Sabtu, 26 Januari 2013

(Tubuh) Perempuan dan Moralitas Politik

Sejarah mencatat perempuan selama bertahun-tahun selalu di luar politik,  bahkan di wilayah tertentu perempuan masih belum diberi hak untuk memberikan suaranya dalam Pemilu. Namun meski diasingkan dari ranah politik, tidak berarti perempuan tidak punya kuasa politik. Perempuan si makhluk lemah dan lembut, dengan segala keterbatasannya ternyata punya invisible power.Perempuan tetaplah Hawa yang pesona keindahan feminitasnya sulit untuk ditolak kaum Adam. Banyak skandal politik yang dilatarbelakangi oleh tergodanya laki-laki penguasa oleh daya tarik  perempuan. Raja Edward VIII dari Inggris , misalnya, rela turun tahta demi bisa menikahi wanita pujaannya, seorang janda dari AS –Wallis Simpson. Bahkan kasus perkosaan wanita bangsawan Lucretia oleh anak raja Roma di tahun 509 SM menjadi pemicu perubahan sistem monarki Roma menjadi republik.

Laki-laki boleh jadi mendominasi  ranah politik, tapi hati-hati bangunan kekuasaan yang sekokoh apapun bisa runtuh kalau mereka tidak mampu membentengi diri dari godaan wanita. Tahta dan wanita….bak gula dan semut. Kekuasaan akan menarik banyak orang untuk mendekat guna mendapatkan keuntungan, dan perempuan bisa menjadikan tubuhnya sebagai umpan atau kail yang mempermudah transaksi politik. Kasus gratifikasi seksual yang menyeret mantan Komandan Angkatan Pertahanan Sipil Singapura adalah contoh nyata dari berkelindannya kepentingan kekuasaan dengan tubuh perempuan. Semasa menjabat, pejabat ini mendapatkan pelayanan seks dari 3 wanita rekanannya sebagai imbalan atas kontrak proyek teknologi informasi yang didapatkan oleh perusahaan wanita-wanita tersebut (detik.com). Penggunaan (tubuh) perempuan dalam transaksi politik bukan gejala yang baru, namun di negara modern yang berlandaskan hukum dan tatanan demokratis ini bisa dikategorikan sebagai korupsi. Kontrak proyek ditukar dengan pelayanan seksual…woow…

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan kasus gratifikasi seksual juga terjadi di Indonesia ,  banyak orang yang lebih tahan terhadap gratifikasi uang, dibandingkan gratifikasi seksual. “Itu fakta, gratifikasi seksual itu kadangkala lebih dahsyat daripada gratifikasi uang, itu ada banyak” (inilah.com). Namun Juru Bicara KPK Johan Budi SP mengatakan, jenis gratifikasi pemberian layanan seksual sangat sulit dibuktikan. KPK juga menghadapi kendala dalam pelaporan gratifikasi jenis ini karena kalaupun kemungkinan ditawari layanan seksual, penyelenggara atau pejabat negara kecil peluangnya melaporkan gratifikasi tersebut. ”Gratifikasi itu effort-nya kan ada pada penerima, apa ada yang mau lapor,” ujar Johan (Kompas.com).

Kasus lain yang lagi heboh adalah Bupati Garut Aceng Fikri yang dipaksa lengser gara-gara nikah siri selama 4 hari dan diakhiri cerai lewat sms. Alasan Aceng Fikri menceraikan istri sirinya benar-benar sangat biologis dan seksual banget… karena diduga istrinya sudah tidak perawan lagi. Tindakan sang bupati ini selain dianggap melecehkan perempuan juga melanggar etika jabatan publik. Bicara soal nikah lagi tanpa dicatatkan secara hukum atau istilahnya nikah siri, sebenarnya banyak pejabat publik yang melakukannya tidak hanya Aceng Fikri. Komnas Perempuan melaporkan setiap sebulan ada 4 kasus laporan nikah siri pejabat.

Belum mereda kasus Aceng Fikri, disusul dengan kasus baru yang tak kalah kontroversial : tersingkirnya Calon Hakim Agung Daming Sanusi karena kepleset lidah memberi komentar tentang perkosaan yang lagi-lagi ….merendahkan perempuan.  Hakim Daming Sanusi dalam menanggapi pertanyaan tentang apakah hukuman mati harus diterapkan dalam kasus pemerkosaan mengatakan, “Pertimbangan harus diambil secara menyeluruh untuk pengenaan hukuman mati bagi pemerkosa karena dalam kasus perkosaan baik pemerkosa dan korban menikmatinya.” (Tempo.co). Suatu pandangan yang luar biasa dari seorang pejabat publik , meskipun itu dimaksudkan untuk candaan, tapi jelas tidak pantas pabila dilontarkan di forum resmi  sekelas seleksi calon hakim agung. Terlebih lagi pertanyaan tentang perkosaan ini dilontarkan saat kasus perkosaan sadis tengah menggemparkan India dan disusul dengan kekerasan seksual terhadap anak perempuan usia 11 tahun di Indonesia.  Kedua korban ini pada akhirnya sama-sama meninggal dunia di rumah sakit. Korban gadis di India meninggal karena luka-luka serius akibat perkosaan dengan tindak kekerasan yang luar biasa kejam, sedang si anak kecil di Indonesia meninggal karena sakit kelamin yang ditularkan oleh pemerkosanya, yang tak lain ayah kandungnya sendiri. Sebagai pejabat publik, terlebih penegak hukum, Daming Sanusi harusnya menunjukkan kepekaan nurani dan empati pada korban perkosaan bukan malahan menjadikannya sebagai bahan guyonan.

Bupati Aceng Fikri pada akhirnya dilengserkan dari jabatannya. Daming Sanusi juga gagal meraih posisi Hakim Agung yang sangat diidam-idamkannya. Kesimpulan apa yang bisa diambil dari kedua kasus ini?

CNN saat memberitakan soal Daming Sanusi mengawali dengan kalimat : If you’re running for office, it’s best not to make incendiary comments about rape (Jika Anda tengah mencalonkan diri dalam jabatan publik, sebaiknya jangan membuat komentar panas tentang pemerkosaan). Menyangkut soal ini, penyikapan publik di Indonesia maupun di AS nampaknya sama.  Kasus Daming juga dialami oleh politikus Partai Republik Richard Mourdock dan Todd Akin. Keduanya kehilangan peluang menjadi senator setelah komentar mereka mengenai kehamilan dan pemerkosaan beredar luas (CNN.com dan Tempo.co)

Jadi kesimpulannya, dimana pun dan kapan pun, isu seputar (tubuh) perempuan tetap menjadi salah satu ukuran utama moralitas pejabat publik. Dengan kata lain, bagaimana seorang pejabat atau calon pejabat memperlakukan (tubuh) perempuan menjadi indikator yang menentukan moralitas politik atau norma dan etika perilaku berpolitik suatu bangsa.  

Jika demikian halnya,  siapa bilang wanita itu makhluk lemah dan tak punya kuasa politik? Hati-hati para laki-laki pejabat atau calon pejabat publik, jangan sekali-kali tergoda perempuan apalagi melecehkan perempuan…jika ini dilakukan siap-siap saja nasibnya berakhir seperti eks Komandan Pertahanan Sipil Singapura, Bupati Garut  Aceng Fikri dan Hakim Daming Sanusi. Memangnya  mau ?

Gambar : Lucretia – Rembrandt dan dreamtimes.com