Jumat, 30 Mei 2014

Donna Donna : Tentang kehendak bebas dalam pilihan politik

Satu bulan lagi, tepatnya tanggal 9 Juli 2014, kita akan memilih  Presiden dan Wakil Presiden. Mendekati hari pemilihan, persaingan antar kubu kandidat presiden semakin panas. Segala cara dan strategi dilakukan untuk mengambil hati rakyat agar mau menjatuhkan pilihan pada  salah satu kandidat. 

Dalam kontestasi politik, rakyat sepertinya hanya sebagai pelengkap penderita...dihargai saat suaranya dibutuhkan atau difungsikan sebagai batu loncatan  untuk meraih kekuasaan. Nasib terburuk… siap dijadikan tumbal saat terjadi konflik antar  elite yang berebut kuasa. Berapa nyawa rakyat yang harus dikorbankan saat meruntuhkan Orde Lama? Berapa orang yang dibakar dan berapa perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual saat melengserkan rezim Orde Baru? Di luar negeri, berapa banyak nyawa rakyat yang hilang saat rezim Nazi di Jerman? Saat konflik politik di Mesir dan Suriah? dan masih banyak lagi.

Bicara tentang posisi rakyat dalam kompetisi berebut kuasa jadi ingat lagu Donna Donna yang menjadi soundtrack film Gie (2004) atau Soe Hok Gie,  aktivis mahasiswa di jaman Orde Lama. Lagu Donna Donna aslinya adalah lagu rakyat Yahudi yang dipopulerkan oleh Joan Baez di tahun 1960. Ada yang mengatakan lagu ini lagu yang dinyanyikan orang Yahudi saat dalam perjalanan menuju kamp konsentrasi atau rumah pembantaian Yahudi di Auswitch, Polandia. Lirik lagu ini sendiri bercerita tentang seorang petani dengan anak sapinya saat dalam perjalanan menuju ke rumah jagal. Dengan muka sedih si anak sapi yang mau disembelih melihat burung yang terbang bebas di angkasa. Si petani bilang …udah nggak usah komplain …siapa suruh kamu jadi anak sapi…coba kamu punya sayap, kamu bisa terbang bebas seperti burung di langit. Bait akhir lagu ini menyimpulkan anak sapi mudah untuk dibunuh tanpa tahu apa alasannya. Namun bagi yang memiliki kebebasan akan bisa terbang bebas seperti burung layang-layang di angkasa.

Calves are easily bound and slaughtered
Never knowing the reason why
But whoever treasures freedom
Like the swallow must learn to fly.

Apa yang bisa dipelajari dari lirik lagu ini ?

Lagu ini bicara tentang posisi rakyat kecil yang mudah dijadikan tumbal kerakusan elite berebut kekuasaan politik.

Mengapa rakyat mudah menjadi korban?


Mengapa rakyat tidak bisa bebas menentukan nasibnya sendiri?

Apa selamanya rakyat hanya selalu sebagai tumbal dalam perjuangan perebutan kekuasaan ? Apa selamanya rakyat hanya tunduk manut pada arahan (agitasi dan indoktrinasi) para elite ?

Jawabnya : Who told you a calf to be ? Siapa suruh kamu jadi anak sapi ?

Kenapa kamu tidak memilih untuk menjadi seperti burung yang terbang bebas di udara?

Sesungguhnya, demokrasi yang genuine memberikan kita hadiah yang tidak dimiliki oleh otokrasi ….yakni kehendak bebas…free will…kedaulatan penuh untuk ikut menentukan pimpinan Negara

Dalam otokrasi , rakyat adalah anak sapi atau domba

Dalam demokrasi rakyat adalah burung yang terbang bebas

Tapi,

Demokrasi bukan pasangan ideal dari kemiskinan dan kebodohan

Karena miskin dan ketidaktahuan, banyak burung yang memilih menjadi domba atau anak sapi

