Sabtu, 28 Januari 2012

Politik dan selera humor orang Indonesia.

A sense of humor... is needed armor. Joy in one's heart and some laughter on one's lips is a sign that the person down deep has a pretty good grasp of life.  (Hugh Sidey)

A person without a sense of humor is like a wagon without springs. It's jolted by every pebble on the road  (Henry Ward Beecher)


Setelah seminggu penuh otak saya diperas untuk mikir yang berat-berat, akhir pekan ini saya ingin cari hiburan. Iseng-iseng saya browsing tulisan-tulisan ringan yang bisa membuat senyum. Akhirnya saya dapat banyak tulisan humor yang tidak saja bisa membuat senyum dikulum tapi bahkan tertawa ngakak. Selera humor orang Indonesia memang luar biasa. Ini yang membuat saya makin I love you full sama bangsa Indonesia. Meskipun dibombardir bertubi-tubi oleh carut marut politik dan tekanan ekonomi, orang Indonesia masih bisa meresponnya dengan cerdik melalui banyolan yang sangat kreatif.  Bahkan kondisi sosial politik yang kacau balau itu bisa dimanfaatkan menjadi sumber ide membuat joke atau banyolan yang tak ada habisnya.

Humor yang dilontarkan sebagai bentuk kritik terhadap kondisi sosial, ekonomi dan politik yang menekan merupakan bentuk respon yang dewasa (mature) dan sehat secara kejiwaan. Orang yang bisa meng”humor”kan situasi yang tidak menyenangkan, menjengkelkan dan  membuat sakit hati adalah  tanda  bahwa orang itu mampu menyalurkan emosinya melalui jalan keluar yang tidak merugikan diri sendiri (dan orang lain)  dengan tidak melakukan tindakan yang emosional dan merusak. 

Masha Mishkinsky dalam tulisannya berjudul “Humour as a "courage mechanism" (http://psycnet.apa.org/) berpendapat humor merupakan alat yang digunakan untuk menanggapi realitas yang tidak menyenangkan dengan cara memodifikasi makna konsep, keyakinan, situasi, dan obyek (yang dianggap tidak menyenangkan atau menjengkelkan) menjadi lebih dari satu dimensi (pemaknaan). Mishkinsky menyebut humor sebagai “courage mechanism” atau bagian dari “defense mechanisms” karena humor digunakan sebagai senjata (alat atau mekanisme) dalam konflik sehari-hari.

Humor menurut kategorisasi defense mechanism Valliant termasuk bentuk mekanisme bertahan level dewasa atau mature (wikipedia.org/wiki/Defence_mechanism). Artinya hanya orang yang sehat dan dewasa secara emosional yang mampu menyikapi situasi yang tidak menyenangkan dan menimbulkan sakit hati dengan cara melontarkan humor atau joke-joke.  Penggunaan humor sebagai defense mechanism bisa merubah rasa jengkel dan sakit hati menjadi senyum kecut karena bisa memodifikasi atau bahkan merusak suatu konsep ,  jargon atau situasi menjadi bermakna sama sekali lain dengan yang dimaksudkan. Jadi dengan menghumorkan atau memparodikan suatu keadaan yang menjengkelkan orang bisa mendapatkan kesenangan sekaligus mampu mengontrol emosinya. Karena itulah , orang yang mempunyai sense of humour tinggi biasanya adalah orang-orang yang bijak (virtuous). Mau tahu buktinya? Siapa tidak kenal Gus Dur. Selain mempunyai gelar KH (Kyai Haji) di depan namanya, beliau juga dikenal dengan guyonannya. Dalam kesempatan apa pun Gus Dur selalu menyelipkan humor-humor yang cerdas dan kritis. Para sufi juga dikenal akan cita rasa seni sastra yang tinggi yang disitu terselip kata-kata bijak yang terkadang ditulis dengan gaya satire yang bisa bikin orang yang baca tersenyum kecut dan introspeksi diri. 

