Selasa, 31 Mei 2011

Tentang Perbedaan

Refleksi di Hari Lahir Pancasila

"It is not our differences that divide us.  It is our inability to recognize, accept, and celebrate those differences.  ( Audre Lorde)
Gejala primordialisme sudah nyata di depan mata dan ironis sekali itu terjadi di semua lini kehidupan bangsa. Kompas Jum’at 27 Mei 2011 dalam rubrik FOKUS memuat berbagai fakta berikut :
Hasil penelitian Ciciek Farha, Religiusitas Kaum Muda: Studi di Tujuh Kota dan diperkuat hasil penelitian Farid Wajidi  Kaum Muda dan Pluralisme menemukan fakta adanya proses konservatisasi di institusi pendidikan umum negeri melalui kegiatan ekstrakurikuler keagamaan di bawah OSIS.
Hasil survey Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian selama Oktober 2010-Januari 2011 di 100 SMP dan SMA umum, 59 sekolah swasta dan 49 sekolah negeri di Jakarta dan sekitarnya menunjukkan tren radikalisasi di kalangan guru agama.
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta menyimpulkan, 10 tahun terakhir masyarakat Indonesia makin tidak toleran. Lingkaran Survei Indonesia Indonesia menyatakan, 30,2 persen masyarakat membenarkan tindak kekerasan atas nama agama atau naik dua kali dibanding lima tahun sebelumnya.
Laporan Setara Institute 2010 mencatat 216 peristiwa pelanggaran kehidupan beragama/berkeyakinan yang mengandung 286 bentuk tindakan, menyebar di 20 provinsi , sampai tahun 2009. Laporan itu juga memperlihatkan intoleransi dalam bertetangga juga menguat.
Komnas Perempuan melaporkan, jumlah kebijakan yang mendiskriminasi salah satu kelompok warga di berbagai tingkat meroket enam tahun terakhir, menjadi 189 pada akhir 2010 - 7 kebijakan terbit di tingkat nasional, 80 di antaranya mengatasnamakan agama dan moralitas, menyasar langsung pada tubuh perempuan.  
Sungguh miris membaca data-data di atas. Dan yang paling menyedihkan adalah adanya gejala menguatnya sentimen primordial di dunia pendidikan. Lembaga pendidikan adalah garda terdepan pencetak generasi penerus bangsa, generasi yang akan melanjutkan cita-cita yang telah dirumuskan para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Saya tidak tahu sudah sejauh mana gejala menguatnya primordialisme di pendidikan dasar dan menengah. Yang saya rasakan dan lihat adalah gejala yang sama mulai ditemukan di lembaga pendidikan tinggi negeri.  Gejala ini biasanya akan menguat setiap kali menjelang kompetisi jabatan strategis di perguruan tinggi. Proses pemilihan pimpinan Perguruan Tinggi sungguh-sungguh mencerminkan hiruk-pikuk politik di Indonesia. Manuver dan strategi-strategi yang digunakan tidak beda jauh dengan apa yang dilakukan DPR – lembaga yang selama ini dikritik keras oleh akademisi.  Tawar-menawar dan penggalangan dukungan, pengelompokan dan tak ketinggalan penyebaran isu SARA. Ya benar isu SARA. Isu satu ini ternyata masih dipandang sebagai  sarana ampuh untuk meraih simpati dan  dukungan, karena itu isu SARA menjadi jualan laris manis setiap siklus empat tahunan.

Fenomena apa ini? Ada apa dengan Indonesia? Mengapa sekarang ini perbedaan menjadi sesuatu yang menakutkan? Bukankah Indonesia merupakan negara yang dibangun di atas keberagaman etnis,ras, agama dan budaya? Bukankah kita punya Pancasila dengan semboyannya Bhinneka Tunggal Ika atau Unity in Diversity?
Apakah benar  nilai-nilai Pancasila sudah mati. ? 
Mengapa orang semakin lebih menonjolkan kepentingan suku, agama, dan ras “dalam arti sempit” ketimbang kepentingan Lembaga dan Negara.
Menguatnya sentimen SARA di semua komponen bangsa , khususnya di dunia pendidikan  membuat saya kecewa dan sedih. Kalau kaum terdidik saja memandang perbedaan dengan cara pandang yang sempit bagaimana dengan mereka yang bukan sarjana, yang masih mahasiswa atau para pelajar? 
Saya berharap banyak pada kaum intelektual yang tentunya sangat kredibel dari sisi kepakaran, intelektualitas dan spiritualitas untuk bersama merenungkan gejala ini. Tenaga pendidikan  adalah harapan  motor pembaharuan dan leader terdepan yang membawa bangsa ini mencetak SDM yang cerdas dan berwawasan global bukan sektarian. Praktek primodialisme akan membunuh harapan itu. Dengan spirit primordialisme kita tidak akan kemana-mana selain menuju kehancuran dan perpecahan. Dan kalau spirit primordial-sektarian itu yang mau kita jadikan budaya kerja , kita tinggal menunggu kehancuran tidak hanya dunia pendidikan tapi juga NKRI.  Kalau pun itu terjadi, pemicunya bukan pihak luar. Tapi kita sendiri yang melakukan pembusukan dari dalam.
Semoga ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Saya masih menyisakan harapan semoga masih ada banyak anak bangsa yang prihatin dengan kondisi ini dan mau bertindak sekecil apa pun untuk membawa Indonesia tercinta ini menjadi rumah kita bersama. Semoga bangsa Indonesia kembali solid dan tetap mempertahankan nilai nasionalisme yang menjunjung tinggi spirit Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila.
Selamat Merayakan Hari Jadi Pancasila ke 66.. Semoga Pancasila panjang umur , sehat dan sentosa. Amin.
Coretanku di malam menjelang peringatan hari lahir Pancasila

    Gambar : Politikana.com
Lagu "If We Hold On Together"  yang dinyanyikan Diana Ross saya rasa sangat cocok untuk menemani renungan tentang pentingnya kebersamaan.