Karena lapar, pilihan politik bukan disetir oleh kehendak bebas tapi kehendak kebutuhan perut…kita memilih mereka yang bisa bayar

Karena ketidaktahuan dan tidak mau tahu, kita tidak mendengarkan suara hati dan lebih mengikuti irama genderang yang ditabuh para elite

Kita punya pilihan untuk bebas memilih sesuai bisikan hati nurani, tapi kita lebih mendengarkan bisikan elite  untuk memilih sesuai kepentingan mereka

Kita punya nalar sehat untuk membuat pilihan bebas,  namun lebih memilih  tunduk pada panduan elite  dengan alasan yang tidak masuk akal sekali pun.

Kita tutup mata atas segala kelemahan dan cacat cela para elite panutan. Apapun pilihan elite itu yang terbaik buat kita.

Siapa suruh kita jadi domba?

Siapa suruh kita jadi tumbal kerakusan para elite berebut kuasa?

Dalam demokrasi ….. bagi yang mampu dan tahu …. memilih untuk menjadi burung atau domba sepenuhnya pilihan ada di tangan kita.

Dan kalau kita bisa jadi burung, kenapa memilih jadi domba.

Jatuhkan pilihan politik sesuai bisikan nurani, bukan apa kata mereka.


Selamat memilih.


=============================

Ini suara merdu Sita menyanyikan DONNA  DONNA :


Dan ini LIRIK LAGUNYA :




Rabu, 21 Mei 2014

Soal Integritas dalam Kontestasi Politik dan Jose Mujica

Tahun 2014 benar-benar jadi tahun politik. Baru saja pemilihan legislatif usai, kini disusul dengan hingar bingar pemilihan presiden. Pemilu adalah hari-hari dimana rakyat Indonesia terpaksa menonton  jungkir balik manuver politik yang dipertontonkan para politisi dan kandidat presiden. Rasanya jengah, muak bin mual melihat kerakusan dan nafsu berebut kuasa yang nampak “mloho” (bahasa Jawa transparan) tanpa ditutupi. Syahwat berkuasa membuat mereka membuang segala rasa malu dan harga diri.

Ada pasangan capres-cawapres yang kompak  beriklan di TV milik pribadi bak main di sinetron kejar tayang…tiap hari muncul dengan acting lebay dan dibuat-buat seolah-olah pro-rakyat kecil. Ada lagi capres dari parpol besar yang karena kepedean, jual mahal waktu didekati mau diajak berkoalisi. Dia merasa pantas jadi nomor satu, tidak  mau jadi nomor dua.  Saat batas waktu pendaftaran  calon  presiden belum juga dapat pasangan, bingunglah dia.  Akhirnya kesana kemari menawarkan diri cari pasangan. Banting harga, jadi nomor dua ya mau. Tapi sudah turun harga pun, tetap tidak ada yang mau. …yah akhirnya terpaksa menjomblo. Dari jual mahal sampai akhirnya ….tidak dapat apa-apa. Terus, ada lagi yang sakit hati dikhianati atau ditolak lamarannya dan akhirnya memindahkan dukungannya ke capres lawan.

Memperhatikan  perilaku para politisi saat pileg dan menjelang pilpres besok 9 Juli, saya sampai pada kesimpulan bahwa motivator utama mereka berpolitik masih sebatas tujuan meraih kekuasaan. Proses, cara dan mekanisme menuju kekuasaan menjadi tidak penting. Akibatnya, integritas menjadi barang langka.  Kata dan tindakan bisa seenaknya di-setting disesuaikan dengan arah kepentingan politik. Omong kosong itu segala macam  jargon ideologi dan platform partai. Ada partai yang melabeli dirinya sebagai partai nasionalis atau partai religius. Pada mulanya kontestasi politik antar parpol sangat rigid, tapi kemudian mencair saat ternyata tidak ada parpol yang menang dominan. Karena harus cari kawan koalisi untuk bisa mengusung capres-cawapres mulailah terjadi transaksi bak jual beli di pasar. Ada pendekatan, terus tawar menawar, bagi-bagi siapa memberi apa, siapa dapat apa. Disini yang namanya ideologi dan platform partai tidak lagi penting. Ada partai yang semula saling ejek, saling kritik dan cari kelemahan pesaing berubah menjadi saling rangkul, saling jilat, dan saling menghamburkan  puja-puji.