Bukti kedewasaan dan kearifan tinggi juga saya temukan dalam tulisan Magnis Suseno saat dengan santai menanggapi kontroversi soal pemutaran film Da Vinci Code yang dianggap melecehkan iman Kristiani. Berikut kutipan dari tulisannya di majalah Tempo 22 Mei 2006 :

Tetapi di lain tempat umat dan uskup-uskup tenang-tenang saja. Termasuk di Indonesia. Bahkan Opus Dei, daripada mengamuk, memanfaatkan The Da Vinci Code untuk memperkenalkan cita-cita mereka yang sebenarnya. Gereja kiranya tidak akan runtuh karena kekurangajaran seorang Dan Brown. 

Saya sendiri jelas mau nonton The Da Vinci Code. Bukan hanya supaya dapat menjawab kalau orang tanya, melainkan karena saya mengantisipasi nikmatnya menonton thriller itu. Saya kira, umat saya juga sudah keluar dari masa puber (atau dari masa badak: begitu ada sesuatu yang membuat marah, tanduk turun, buntut naik, mata kecil tapi tajam mengambil fokus, lalu tanpa terganggu oleh pikiran, menyerang lurus ke depan). Mereka bisa menikmati film yang bagus, sambil sedikit misuh-misuh (sehat bagi jiwa, lho!). Have a pleasant evening at your cinema!
 
Misuh-misuh atau mengumpat dengan kata-kata kotor konotasinya tidak elegan dan intelek. Namun ternyata itu bisa menyehatkan jiwa kalau itu dilakukan dengan tanpa muatan emosi kebencian tapi dengan sense of humour dengan senyum-senyum getir. Jadi misuh-misuh itu jika dilakukan sebagai bentuk mentertawakan realita yang tidak menyenangkan dan menimbulkan sakit hati tanpa diikuti tindakan merusak atau menyerang pihak yang merendahkan menjadi sarana eskapis agar orang tidak jadi sakit jiwa. Bicara misuh-misuh siapa yang bisa menyaingi orang Jawa Timur yang dalam ucapan sehari-hari biasa melontarkan kata da..uk dengan mudah sambil haha hihi tanpa ada sakit hati. Orang Jawa Timur memang terkenal egaliter dan apa adanya dalam berbahasa.

Bicara soal humor orang Indonesia, tidak akan lengkap tanpa mengulas tentang plesetan. Orang Indonesia sangat kreatif  kalau memplesetkan singkatan.  Definisi Mishkinsky yang mengartikan humor sebagai bentuk memodifikasi (atau merusak)  makna suatu konsep atau jargon sungguh tepat sekali untuk menjelaskan fenomena plesetan. Riset Melanie Barnes yang berjudul  “ Bahasa dan Politik : Wacana Politik dan Plesetan mengartikan plesetan pada dasarnya adalah candaan dengan mengubah arti singkatan-singkatan (akronim). Orang Indonesia suka memplesetkan apa saja tapi mereka paling suka plesetan politik karena tidak suka dengan politisi dan pemerintah. Dengan membuat plesetan orang Indonesia bebas menjungkirbalikan singkatan, sehingga mengundang tawa dan maknanya menjadi konyol. Yang sering menjadi sasaran korban plesetan adalah slogan atau jargon yang menjadi ungkapan pejabat Negara. Barnes mengkoleksi beberapa plesetan seperti nama mantan Menteri Penerangan jaman Orde Baru – Harmoko (yang sering muncul di TVRI menginformasikan seputar kebijakan mantan Presiden Soeharto) diplesetkan menjadi Hari-hari Omong Kosong. Program pengentasan kemiskinan Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang jatuhnya menjadi sekedar bagi-bagi uang menjadikan singkatan IDT diartikan  sebagai  Ikilo Duwite Teko (bahasa Jawa artinya Ini Duitnya Datang).