Don't lose your way
With each passing day
You've come so far
Don't throw it away
Live believing
Dreams are for weaving
Wonders are waiting to start
Live your story
Faith hope and glory
Hold to the truth
In your heart

If we hold on together
I know our dreams
Will never die
Dreams see us through
To forever
Where clouds roll by
For you and I

Souls in the winds
must learn how to mend
Seek out a star
Hold on to the end
Valley, mountain
There is a fountain
Washes our tears
All away
Words are swaying
Someone is praying
Please let us come
Home to stay

If we hold on together
I know our dreams
Will never die
Dreams see us through
To forever
Where clouds roll by
For you and I

When we are out there
In the dark
We'll dream about the sun
In the dark

We'll feel the light
Warm our hearts
Everyone

If we hold on together
I know our dreams
Will never die
Dreams see us through
To forever
As high
As souls can fly
The clouds roll by
For you and I



Senin, 30 Mei 2011

Tentang Budaya Jawa

Refleksi Usai Menonton Mangkunegaran Performing Art 2011
Saya bukan pemerhati soal budaya dan tidak mempunyai latar belakang ilmu budaya. Namun setelah semalam melihat pertunjukan seni tari tradisional di acara Mangkunegaran Performing Art 20-21 Mei 2011, baru saya menyadari betapa tinggi peradaban orang Jawa, khususnya Surakarta dan Yogyakarta.
Selama ini saya bukan pula seorang penikmat seni tradisional Jawa khususnya musik gamelan dan tari. Saya lebih sebagai penggemar keindahan musik dan lagu  Barat yang  ekspresif dan enerjik. Gamelan dan tari Jawa terlalu lamban, mellow, kurang rancak, pokoknya membikin ngantuk.  Keindahan musik, lagu dan tari Barat bisa dinikmati begitu indra mata dan telinga menangkapnya. Namun, untuk menemukan keindahan atau untuk bisa “connect” dengan seni musik dan tari Jawa sepertinya butuh waktu, batin, dan enerji pikiran yang lebih. Seni tari dan musik Barat adalah gambaran gelora jiwa yang meledak-ledak, bebas merdeka , ekspresif tanpa basa-basi, Gamelan dan tari Jawa (khususnya klasik) adalah gambaran sebaliknya: terkendali, lembut , santun penuh tata krama. Keindahan seni gamelan dan musik Jawa tidak cukup dipahami hanya lewat indra fisik tapi juga batin manusia . Pemahaman saya ini adalah murni kesimpulan pribadi seorang amatir yang diambil dari  (hanya) beberapa kali menonton pertunjukan tari tradisional Jawa. Sekali pun amatir, penilaian itu datang dari orang Jawa.
Orang Jawa” , identitas etnis yang selama ini tidak saya sadari , suatu yang saya anggap “given” : sudah terberi. Apa dan bagaimana orang Jawa? Nilai-nilai apa yang menunjukkan identitas sebagai Jawa? Apa itu budaya Jawa? Pertanyaan-pertanyaan ini selama ini tidak pernah terbersit dalam pikiran saya. Namun dengan menonton seni tradisional Jawa di Kraton Kasunanan dan yang baru ini di acara Mangkunegaran Performing Art 2011 menggelitik otak saya untuk berpikir dan berusaha mencari jawabannya. Penting tidak sih mempertahankan  identitas budaya Jawa?
Tentang apa yang dimaksud budaya, Wikipedia menjelaskan demikian :
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.  
Berdasarkan wujudnya, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama: kebudayaan material dan nonmaterial. Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci. Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional (wikipedia).
Adapun  budaya Jawa  mempunyai beberapa ciri yang salah satunya adalah menjunjung tinggi nilai harmoni :
Kebudayaan Jawa mengutamakan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian. Semua unsur kehidupan harus harmonis, saling berdampingan, intinya semua harus sesuai. Segala sesuatu yang menimbulkan ketidakcocokan harus dihindari, kalau ada hal yang dapat mengganggu keharmonisan harus cepat dibicarakan untuk dibetulkan agar dapat kembali harmonis dan cocok lagi.
Biasanya yang menganggu keharmonisan adalah  perilaku manusia, baik  itu perilaku manusia dengan manusia atau perilaku manusia dengan alam. Kalau menyangkut perilaku manusia dengan alam yang membetulkan ketidakharmonisan adalah pemimpin atau menjadi tanggungjawab pimpinan masyarakat. Yang sulit apabila keseimbangan itu diganggu oleh perilaku manusia dengan manusia sehingga menimbulkan konflik. Ketidakcocokan atau rasa tidak suka adalah hal yang umum, namun untuk menghindari konflik, umumnya rasa tidak cocok itu dipendam saja (Wikipedia bahasa Jawa). 

Upaya menjaga harmonisasi ini rupanya yang  membuat kebanyakan orang Jawa tidak suka konflik secara terbuka. Ciri ini -kalau memakai bahasa gaul- “gue banget”. Sepertinya tidak sampai hati (ora tekan) kalau ada rasa tidak puas, tidak cocok terus diteriakkan lugas ke orangnya apalagi kalau di depan orang banyak atau forum. Untuk menyelesaikan konflik rasanya lebih sreg kalau dibicarakan secara pribadi dulu ketimbang langsung dibuka di forum dan diketahui orang banyak. Namun cara ini ada kelemahannya, karena tidak mau berbicara terbuka, orang Jawa menjadi lebih suka kasak kusuk atau menggerudel di belakang . Akibatnya, bukan mencoba mengembalikan keseimbangan atau harmonisasi malah justru memelihara ketidakharmonisan. Falsafah menjaga harmoni ini juga terlihat dari gerak tari tradisional Jawa terutama yang merupakan karya para raja Solo dan Yogya : halus, hati-hati, luwes, penuh perhitungan, ekspresi gerak dan wajah penarinya begitu terjaga , anggun dan agung, hampir tidak ada ekspresi spontan dan meledak-ledak. Bahkan konon untuk menarikan tarian ini penarinya harus menjalani ritual atau laku batin tertentu seperti puasa atau pantang.

