kultur Cina, tapi juga nilai-nilai Budaya Jawa dan pluralitas Indonesia. Komunitas Cina di Solo juga wajib berkontribusi pada pelestarian budaya Jawa dan pembangunan dan kesejahteraan Kota Solo.

Akhirnya saya ucapkan :  Selamat merayakan Tahun Baru Imlek 2014 bagi komunitas Tionghoa. Selamat merayakan pluralitas budaya bagi semua warga Solo. Mari kita jaga identitas Solo sebagai Kota (Multi) Budaya. 

Untuk menambah hangat suasana Imlek bisa didengarkan suara merdu penyanyi legendaris Taiwan Teresa Teng berikut :




Gambar : animasibergerak.net 

Rabu, 08 Januari 2014

Ranjau paku dan soal moralitas sosial

Ada berita di Kompas 6 dan 7 Januari 2013 yang bikin saya geleng-geleng kepala, bener-bener nggak habis pikir  yakni soal ratusan kilogram paku yang ditebar di jalanan besar di ibukota Jakarta. Paku-paku ini sengaja disebar, di dekat lokasi tambal ban untuk menjebak pengendara sepeda motor agar terpaksa menambalkan ban motornya yang kempes. Ranjau paku istilah yang sangat tepat.

Sumber : Kompas, Senin 6 Januari 2013

Fenomena ini sangat menarik dan merangsang munculnya banyak pertanyaan di benak saya. Kalau hanya satu dua tukang tambal ban yang tidak jujur dalam mencari nafkah dan hanya beberapa biji paku yang disebar itu masih sekedar kasus. Tapi kalau paku yang terkumpul sudah ratusan kilo , itu bukan lagi kasus tapi sudah terrr..laa..luu !! Sudah sedemikian egoiskah mereka hingga menghalalkan segala cara untuk memenuhi hasrat ekonominya ? Mengapa mereka tega berbuat demikian? Bukankah selama ini orang Indonesia dikenal dan mengaku sebagai orang yang sangat religius, suka tolong menolong dan bergotong royong , namun mengapa moralitas sosial dan tanggungjawab publik mereka sangat rendah?

Apa itu moralitas sosial ?

Moralitas sosial berbicara tentang bagaimana kita memperlakukan sesama,  seperti aturan emas atau golden rule yang mengajarkan “hargailah orang lain sebagaimana dirimu ingin dihargai“ atau “Perlakukanlah orang lain sebagaimana dirimu ingin diperlakukan oleh orang lain”. Golden rule ini  bersifat universal dalam arti semua manusia sepakat bahwa  penipuan, pencurian dan pembunuhan adalah tindakan tak bermoral. Sebaliknya, prinsip-prinsip moral yang mengatur bagaimana orang mengatur diri pribadinya seperti cara beribadah, cara berpakaian, makan, menikah dan berhubungan seksual merupakan wilayah moralitas personal. There’s far less agreement about this kind of morality. It’s highly personal. So we call it “personal morality . (http://www.downsizedc.org/). Jadi, moralitas sosial lebih berkenaan dengan prinsip-prinsip yang mengarahkan bagaimana tindakan kita terhadap manusia lainnya sehingga berdampak langsung terhadap keharmonisan hidup dan kesejahteraan manusia. 

Kembali ke kasus ranjau paku, mengapa para tukang tambal ban rendah sekali moralitas sosialnya sehingga tega mengorbankan orang lain untuk memenuhi kepentingan pribadinya?

Bagong Suyanto, dosen Sosiologi Unair Surabaya (Kompas.com ) berpendapat “…umumnya alasan bertahan hidup menjadi motivasi para pelaku penebaran paku itu. Mereka merupakan irisan dari komunitas urban yang tidak mampu menaikkan mobilitas, sementara persaingan dan biaya hidup di Ibu Kota kian tinggi. persoalan itu pertama-tama belum dapat dilihat sebagai persoalan hukum atau moralitas, tetapi persoalan sosial. Pada satu sisi, mereka dapat didudukkan sebagai tersangka, tetapi pada sisi lain mereka adalah kelompok yang tidak mampu berhadapan dengan situasi sosial perkotaan.

Menurut Bagong Suyanto fenomena ranjau paku lebih dilihat sebagai persoalan desakan sosial ekonomi, bukan sebagai persoalan hukum atau moralitas. Tapi tindakan merugikan dan bahkan membahayakan orang lain tetaplah tidak bisa dibenarkan secara moral,  apapun motivasi yang mendorong tindakan tersebut. Apalagi ranjau paku ini sudah disebar secara terencana dan melibatkan banyak pelaku. Suatu tindakan yang tidak benar apalagi dilakukan oleh banyak orang atau suatu komunitas tanpa ada rasa bersalah, maka pasti ada yang tidak benar di tatanan nilai dan moralitas sosial.

Johan P.Taulani , ketua relawan pengumpul ranjau paku, mengatakan "Sepanjang 3,2 km jalan ini (flyover Roxy Mas hingga jalan Hasyim Asyari), saya itung ada 32 tambal ban. Paling yang jujur cuma 2" (Kompas.com ). Apa artinya ini? Artinya mayoritas para tukang tambal ban berpikiran menyebarkan ranjau paku untuk menjaring korban tidak lagi dianggap tindakan yang jahat. Mereka sudah kebal, sudah imun dari rasa bersalah atau dosa.

Pertanyaan yang menghantui pikiran saya : apakah terkikisnya moralitas sosial ini hanya terjadi di lapisan masyarakat bawah seperti para tukang tambal ban ? Bagaimana dengan moralitas sosial di profesi terhormat lainnya ?

Bagaimanakah moralitas sosial profesi dokter? Berapa banyak dokter yang tega mengorbankan pasien demi tuntutan hasrat atau target-target ekonomi?

Bagaimana dengan aparatur Negara ? Berapa banyak PNS, pejabat pemerintah, polisi, anggota legislatif yang tega mengorbankan masyarakat atau konstituen demi memenuhi hasrat akan jabatan, kuasa, dan kekayaan material?

Bagaimana dengan profesi guru dan dosen ? Berapa banyak guru dan dosen yang tega mengorbankan murid dan mahasiswa  demi ambisi pribadi akan jabatan, pangkat dan kariernya? (Ini bahan untuk introspeksi saya pribadi)

Banyaknya pejabat negara yang terjerat kasus korupsi adalah bukti nyata cara pikir model para penyebar ranjau paku yakni menyalahgunakan kekuasaan dan kekayaan negara untuk memperkaya diri , keluarga dan kroninya dengan mengorbankan dan merebut hak rakyat untuk mendapatkan kesejahteraan sosial. Dan apabila cara pikir dan perilaku yang sama juga diikuti banyak profesi lainnya, maka dapat dikatakan krisis moralitas sosial tengah melanda bangsa Indonesia. 

Kesimpulannya, menipisnya moralitas sosial bisa terjadi di semua lapisan dan klas dalam masyarakat dan bisa didorong oleh banyak motif. Tapi yang pasti semua faktor penyebab itu berujung pada satu muara : Keserakahan.