Jean-Luc Maurer yang menulis tentang lelucon dan permainan kata-kata sebagai bentuk protes politik di Indonesia memberi contoh tentang guyonan masyarakat yang dibuat dengan memplesetkan slogan-slogan rezim Orba atau gosip seputar keluarga Presiden , istilah SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret) diplesetkan menjadi  Sudah Persis Seperti Marcos  atau Suharto Persis Seperti Marcos (dalam Frans Husken dan hub de Jonge (eds).2002 .Orde Zonder Order ; Kekerasan dan dendam di Indonesia 1965-1998. Lkis Yogyakarta)  

Plesetan jargon-jargon politik juga sudah banyak bermunculan sejak era Orde Lama. Di era ini Presiden Soekarno sangat bersemangat membangkitkan nasionalisme melalui slogan-slogan seperti NASAKOM, USDEK, GANEFO dsb , namun karena rakyat masih dibebani dengan kebutuhan perut atau pangan maka muncul plesetan kreatif misalnya indoktrinasi menjadi endog, teri, nasi. USDEK menjadi Udane Soyo Deres Enake Kemulan (bahasa Jawa artinya Hujannya Semakin Deras Enaknya Selimutan) suatu plesetan yang sungguh cerdas sekali menggambarkan betapa jengkelnya rakyat melihat pemimpin yang menghujani mereka dengan jargon-jargon yang tidak membuat perut kenyang sehingga daripada mendengar retorika pemimpin lebih baik ditinggal tidur dan  telinga ditutup saja dengan selimut). 

Tentang plesetan GANEFO (Games of the New Emerging Forces), dalam Catatan Pinggir-nya  Gunawan Muhammad menulis tentang Gareng wayang orang Sriwedari yang ditangkap petugas keamanan setelah di pentas dia memplesetkan singkatan GANEFO menjadi Ganewul (bahasa Jawa segane tiwul artinya nasinya tiwul). Pada jaman Soekarno gencar mengkampanyekan proyek GANEFO , harga beras sangat mahal sehingga tiwul (makanan pengganti nasi dari bahan singkong) menjadi makanan sehari-hari rakyat kecil. Lelucon ini menyangkut sesuatu yang peka secara politik  karena dianggap  menyindir ketidakmampuan pemerintah menyediakan kebutuhan  pangan rakyatnya ( Mohamad Sobary. Kang Sejo Melihat Tuhan. 1993

Di era Reformasi ini, hobi mengkritik pemerintah semakin tersalurkan dengan adanya kemerdekaan mengekspresikan pikiran dan pendapat yang ditopang oleh bantuan tehnologi komunikasi yang canggih. Humor-humor politik semakin banyak berkeliaran di internet. Pemerintahan Presiden SBY tidak bebas dari sasaran humor politik. Partai Politik dan perilaku politisinya yang “notorious” di mata rakyat membuat politikus diplesetkan asal katanya dari gabungan kata poli dan tikus (artinya menjadi banyak tikus). Koalisi Kebangsaan (PDI-P + Golkar) = Koalisi Kebangsatan. 

Jadi, selama pemerintah maupun politisi belum bisa menunjukkan kinerja yang memenuhi kepentingan publik, maka selama itu pula hobi orang Indonesia untuk melontarkan kritik melalui  banyolan atau humor-humor politik tidak akan pernah mati. Sepanjang orang Indonesia merespon kondisi politik yang tidak menyenangkan dan  menjengkelkan dengan  membanyol dan berbagi cerita lucu,  itu tandanya secara psikologis orang Indonesia itu sudah mature. Ketimbang stress dan kemudian bunuh diri dengan membakar diri, lebih baik kita membenahi bangsa dan Negara tercinta ini dengan menghasilkan karya terbaik melalui tugas kita masing-masing. Kalau pas kebetulan lihat berita yang bikin jengkel dan emosi, maka kita lihat saja sambil –seperti kata Magnis Suseno :  sedikit misuh-misuh (sehat bagi jiwa, lho)

Akhirnya, selamat menikmati akhir pekan  dan sebagai hiburan mari kita ketawa ketiwi membaca  Humor politik ala Indonesia  dan  Guyonan Gus Dur  ini.