Ciri atau identitas lainnya dari budaya Jawa adalah keyakinan Kejawen. Kejawen (Wikipedia) adalah kepercayaan yang hidup di suku Jawa. Kejawen pada dasarnya bersumber dari kepercayaan Animisme yang dipengaruhi ajaran Hindu dan Budha. Karena itulah suku Jawa umumnya dianggap sebagai suku yang mempunyai kemampuan menjalani sinkretisme kepercayaan, semua budaya luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa.
Kepercayaan Kejawen yang merupakan sinkretisme antara animisme dengan ajaran Hindu dan Budha menggambarkan bahwa orang Jawa pada dasarnya bersifat pluralis, terbuka, mudah menerima pengaruh budaya luar dan pandai menyesuaikannya dengan budaya sendiri dan bahkan mengolahnya menjadi bentuk budaya baru yang tidak kalah bahkan lebih bagus dari budaya aslinya. Contohnya seni tari dan wayang yang berkembang di Jawa  dan Bali bersumber dari kisah Mahabarata dan Ramayana , namun jauh lebih indah dari Negara asalnya India.
Berbicara tentang budaya  Jawa, khususnya Surakarta dan Yogyakarta, tidak bisa dilepaskan dari Kraton sebagai pusat budaya Jawa. Karya seni Jawa baik sastra, gamelan, tari dan wayang adalah bentuk ekspresi budaya yang dikembangkan oleh raja-raja dan seniman atau pujangga Kraton Solo dan Yogya. Pada mulanya karya seni itu merupakan klangenan (hiburan) yang terbatas dinikmati kalangan kraton. Dalam perkembangannya, karya seni ini kemudian dipentaskan sebagai produksi seni pertunjukan bagi rakyat biasa. 
Di Surakarta, Sunan Paku Buwono X membuka Taman Hiburan Sri Wedari dengan pertunjukan wayang orang yang main setiap malam. Masyarakat Surakarta dan sekitarnya (yang masih kuat berorientasi ke budaya istana), menyambut dengan gembira. Melalui pertunjukan wayang orang, mereka bisa mengidentifikasikan dirinya dengan kaum priyayi dan bisa mengagumi kebesaran masa silam…..
Di Yogyakarta, dengan restu Sultan, perkumpulan tari Krida Beksa Wirama didirikan tahun 1918 dan sejak itu tarian keraton boleh diajarkan kepada rakyat banyak. Upaya meneguhkan legitimasi kekuasaan raja tetap dilakukan dengan patronase pertunjukan gamelan, tari, dan wayang. Selama memerintah (1921-39), Sultan Hamengku Buwono VIII mementaskan 11 lakon wayang orang. Beberapa di antaranya didukung oleh 300-400 seniman dan mengambil waktu 3-4 hari, dari jam 06:00 sampai 23:00 (http://www.heritageofjava.com/)