Yeah, all is fair in politics ! Tidak ada kawan atau lawan yang abadi. Demi tujuan dan kepentingan meraih kekuasaan, segala cara apa pun dianggap halal.

Sungguh perilaku politik yang tidak “elegant”. Persaingan menuju kekuasaan tidak dilandasi adu gagasan strategis -visioner yang ditawarkan untuk membenahi kondisi bangsa dan Negara, tapi terjebak pada black campaign menebar isu-isu SARA , ejek-ejekan antar pemandu sorak para capres, sikut menyikut dan saling menelikung.  Yang mereka pertontonkan ke publik hanyalah seni berpolitik dagang sapi atau politicking, bukan civic education

Yang bikin tambah sedih, inkonsistensi perilaku politik juga ditunjukkan kaum intelektual yang terjun ke politik praktis. Saat memasuki masa-masa kampanye pileg, saya memiliki satu dua tokoh dari akademisi yang saya kagumi karena saya anggap mereka memiliki karakter dan integritas bagus.  Saya meletakkan harapan akan eksistensi NKRI di tangan segelintir tokoh yang saya anggap negarawan dan berjiwa besar. Tapi perkembangan persaingan politik paska deklarasi capres dan cawapres membuat saya kecewa. Ternyata negarawan yang berintegritas di Indonesia sudah benar-benar langka. Bagaimana mungkin seorang dengan tingkat pendidikan tertinggi, dengan sejarah kepemimpinan yang bagus ….hanya karena kalah dalam kompetisi politik …bisa berubah menjadi pribadi yang pragmatis….apakah  prinsip, nilai dan etika berpolitik yang mengutamakan kepentingan kelangsungan masa depan bangsa dan negara sudah kalah oleh sakit hati dan kecewa karena kepentingan pribadi :  kalah berebut kuasa dan jabatan. Ada seorang professor yang ikut membidani lengsernya rezim Orde Baru, kini bergabung dalam koalisi pengusung capres yang dulu dengan keras dikritiknya sebagai pelanggar HAM (kontras.org ). Berita terbaru, yang bikin tambah nyesek adalah diangkatnya professor hukum dan anggota Dewan Penasehat Komnas HAM sebagai Ketua Tim Pemenangan capres yang dituduh pelanggar HAM (kompas.com).   Kemana larinya spirit intelektualitas para akademisi ini? Kalau ditanya apa sih motivasi para pakar dan guru besar saat memutuskan terlibat dalam politik praktis , saya bisa menebak jawaban idealnya adalah untuk ikut membenahi sistem dari dalam. Tapi apa hasilnya? ….Boro-boro bisa ndandani (memperbaiki kondisi)…  yang terjadi mereka malah  tersedot ke dalam pusaran sistem yang busuk.

Terus terang saya sedih …mesti saya tidak kenal tokoh ini secara pribadi , tapi rasanya saya seperti orang yang dikhianati oleh orang yang kita percaya …yang kita kagumi karena integritasnya. Yah,  ternyata dia hanya segitu ya…

Kehilangan respek itu sungguh menyesakkan
Karena didalam respek ada kepercayaan
Didalam kepercayaan ada harapan
Dan harapan adalah …..setitik cahaya yang menuntun kita menemukan jalan keluar dari kegelapan
Tidak ada yang lebih menakutkan selain kehilangan dan tidak punya panutan

Saat ini,  siapa sih  tokoh yang masih bisa kita pegang ucapannya? Yang bisa kita teladani tindakannya?
Kenapa ya susah banget cari pemimpin dengan karakter kuat dan berpegang kuat pada prinsip dan idealisme. Konsistensi dalam kata, sikap dan perbuatan dan berpegang pada etika politik adalah bukti integritas  seorang negarawan. Ini yang susah saya dapatkan pada mereka yang terjun ke politik.