Gambar :mylifehappyending.blogspot.com


Minggu, 15 Januari 2012

Gelar Akademik : Bungkus atau Isi ?

"What's in a name!  that which we call a rose by any other name would smell as sweet” (William Shakespeare)


Media online saat ini tengah hangat memperbincangkan perang mulut lewat  twitter (twit-war) antara selebritis cantik nan anggun santun Marissa Haque vs Addie MS dan anaknya Kevin Aprillio yang kemudian direspon oleh banyak selebriti termasuk Tifatul Sembiring, Effendi Gazhali, Anita Wahid,dll. Twit-war ini -  bermula dari tuduhan terhadap gelar Doktor Marissa Haque yang diduga dibuatkan oleh orang lain (tribunnews.com dan tempo.co/) -  telah  mendorong saya untuk menulis soal makna gelar akademik.  

Gelar akademik , menurut Wikipedia, adalah gelar yang diberikan kepada lulusan pendidikan akademik bidang studi tertentu dari suatu perguruan tinggi. Gelar akademik kadangkala disebut dengan istilahnya dalam bahasa Belanda yaitu titel (dari bahasa Latin titulus). Gelar akademik terdiri dari sarjana (bachelor), magister (master), dan doktor (doctor). Pemberian gelar akademik terkait erat dengan intelektualitas dan keahlian professional yang diharapkan akan ditekuni oleh si pemegang gelar. Sarjana merupakan gelar kesarjanaan Strata 1 (S1). Menurut saya, Strata 1 bukan berarti tingkat keahliannya lebih rendah dari S2 atau S3, namun bidang kerja yang akan dijalani memang membutuhkan tingkat keahlian yang sudah bisa dilaksanakan dengan baik oleh orang dengan pendidikan S1. Adapun Master dan Doktor umumnya disyaratkan minimal dimiliki oleh mereka yang berkarier sebagai dosen atau pengajar di perguruan tinggi. Karena dosen mengemban tugas utama selain mengajar juga harus meneliti untuk mengembangkan ilmu dengan menghasilkan karya-karya  ilmiah, sehingga penguasaan ilmu dan kaidah-kaidah ilmiah akademis benar-benar harus dikuasai. 

Sebagai fenomena sosial, gelar akademik dapat dikatakan merupakan bentuk simbol status baru yang diciptakan seiring tumbuhnya lembaga pendidikan tinggi. Bicara tentang simbol status akan menarik sekali kalau itu dikaitkan dengan orang Indonesia. Saya tidak tahu bagaimana orang luar negeri memaknai gelar kesarjanaan, namun sebagai orang Indonesia ,khususnya orang Jawa, saya mencoba memahami apa makna penting gelar kesarjanaan berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya selama ini. Dulu sebelum ada perguruan tinggi, simbol status yang dianggap bergengsi adalah gelar kebangsawanan, misalnya di Jawa ada Raden Mas dan Raden Ayu dan banyak lagi gelar kebangsawanan lainnya yang saya tidak begitu paham tingkatannya. Orang begitu bangga kalau di depan namanya ada gelar kebangsawanan karena itu menandakan asal usul silsilah, status sosial ekonomi, dan (mestinya) keluhuran budi pekerti yang tinggi yang semuanya ini akan mendatangkan privilege dan penghormatan dari masyarakat. Semua orang tentu menginginkan dihormati dan dipandang dengan kagum dan segan oleh manusia lainnya. Ini manusiawi. Siapa tidak ingin berada di pusat perhatian dan penghormatan banyak orang? 