Perubahan seni tradisi Kraton Jawa dari sebagai bentuk ekspresi budaya dan ritual kraton menjadi seni pertunjukan popular menjadikan seni tari dan wayang menyatu sebagai milik orang Jawa. Seni tradisi dikembangkan dan diwariskan turun temurun sebagai bagian dari identitas budaya Jawa.
Seni tradisional Jawa yang telah menjadi identitas yang dilakoni dan dihidupi oleh orang Jawa selama bertahun-tahun itu saat ini mengalami erosi akibat kuatnya pengaruh budaya Barat yang disebarkan melalui  tehnologi media seperti film dan televisi.  Anak-anak muda jaman sekarang lebih menyukai tari, lagu dan musik Barat ketimbang seni tradisional. Mereka lebih memilih mempelajari seni musik Barat daripada belajar karya seni tradisi. Karya seni Barat terkesan  modern dan lebih bergengsi, juga lebih ekspresif, spontan dan energik sehingga dirasa lebih pas dengan gejolak jiwa muda .
Kekhawatiran bahaya ancaman budaya asing terhadap keberlanjutan tradisi budaya local nampaknya tidak hanya berlaku untuk budaya Jawa tapi juga tradisi banyak suku di Indonesia. Kompas Minggu, 22 Mei 2011 dalam rubrik persona kebetulan juga mengulas masalah ini. Dengan judul “Negeri dalam Darurat Tradisi” rubrik ini memuat wawancara dengan Prof. Dr. Nurhayati Rahman,M.Hum yang risau akan punahnya kebudayaan local dan seni tradisi suku Bugis : “Negeri ini berada dalam darurat tradisi. Penelitian saya tahun 2003 memperlihatkan para maestro seni tradisi usianya rata-rata 60-70an tahun. Kalau tak ada transformasi pengetahuan kepada generasi muda, praktis 10 tahun mendatang seni tradisi di Sulawesi Selatan akan habis…Kalau hal ini terjadi di semua kebudayaan di Indonesia, kita akan menjadi bangsa yang kehilangan sukmanya. Putus sudah yang menghubungkan kita sebagai bangsa ”.
Budaya asing yang mengancam eksistensi budaya local bukan hanya datang dari hegemoni budaya Barat tapi juga budaya tandingannya. Kuatnya penetrasi budaya global telah memicu perlawanan berupa menguatnya  gerakan anti Barat berikut nilai dan ideologi yang terkandung di dalamnya. Gerakan ini cenderung ingin mengembalikan tatanan social, budaya dan politik yang menurut mereka merupakan praktek yang paling ideal dan menjanjikan kesejahteraan.  Gerakan anti budaya Barat  ini juga memperoleh dukungan kuat di Indonesia. Sama halnya dengan budaya Barat, gerakan ini mengenalkan identitas budaya yang berbeda dan bahkan dalam hal tertentu tidak komplemen dengan budaya Jawa dan budaya local banyak suku di Indonesia umumnya.
Baik budaya Barat maupun budaya tandingannya ternyata berpotensi membuat orang Jawa melupakan dan bahkan menilai rendah budaya nenek moyangnya sendiri. Setelah menonton begitu indahnya harmonisasi antara musik gamelan, kostum dan gerak tari tradisional Jawa tidak terbayang sedihnya kalau budaya yang adiluhung itu dilupakan dan dimusnahkan sebagai identitas orang Jawa. Budaya apa yang akan kita turunkan ke generasi muda suku Jawa? Apakah identitas budaya baru itu sedemikian berharganya sampai kita tega memusnahkan kekayaan dan keluhuran budaya ‘indigenous” kita sendiri?
Tentang hal ini, Prof. Nurhayati Rahman menyatakan ancaman kepunahan seni tradisi di Indonesia bukan hanya karena ancaman budaya asing, namun karena “ Kita tak punya kecintaan pada diri kita, bangsa kita, Negara kita. Kita bangga kalau bisa impor segala sesuatu, termasuk ilmu pengetahuan. Makanya tak ada penemuan baru, karena terlalu “menurut mereka”, bukan “menurut kita”. Padahal sumber pengetahuan kita berlimpah”.
Khusus untuk seni tradisional Jawa, saya optimis masih banyak orang Jawa yang “sangat Jawa”. Budaya Jawa dengan pusatnya Kraton Surakarta dan Yogyakarta, ibarat pohon mempunyai akar kuat dalam hati dan jiwa manusia Jawa. Nilai-nilai ajaran Jawa berikut  ritual tradisi tetap terus akan dilakoni orang Jawa  selama Kraton tetap menjadi pusarnya. Banyaknya sanggar seni dan lembaga pendidikan seni di Solo dan Yogyakarta akan terus mencetak seniman-seniman tradisi yang terpanggil untuk merawat dan  mencintai warisan leluhurnya. Buktinya dalam pertunjukan seni Mangkunegaran Performing Art 2011 ditampilkan lakon wayang orang yang sebagian besar pelakunya anak-anak kecil usia TK , SD dan SMP. Dan mereka menunjukkan bakat seni yang sungguh luar biasa. Terima kasih untuk para seniman dan para guru seni yang mempunyai dedikasi tinggi untuk mengabdi bagi seni tradisi dan  yang telah berhasil mencetak calon-calon penerus budaya Jawa.
Coretanku 22 Mei 2011
                            Keserasian dan keindahan kostum dan  gerak tari tradisional Jawa
                                           Foto : doctorcomputer. blog. uns.ac.id

Foto : Jojo (koleksi pribadi)
Foto: Mursito
Inilah para penerus eksistensi budaya Jawa
Foto : Jojo (koleksi pribadi)
Foto : Mursito
Foto :Mursito
Saya (baju kotak-kotak merah) foto bersama GPH Herwasto Kusumo (baju batik) – motor penggerak Sanggar Tari Surya Sumirat . Beliau ini yang   membuat  seni tari tradisional Jawa  akan tetap  lestari

Tentang Integritas


Integrity atau integritas adalah suatu konsep yang menunjuk konsistensi antara tindakan dengan  nilai dan prinsip. Dalam etika, integritas diartikan sebagai kejujuran dan  kebenaran dari tindakan seseorang. Lawan dari integritas adalah hipocrisy (hipokrit atau munafik).  Seorang dikatakan “mempunyai integritas” apabila tindakannya sesuai dengan nilai, keyakinan, dan prinsip yang dipegangnya (Wikipedia).
We have integrity when what people see is the same as who we say we are.  Mudahnya, ciri seorang yang berintegritas ditandai oleh satunya kata dan perbuatan bukan seorang yang kata-katanya tidak dapat dipegang atau bahasa Jawanya mencla-mencle, esuk dele sore tempe. Seorang yang mempunyai integritas bukan tipe manusia  dengan banyak wajah dan penampilan yang  disesuaikan dengan motif dan kepentingan pribadinya. 
Integritas menjadi karakter kunci bagi seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang mempunyai integritas akan mendapatkan kepercayaan (trust) dari pegawainya. Pimpinan yang berintegritas  dipercayai karena apa yang menjadi ucapannya juga menjadi tindakannya. Dari selancar di internet saya menemukan ungkapan yang menarik tentang integritas :
“When you are looking at the characteristics on how to build your personal life, first comes integrity; second, motivation; third, capacity; fourth, understanding; fifth, knowledge; and last and least, experience.
Without integrity, motivation is dangerous; without motivation, capacity is impotent; without capacity, understanding is limited; without understanding, knowledge is meaningless; without knowledge, experience is blind. Experience is easy to provide and quickly put to good use by people with all other qualities.
Make absolute integrity the compass that guides you in everything you do. And surround yourself only with people of flawless integrity.”
(Sumber dari  SINI )
Ungkapan yang saya cetak tebal menurut saya sangat inspirasional : Tanpa integritas , motivasi menjadi berbahaya; tanpa motivasi, kapasitas menjadi tak berdaya; tanpa kapasitas, pemahaman menjadi terbatas; tanpa pemahaman pengetahuan tidak ada artinya; tanpa pengetahuan, pengalaman menjadi buta.
Kesimpulannya, integritas adalah kompas yang mengarahkan perilaku seseorang. Integritas adalah gambaran keseluruhan pribadi seseorang (integrity is who you are).
Saya tertarik mengulas tentang integritas karena bulan-bulan ini perguruan tinggi tempat saya bekerja disibukkan dengan pemilihan pimpinan di tingkat Universitas , Fakultas dan Jurusan. Sumber daya dosen tingkat Universitas dan Fakultas saat ini semakin berkualitas.  Hampir semua dosen saat ini adalah  lulusan S2. Bahkan setiap tahun jumlah dosen bergelar doktor  dan professor semakin meningkat. Melihat kapasitas dan kapabilitas para dosen semacam ini, tentunya tidaklah sulit untuk memilih siapa-siapa yang cocok menduduki jabatan pimpinan.
Setelah membaca tentang makna integritas, saya berpendapat kriteria integritas sebagai persyaratan pertama dalam memilih pimpinan, baru berikutnya menyusul syarat kapabilitas intelektual dan manajerial. Saya akan mulai mengamati dan  mempelajari  siapa saja di antara begitu banyaknya SDM yang berpendidikan tinggi dengan beraneka macam bidang kepakaran yang kira-kira menunjukkan seorang yang mempunyai integritas.  Saya berharap dari hasil pengamatan itu dapat menemukan banyak figure calon pemimpin yang tidak hanya berintegritas tinggi tapi juga berwawasan luas dan visioner. Kalau dari hasil  pengamatan saya nanti ternyata saya kesulitan menemukan calon pemimpin yang berintegritas, dan sebaliknya yang banyak saya temukan justru tipe sebaliknya yakni tipe hipocricy  maka lembaga ini sungguh-sungguh dalam ancaman bahaya.  Bahaya yang mengancam bukan main-main. Karena lembaga yang mengalami krisis  integritas akan mengalami kemerosotan akibat proses pembusukan dari dalam unsur-unsur organisasi sendiri.
Saya optimis  krisis integritas tidak akan melanda lembaga tempat kerja saya ini. Karena saya yakin, para intelektual, para pakar, dan pemegang jabatan di tingkat Universitas mau pun Fakultas adalah insan-insan yang mempunyai integritas tinggi dan mempunyai komitmen tinggi pada kepentingan dan kemajuan lembaga. Mereka adalah kaum intelektual dan akademisi yang tentu saja mempunyai pemikiran dan wawasan yang terbuka dan akan meletakkan kepentingan lembaga di atas kepentingan pribadi maupun kelompok dan golongannya.  Semoga saja demikian. Selamat memilih !