Untuk menghibur diri agar tidak larut dalam apatisme,  saya lari ke Om google saya ingin tahu apakah ada pemimpin Negara yang tidak haus kuasa dan harta.  Iseng-iseng saya tulis “presiden termiskin di dunia” dan jawabannya adalah Jose Mujica. Membaca profil Mujica, saya merasa terhibur nggak lagi sedih, ternyata masih ada lho pemimpin negara yang tidak gila jabatan dan tidak doyan duit. Meski bukan orang Indonesia, paling tidak ini membangkitkan kepercayaan dan harapan saya bahwa suatu saat di Indonesia pun  bisa lahir presiden seperti Mujica.

Siapa Jose Mujica?

Jose Alberto Mujica Cordano adalah Presiden Uruguay sejak tahun 2010. Mujica jadi sorotan dunia karena gaya hidupnya yang sederhana. Mujica menyerahkan 90 persen dari gajinya per bulan sebesar Rp 116 juta  untuk beramal kepada warga yang miskin dan membutuhkan. Ia hanya menyisakan Rp 7,7 juta gajinya untuk membiayai hidupnya.  Mujica tinggal di rumah peternakan milik istrinya di pinggiran Montevideo. Rumah peternakan ini bisa dibilang rumah sangat-sangat sederhana. Tidak ada Paspampres yang menjaga ketat rumahnya, yang menjaga hanya  dua orang polisi serta beberapa anjing milik Mujica, salah satunya Manuela yang berkaki tiga. Tidak ada pula  kepala pelayan atau kepala rumah tangga yang melayani dan memasak apa saja seperti layaknya rumah kepala negara. Mujica dan istrinya bekerja sendiri memenuhi kebutuhan mereka. Termasuk menggarap tanah pertanian mereka dengan bercocok tanam bunga krisan untuk dijual. Pada tahun 2010, saat menjadi presiden, harta kekayaan Mujica berjumlah US$ 1.800 atau Rp 17,4 juta, ini nilai dari mobil VW Kodok lawas tahun 1987 miliknya.

Apa komentar Mujica tentang gaya hidupnya ini ?

"Saya mungkin terlihat sebagai manusia tua yang eksentrik. Namun ini adalah pilihan bebas. Saya telah hidup seperti ini di sebagian besar hidup saya. Saya bisa hidup dengan baik dengan apa yang sudah saya punya," kata Mujica seperti dilansir dari BBC.

"Saya dijuluki 'presiden termiskin', tapi saya tidak merasa miskin. Orang miskin itu adalah mereka yang hanya bekerja untuk memenuhi gaya hidup yang mahal, dan selalu ingin lebih dan lebih. Ini hanyalah masalah kebebasan, jika Anda tak memiliki banyak keinginan, Anda tak perlu bekerja seumur hidup seperti budak untuk memenuhinya. Dan dengan begitu Anda memiliki lebih banyak waktu untuk diri sendiri," tutur Mujica.

Wow..Jose Mujica benar-benar presiden yang keren. Dari Mujica saya dapat pelajaran berharga yaitu : “Orang miskin itu adalah orang yang dibelenggu oleh hasrat dan keinginan untuk mendapatkan  (harta, kuasa, jabatan) yang lebih dan selalu ingin lebih”.  Orang-orang ini bukanlah orang merdeka, mereka adalah budak seumur hidup dari nafsu keserakahannya. Berbahagiakah orang-orang seperti ini ? Saya yakin tidak. Lihatlah wajah-wajah mereka yang tidak lagi malu menunjukkan hasrat akan kuasa. Apakah terpancar ketulusan dan kebahagian di raut muka mereka?.  

Artikel terkait :    Tentang Integritas

Gambar :