Bagi orang Indonesia yang sangat gengsi dan status minded, gelar kesarjanaan dapat disamakan dengan gelar kebangsawanan versi baru yang menggantikan gelar kebangsawanan tradisional yang mulai ditinggalkan banyak orang. Gelar kesarjanaan yang seharusnya menjadi sertifikat keahlian yang  diperlukan untuk terjun mengabdi dan berkarya bagi pembangunan bangsa dan Negara , akan mudah disalahgunakan begitu mengalami deviasi pemaknaan menjadi sekedar simbol status dan gengsi. Orang merasa belum percaya diri kalau di depan namanya tidak ada gelar kesarjanaan. Yang belum punya titel sarjana, ingin kuliah untuk mendapat gelar sarjana (S1). Yang sudah punya titel S1 belum puas kalau belum punya S2. Dan yang S2 belum merasa PD kalau belum S3. Orang mengejar titel akademik seringkali tidak memahami apa makna titel itu. Titel sarjana jatuh menjadi sekedar bungkus,  bagian dari kemasan dan citra diri seseorang. Titel sekedar pendongkrak status sosial di masyarakat. Akibatnya banyak orang yang mampu secara ekonomis ingin mengoleksi gelar kesarjanaan demi motif memuaskan ego akan kebanggaan diri. Dengan menjejerkan banyak gelar kesarjanaan di depan dan dibelakang namanya, seolah otomatis orang akan segan dan mengakui kepakaran dan tingkat intelektualitasnya. Saya kira orang sekarang sudah semakin cerdas, gelar Doktor atau Profesor mungkin akan menimbulkan kesan penghargaan pada jumpa pertama, namun selanjutnya penghargaan akan dinilai dari kinerjanya. Orang yang telah menunjukkan hasil kerja yang riil dan teruji akan membuat orang menjadi segan dan mengakui hasil karyanya, bukan di embel-embel titel sarjananya. Apakah orang Solo selama ini menghargai Walikotanya – Pak Jokowi – dari gelar Ir. di depan namanya atau karena kinerjanya? Kita semua bisa menjawab pertanyaan ini.

Karena itu dalam hal pemberian gelar kesarjanaan, Perguruan Tinggi mengemban tugas moral yang berat. Pemberian gelar kesarjanaan dan predikat status kelulusan benar-benar diberikan atas dasar pertimbangan atau kriteria yang ketat dan tepat sehingga gelar dan status kelulusan yang diberikan itu sungguh-sungguh merepresentasikan penguasaan ilmu, keahlian, dan profesionalitas yang dimiliki. Persoalannya, penilaian standard penguasaan ilmu selama ini lebih dititikberatkan pada penguasaan hard skill , yang ini saja belum tentu valid. Padahal gelar kesarjanaan mestinya tidak hanya merepresentasikan tingkat kepakaran, tapi juga kecerdasan emosional dan budi pekerti. Semestinya  gelar kesarjanaan itu menggambarkan isi, bukan sekedar kemasan atau bungkus. Seorang dengan gelar kesarjanaan, terlebih dengan strata tertinggi Doktor atau S3 mestinya menunjukkan kemampuan berkomunikasi , berdebat atau cara berbahasa yang elegant, bijaksana dan santun. Jangan sampai perguruan tinggi hanya mencetak tukang atau ahli-ahli atau pakar yang begitu dia ngomong atau berdiskusi di forum publik yang muncul adalah pribadi-pribadi yang narsis yang hanya bicara seputar keunggulan diri sendiri dengan merendahkan orang lain dan kalau terpojok dalam berdebat terus melancarkan strategi ad hominem. Penguasaan soft skill harus menjadi komponen utama dalam standard penilaian kelulusan kesarjanaan dan ini menjadi pekerjaan rumah yang harus serius dipikirkan oleh lembaga pendidikan tinggi. 

Jangan sampai liberalisasi dan privatisasi Perguruan Tinggi membawa kepada McDonalisasi Perguruan Tinggi yang membuka kesempatan seluas-luasnya bagi banyak orang yang mampu membayar untuk mendapatkan gelar kesarjanaan dengan cara mudah, terlebih kalau pembeli itu adalah public figure.  Semoga saja tidak demikian.