Coretanku awal Mei 2011
Gambar : phoenixtreeproductions.wordpress.com

Tentang Agama

Faith is like love :  it cannot be forced." (Arthur Schopenhauer) 

Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut (Wikipedia).
Agama kadang disamakan dengan iman (faith). Berbeda dengan keyakinan atau iman yang bersifat pribadi, agama memiliki aspek publik. Jika iman merupakan keyakinan individu atau personal akan keberadaan dan kuasa Tuhan, maka agama merupakan sistem keyakinan yang terlembaga. Agama memiliki struktur kelembagaan, hirarki kekuasaan, tata ritual dan aturan yang harus ditaati oleh pengikutnya.
Agama sebagai suatu lembaga menjadi sangat dekat dengan kekuasaan. Pemegang otoritas agama mempunyai kontrol atas tafsir ajaran dan perilaku pengikutnya. Sebagaimana lembaga kuasa lainnya, agama bisa menjadi lembaga omnipotent yang lebih mengutamakan kebesaran kekuasaan lembaga sehingga melupakan dimensi pengembangan kualitas  iman personal.
Tulisan berikut ini dengan indah dan kritis menggambarkan tentang makna iman dan agama. Pertama, Kahlil Gibran  menyatakan iman dan agama tidak bisa lepas dari perilaku. Ritual agama tidak dibatasi oleh rumah ibadah. Perbuatan nyata dalam hidup sehari-hari itulah ibadah dan agama yang senyatanya (Your daily life is your temple and your religion). Kedua, Mustofa Bisri mengkritisi perilaku beragama orang yang merasa paling dekat dan paling tahu kehendak Tuhan. Tentang orang semacam ini Bisri menyatakan bahwa sesungguhnya mereka hanya sekedar memuaskan egonya, bukan mencari cintaNya. Tulisan ketiga dan keempat adalah  satire yang ditulis oleh Anthony de Mello. Mello menganalogikan persaingan antar agama untuk meraih umat sebanyak-banyaknya tak ubahnya dengan para pedagang yang jualan di pasar malam. Tulisan "Jesus Menonton Pertandingan Sepakbola" menggambarkan persaingan antar aliran dalam agama yang saling mengklaim sebagai paling benar . Yesus ternyata tidak memihak salah satu pun : 'Itulah sebabnya Aku tidak mendukung agama; Aku mendukung orang-orangnya.' 'Orang lebih penting daripada agama. Manusia lebih penting daripada hari Sabat.'
Religion
Oleh : Kahlil Gibran

And an old priest said, "Speak to us of Religion."
And he said:
Have I spoken this day of aught else?
Is not religion all deeds and all reflection,
And that which is neither deed nor reflection, but a wonder and a surprise ever springing in the soul, even while the hands hew the stone or tend the loom?
Who can separate his faith from his actions, or his belief from his occupations?
Who can spread his hours before him, saying, "This for God and this for myself; This for my soul, and this other for my body?"
All your hours are wings that beat through space from self to self.
He who wears his morality but as his best garment were better naked.
The wind and the sun will tear no holes in his skin.
And he who defines his conduct by ethics imprisons his song-bird in a cage.
The freest song comes not through bars and wires.
And he to whom worshipping is a window, to open but also to shut, has not yet visited the house of his soul whose windows are from dawn to dawn.
Your daily life is your temple and your religion.
Whenever you enter into it take with you your all.
Take the plough and the forge and the mallet and the lute,
The things you have fashioned in necessity or for delight.
For in revery you cannot rise above your achievements nor fall lower than your failures.
And take with you all men:
For in adoration you cannot fly higher than their hopes nor humble yourself lower than their despair.
And if you would know God be not therefore a solver of riddles.
Rather look about you and you shall see Him playing with your children.
And look into space; you shall see Him walking in the cloud, outstretching His arms in the lightning and descending in rain.
You shall see Him smiling in flowers, then rising and waving His hands in trees.
CINTAMU
Oleh: A. Mustofa Bisri
bukankah aku sudah mengatakan kepadamu kemarilah
rengkuh aku dengan sepenuh jiwamu
datanglah aku kan berlari menyambutmu
tapi kau terus sibuk dengan dirimu
kalaupun datang kau hanya menciumi pintu rumahku
tanpa meski sekedar melongokku
kau hanya membayangkan dan menggambarkan diriku
lalu kau rayu aku dari kejauhan
kau merayu dan memujaku
bukan untuk mendapatkan cintaku
tapi sekedar memuaskan egomu
kau memarahi mereka yang berusaha mendekatiku
seolah-olah aku sudah menjadi kekasihmu
apakah karena kau cemburu buta
atau takut mereka lebih tulus mencintaiku?
pulanglah ke dirimu
aku tak kemana-mana

Sumber : http://puisisurga.wordpress.com/mustofa-bisri/cintamu/

Pasar Malam Agama
Oleh : Anthony de Mello
Aku dan temanku pergi ke 'Pasar Malam Agama'. Bukan pasar dagang namun pasar agama. Tapi persaingannya tak kalah sengit, propagandanya pun sama hebatnya.

Di kios Yahudi:
"Tuhan itu Maha Pengasih dan bahwa bangsa Yahudi adalah umat pilihan-Nya. Ya... bangsa Yahudi. Tak ada bangsa lain yang terpilih seperti bangsa Yahudi."

Di kios Islam:
"Allah itu Maha Penyayang dan Muhammad ialah nabinya. Keselamatan hanya bisa diperoleh dengan mendengarkan Nabi Tuhan yang satu-satunya itu".

Di kios Kristen:
"Tuhan adalah Cinta dan bahwa di luar gereja tidak ada keselamatan. Silahkan mengikuti gereja kudus jika tidak ingin mengambil resiko masuk neraka".

Di pintu keluar aku bertanya pada temanku, "Apakah pendapatmu tentang Tuhan?"

Jawabnya, "Rupanya Ia penipu, fanatik dan bengis."

Sampai di rumah aku bertanya pada Tuhan, "Bagaimana Engkau bisa tahan dengan hal seperti ini Tuhan? Apakah Engkau tidak tahu, bahwa selama ini mereka memberi julukan jelek kepada Mu?"

Lalu Tuhan berkata, "Bukan Aku yang mengadakan 'Pasar Malam Agama' itu. Aku bahkan terlalu malu untuk mengunjunginya."


JESUS MENONTON PERTANDINGAN SEPAKBOLA
Oleh : Anthony de mello

Jesus Kristus berkata bahwa Ia belum pernah menyaksikan pertandingan sepakbola. Maka kami, aku dan teman-temanku, mengajakNya menonton. Sebuah pertandingan sengit berlangsung antara kesebelasan Protestan dan kesebelasan Katolik.

Kesebelasan Katolik memasukkan bola terlebih dahulu. Jesus bersorak gembira dan melemparkan topinya tinggi-tinggi. Lalu ganti kesebelasan Protestan yang mencetak goal. Dan Jesus bersorak gembira serta melemparkan topinya tinggi-tinggi lagi.

Hal ini rupanya membingungkan orang yang duduk di belakang kami. Orang itu menepuk pundak Jesus dan bertanya: 'Saudara berteriak untuk pihak yang mana?'

'Saya?' jawab Jesus, yang rupanya saat itu sedang terpesona oleh permainan itu. 'Oh, saya tidak bersorak bagi salah satu pihak, Saya hanya senang menikmati permainan ini.'

Penanya itu berpaling kepada temannya dan mencemooh Jesus: 'Ateis!'

Sewaktu pulang, Jesus kami beritahu tentang situasi agama di dunia dewasa ini. 'Orang-orang beragama itu aneh, Tuhan,' kata kami. 'Mereka selalu mengira, bahwa Allah ada di pihak mereka dan melawan orang-orang yang ada di pihak lain.'

Jesus mengangguk setuju. 'Itulah sebabnya Aku tidak mendukung agama; Aku mendukung orang-orangnya,' katanya. 'Orang lebih penting daripada agama. Manusia lebih penting daripada hari Sabat.'
'Tuhan, berhati-hatilah dengan kata-kataMu,' kata salah seorang di antara kami dengan was-was. 'Engkau pernah disalibkan karena mengucapkan kata-kata serupa itu.' 'Ya --dan justru hal itu dilakukan oleh orang-orang beragama,' kata Jesus sambil tersenyum kecewa.
Merenung soal agama paling pas kalau sambil mendengarkan lagu ini :

Gambar : A guiding light - shopholesinyourshocks com

Tentang Ideologi

Pemahaman Saya tentang Sekularisme,
Pluralisme dan Liberalisme

One of the great tragedies of mankind is that morality has been hijacked by religion (Frank A. Clark)
People take different roads seeking fulfillment and happiness. Just because they’re not on your road doesn’t mean they’ve gotten lost (H. Jackson Browne)

Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme bagi saya adalah :
Sekularisme :
Saya memisahkan agama dari urusan publik. Agama adalah urusan pribadi saya dengan Tuhan yang memberi saya hidup. Pantang saya membawa identitas agama saya ke ranah publik. Saya meninggalkan semua identitas keagamaan saya di rumah. Begitu saya keluar , ke masyarakat, ke tempat kerja saya membuang tanda-tanda, symbol-simbol agama saya. Seandainya di KTP kolom agama itu boleh diisi selain agama-agama yang ditentukan Negara , saya akan mengisinya dengan Beriman Kepada Tuhan (yang menciptakan alam raya, yang menentukan hidup dan mati manusia). 
Prinsip ini saya pegang. Untuk saya pribadi , saya menghindari  bentuk , symbol atau tanda-tanda yang menandakan identitas keagamaan saya.  Sedapat mungkin saya menghindari mengucapkan satu  ayat pun atau satu kata pun symbol bahasa agama saya.  Di ranah publik symbol agama saya adalah sikap, perbuatan dan perilaku nyata saya ke sesama.
Bagi saya , agama adalah lembaga. Iman saya kepada yang memberi saya hidup adalah urusan pribadi yang harus saya pertanggungjawabkan secara pribadi kepada Tuhan. Dan hanya Tuhan yang berkuasa menilai ibadah saya kepadaNya. Saya tidak mau hubungan pribadi saya dengan Tuhan dibelenggu, dibatasi oleh (birokrasi) agama, apalagi oleh aturan dan birokrasi negara.
Pluralisme :
Saya menghargai Pluralisme. Dalam ranah politik , Negara, atau publik ,  saya menghargai keberagaman pemikiran politik, suku, agama, ras  dan golongan untuk hidup berdampingan secara damai dengan hak dan kewajiban yang sama.
Dalam agama, kebenaran agama yang saya imani berlaku untuk diri saya sendiri dan akan saya pegang teguh. Namun saya menghargai , kebenaran agama yang diyakini orang lain. Walau pun tidak saya imani, tapi saya menghargai kebenaran agama orang lain. Dan Negara yang berlandaskan Pancasila harus memberi hak dan kewajiban yang sama kepada semua penganut agama. 
Saya lebih mencari aspek-aspek persamaan ketimbang perbedaan dari agama-agama. Secara ritual dan akidah keagamaan atau syariat , jelas semua agama meyakini agamanya lah yang paling benar. Namun bagi saya , syariat adalah wilayah pribadi praktek keagamaan saya. Di ranah publik, saya lebih mencari kesamaannya atau sisi substantifnya : hakikat dan marifat  yaitu rahmatan lil alamin, kasih dan damai sejahtera, semoga semua makhluk berbahagia, dsb.
Liberalisme :
Saya menghargai akal dan kemampuan berpikir yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Karena itu saya menghargai kemerdekaan dalam menuangkan ide dan gagasan dan kehendak bebas (free will dan free thinking). Kebebasan berpikir dan berpendapat inilah inti liberalism. Sebagai guru, dosen yang menjadi garda terdepan menumbuhkembangkan intelektualitas anak didik atau generasi penentu masa depan bangsa , saya harus liberal. Saya memotivasi mahasiswa untuk berani berpendapat, berargumen dan berdebat. Dalam diskusi yang saya nilai bukan benar atau salah suatu ide atau gagasan tapi argumentasi yang dikemukakan. Dunia Perguruan Tinggi tidak bisa berkembang tanpa ditopang kebebasan berpikir, berpendapat dan kebebasan akademis lainnya. Ilmu tidak bisa berkembang tanpa kebebasan perdebatan akademis : thesa – antitesa - sintesa.
Dalam ranah agama, bagi saya liberalism bukan berarti orang bisa bebas mengobrak-abrik ajaran agama.  Agama yang liberal adalah agama yang terbuka dalam arti tidak menampilkan praktek/perilaku keagamaan yang sempit, menakutkan, tidak toleran atau tidak menghargai  penganut  agama lain.  Agama yang liberal adalah agama yang merangkul, mengayomi bukan menendang.  Liberalisme dalam agama , bagi saya lebih pada freedom of religion dalam arti bebas menentukan atau menganut suatu agama. Dan Negara harus menjamin kebebasan ini berlaku untuk semua agama.
Apakah saya salah jika mempunyai pandangan semacam ini ?
Coretanku 15 Mei 2011


Gambar: diambil dari The Free Thinker oleh Gisele Bedard (redbubble.com)
Tulisan : diambil dari sunderlandbookgroup.wordpress.com

Jumat, 27 Mei 2011

The Greatest Love of All


"The Greatest Love of All" merupakan lagu yang  sangat inspirasional bagi orang tua, anak, pendidik dan anak didik. "The Greatest Love of All"  ditulis oleh Michael Masser dan Linda Creed dan dibawakan pertama kali oleh  George Benson pada tahun 1977. Lagu ini kemudian dipopulerkan oleh Whitney Houston (Wikipedia).
Inilah lirik  lengkap lagunya :
I believe the children are our  future
Teach them well and let them lead the way
Show them all the beauty they possess inside
Give them a sense of pride to make it easier
Let the children's laughter remind us how we used to be
Everybody searching for a hero
People need someone to look up to
I never found anyone to fulfill my needs
A lonely place to be
So I learned to depend on me

I decided long ago, never to walk in anyone's shadows
If I fail, if I succeed
At least I live as I believe
No matter what they take from me
They can't take away my dignity
Because the greatest love of all
Is happening to me
I found the greatest love of all
Inside of me
The greatest love of all
Is easy to achieve
Learning to love yourself
It is the greatest love of all

I believe the children are our future
Teach them well and let them lead the way
Show them all the beauty they possess inside
Give them a sense of pride to make it easier
Let the children's laughter remind us how we used to be

And if by chance, that special place
That you've been dreaming of
Leads you to a lonely place
Find your strength in love
Secara garis besar lirik lagu ini menyatakan bahwa anak-anak adalah masa depan kita. Didiklah mereka dengan baik dan biarkan mereka menemukan jalannya. Tugas orang tua dan pendidik hanyalah menunjukkan potensi yang mereka miliki dan membangkitkan harga diri dan kebanggaan mereka. 
Setiap anak dalam masa pencarian identitas diri tentu membutuhkan pahlawan yang bisa menjadi panutan atau role model.  Tidak selalu pahlawan itu bisa ditemukan,  bahkan kalau realitas yang dilihat tidak seperti yang diharapkan bisa membuat kecewa atau frustasi. Karena itu cara yang tepat adalah dengan mengolah apa yang ada dalam diri anak sendiri, belajar mandiri, tergantung dan percaya pada kekuatan sendiri. Tidak mengekor cara dan jalan orang lain. Tidak berada di bawah bayang-bayang orang lain. 
Dengan menjadi diri sendiri , maka segala kegagalan dan keberhasilan adalah usaha keras sendiri bukan karena orang lain. Kesuksesan yang diraih atas jerih payah sendiri akan membangkitkan harga diri. Karena itu, cinta yang terbesar ada dari dalam diri seseorang. Tugas pendidik adalah membantu anak didik memukan cinta terbesar itu. Mengutip puisi Kahlil Gibran tentang anak, sebagai pendidik dan orang tua kita ini ibarat busur-busur tempat anak-anak panah yang hidup diluncurkan.

Inilah puisi terkenal Gibran tentang anak :
Anak - Khalil Gibran
Gambar : ourchurch.com
Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu.
Mereka adalah putra putri dari kehidupan yang merindukan dirinya sendiri,
Mereka datang melaluimu tetapi bukan darimu,
Dan walaupun mereka tinggal bersamamu, mereka bukanlah milikmu
.
Kau dapat memberikan kasih-sayangmu tetapi tidak pikiranmu,
Karena mereka mempunyai pemikiran sendiri.
Kau dapat memberikan tempat untuk raga tetapi tidak untuk jiwa mereka,
Karena jiwa mereka menghuni rumah masa depan, yang tak dapat kau kunjungi, bahkan tak juga dalam mimpi-mimpimu.
Kau dapat berupaya keras untuk menjadi seperti mereka, tetapi jangan mencoba membuat mereka sepertimu,
Karena kehidupan tidak berjalan ke belakang juga tak tinggal di masa lalu.
Kau adalah busur dari mana anak-anakmu melesat ke depan sebagai anak panah hidup…
Sang pemanah melihat sasaran di atas jalur di tengah keabadian, dan DIA meliukkanmu dengan kekuatanNYA sehingga anak panahNYA dapat melesat dengan cepat dan jauh.
Biarkanlah liukkanmu di tangan sang pemanah menjadi keceriaan;
Bahkan DIA pun mengasihi anak panah yang terbang, demikian juga DIA mengasihi busur yang mantap.
Semoga lirik “Greatest Love of All” dan puisi Gibran semakin menyadarkan  kita akan panggilan dan esensi pengabdian  di dunia  pendidikan. 
Coretanku di awal April 2011

 

Another Day in Paradise

Another Day in Paradise” merupakan salah satu lagu dari album Phil Collins. “.But Seriously” yang dirilis tahun 1989. Lagu yang bercerita tentang tunawisma ini pada tahun 1991 berhasil memenangkan Grammy Award for Record of the Year dan Best British Single pada tahun 1990 (Wikipedia). 

Inilah lyric lagunya :
She calls out to the man on the street
"Sir, can you help me?
It's cold and I've nowhere to sleep,
Is there somewhere you can tell me?"

He walks on, doesn't look back
He pretends he can't hear her
Starts to whistle as he crosses the street
Seems embarrassed to be there


Oh think twice, it's another day for
You and me in paradise
Oh think twice, it's just another day for you,
You and me in paradise

She calls out to the man on the street
He can see she's been crying
She's got blisters on the soles of her feet
Can't walk but she's trying

Oh think twice...

Oh lord, is there nothing more anybody can do
Oh lord, there must be something you can say

You can tell from the lines on her face
You can see that she's been there
Probably been moved on from every place
'Cos she didn't fit in there

Oh think twice...


Lirik  lagu di atas bercerita tentang para tunawisma dan sikap ketidakpedulian orang akan keadaan dan nasib mereka. Kita abai dan pura-pura tidak tahu atau memang tidak mau tahu dengan perjuangan para gelandangan untuk bertahan hidup. Kita sibuk dengan urusan kita sendiri, berjuang untuk meraih kemakmuran sendiri. Kita sibuk mengejar kesenangan hidup dan kekayaan material : mobil, rumah mewah, wisata, gaji, jabatan, dll. Kita lupa ada sebagian manusia yang bahkan untuk makan pun harus mengais-ngais sisa dan tidak mempunyai atap untuk menaungi tidurnya. Berapa banyak orang yang perduli dan mau bertindak untuk memperbaiki kehidupan para gelandangan?
Tragisnya pemerintah sebagai pengemban tanggung jawab pelayanan publik sama tidak pedulinya dengan kita.  Problem kemiskinan dan kesenjangan sosial struktural dipecahkan dengan cara mengeluarkan larangan agar tidak memberi ke pengemis, “Please don’t give to beggars, they cause traffic problems” demikian tertulis dalam videoclip “Another Day in Paradise”.  Sungguh ironis, ketidakmampuan pemerintah untuk memecahkan masalah  sosial ditimpakan pada si gelandangan dan melarang orang untuk memperdulikan mereka.
Gelandangan tidak bisa diatasi dengan menyumbat spirit karitas manusia apabila dengan menyingkirkan atau menyembunyikannya.  Gelandangan itu bak borok,  baunya akan tetap menyebar selama sumber penyakitnya tidak disembuhkan.  Daripada menyembunyikan borok itu, mengapa pemerintah tidak berpikir untuk memanfaatkan semangat beramal masyarakat untuk menggalang dana bagi pengentasan problem kemiskinan.
Yah, ternyata kita hanya bisa bernyanyi :
Oh think twice, it's another day for
You and me in paradise
Oh think twice, it's just another day for you,
You and me in paradise
Gambar : Pablo Picasso - Old Beggar with a Boy (greatoilpainting.com)