Sabtu, 25 Januari 2014

Perayaan Imlek dan Realitas Pluralitas Budaya Kota Solo

Sudah sejak tahun 2003 peringatan tahun baru Cina atau dikenal sebagai Imlek dinyatakan sebagai hari libur nasional dan bebas dirayakan di Indonesia. Di Kota Solo sendiri suasana Imlek kental terlihat di seputaran Pasar Gede. Dari tahun ke tahun semenjak Imlek bebas dirayakan, di kawasan ini selalu semarak dengan hiasan lampion merah meriah yang gemerlapan di waktu malam. Dan Tahun 2014 ini, suasana Imlek Solo semakin terasa dengan hadirnya event baru Solo Imlek Festival (SIF) yang dipusatkan di Benteng Vastenburg di Depan Gedung BI di Jalan Jendral Sudirman. Di sepanjang jalan tempat SIF diselenggarakan dipasang 12 boneka lucu yang merepresentasikan shio-shio yang ada di kalender Cina.

     Foto : Koleksi pribadi

Sabtu malam atau malam Minggu kemarin kebetulan cuaca cukup cerah maka saya sempatkan berkeliling seputar Pasar Gede untuk melihat bagaimana suasana Imlek pada malam hari. Begitu mendekati kawasan Gladak jalanan macet, sepeda motor, mobil dan manusia berjubel jadi satu. Di sebelah selatan perempatan Gladak perayaan Sekaten baru saja usai, di Timur ada Galabo dan di sebelah utara Galabo ada Benteng Vastenburg dengan SIF-nya. Tambah lagi banyak orang -  anak-anak, ABG dan orang tua - pada narsis berfoto ria di depan boneka lampion shio yang berjejer di depan lokasi SIF. Malas bedesak-desakan di jalan, akhirnya saya batalkan niat untuk masuk ke lokasi SIF. Tapi dari pengamatan suasana sekitar pusat perayaan Imlek, saya bisa melihat keceriaan banyak orang. Remaja pada bergerombol dan duduk di pagar jembatan di depan Pasar Gede dan mengambil gambar dengan pasang pose penuh tawa di bawah juntaian ratusan lampion dan kerlip-kerlip lampu warna-warni. Senang rasanya melihat kegembiraan di suasana malam di seputaran Pasar Gede.

Foto: Koleksi pribadi
Foto :solopos.com
Melihat meriahnya perayaan Imlek di Kota Solo tahun ini membuat saya jadi ingin tahu mengapa ya dulu pada jaman Pak Harto kok Perayaan Imlek sampai dilarang? Apa alasannya?  Terus mengapa kok Imlek bisa dirayakan sebegitu meriah di Kota Solo? 

Berbeda dengan perayaan tahun baru Masehi dan tahun Jawa, Imlek punya sejarah tersendiri, sejarah yang panjang dan penuh kontroversi. Perayaan Imlek dari sisi budaya telah menjadi bagian ekspresi kultural yang meng-global karena dirayakan di seluruh bagian dunia dimana banyak tinggal komunitas Tionghoa. Tapi di Indonesia, Imlek bukan sekedar identitas budaya tapi juga sarat dengan muatan politis. Bau kepentingan politik ini bisa ditelusuri dari sejarah Imlek di Indonesia, utamanya di jaman Presiden Soeharto atau era Orde Baru.

Foto: Koleksi pribadi
Selama Orde Baru, perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Presiden Soeharto melalui  Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, melarang atau membatasi segala hal yang berbau Tionghoa. Dalam instruksi tersebut ditetapkan bahwa seluruh Upacara Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Instruksi Presiden ini bertujuan mengeliminasi secara sistematis dan bertahap atas identitas diri orang-orang Tionghoa terhadap Kebudayaan Tionghoa termasuk Kepercayaan, Agama dan Adat Istiadatnya. Dengan dikeluarkannya Inpres tersebut, seluruh Perayaan Tradisi dan Keagamaan Etnis Tionghoa termasuk Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, Pehcun dan sebagainya dilarang dirayakan secara terbuka. Demikian juga tarian Barongsai dan Liong dilarang dipertunjukkan.
Larangan Imlek ini dihapus oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya). Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri mulai tahun 2003 (wikipedia.org/)

Foto : Koleksi pribadi
Mengapa Orde Baru sebegitu takutnya dengan segala sesuatu yang berbau Cina? Ini alasannya : “….pemerintahan Soeharto dengan dengan tegas menganggap keturunan Cina dan kebiasaan serta kebudayaan Cina, termasuk agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa sebagai "masalah" yang merongrong negara dan harus diselesaikan secara tuntas”. Alasan ini tertulis dalam buku "Pedoman Penyelesaian Masalah Cina" jilid 1 sampai 3 yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang berada di bawah BAKIN (Wikipedia)

Mengapa ekspresi budaya bisa menjadi ancaman bagi suatu Negara? Budaya bagaimanapun adalah ekspresi dari nilai-nilai yang diyakini oleh suatu komunitas atau masyarakat. Budaya tidak sekedar ritual, seremoni dan simbol-simbol yang dinampakkan dari bukti fisik. Ada nilai, norma dan keyakinan di balik budaya yang material. Pertanyaannya lagi, apa yang ditakutkan dari nilai-nilai budaya Cina?   Zaman Soekarno dan Soeharto, komunisme menjadi paham atau ideology yang menjadi momok dan sekaligus bisa dijadikan “hantu politik” bagi rezim yang berkuasa. Ketakutan pada infiltrasi komunisme melalui budaya Cina sedikit bisa dipahami.
Tapi untuk saat ini, alasan budaya Tionghoa bisa mengancam Negara sepertinya kok nampak “jadul” ya. Negara Cina (RRC) sendiri sudah sangat kapitalis. Ideologi komunisme sudah jarang dibicarakan. Orang-orang Cina Indonesia sendiri sudah banyak yang pakai nama Indonesia dan sebagian besar sudah tidak bisa bahasa Mandarin. Terus karena Konghucu menjadi agama terlarang di Indonesia, mayoritas orang Cina banyak yang eksodus ke agama Kristen dan Katholik. Banyak diantara mereka yang tidak menjalani ritual Konghucu. Mereka merayakan Imlek sebagai ekspresi identitas budaya saja tanpa banyak dilatari keyakinan agama. Imlek jatuh sekedar selebrasi atau perayaan kultural tak beda jauh dengan Sekaten atau Tahun Baru Masehi. Sebagai selebrasi kultural, Imlek di Solo sudah tidak murni lagi bau Cina-nya buktinya ada Gerebeg Sudiro sebagai modifikasi atau kawin campur budaya Cina dan Jawa. Di Gerebeg Sudiro apem yang biasa menghiasi tumpeng  atau gunungan diganti dengan kue keranjang. Disini orang tidak lagi berpikir apakah ini merusak nilai filosofi dari tumpeng atau tidak, yang ada adalah bukti bahwa budaya Jawa sangat fleksibel dan terbuka menerima unsur-unsur budaya dari luar. Justru akulturasi budaya semacam ini yang memperkaya budaya Jawa. Budaya Jawa sangat menghargai nilai pluralitas. Budaya Jawa bukan budaya yang memegang kuat-kuat identitasnya dan menutup sama sekali pengaruh dari budaya luar. Karena karakter budaya semacam ini, maka perayaan Imlek mudah diterima oleh orang Solo. Kebiasaan merayakan nilai-nilai Jawa dalam berbagai ritual dan seremoni menjadikan orang Solo gampang menerima dan suka sekali dengan bentuk-bentuk ungkapan budaya yang serupa dengan budaya mereka.
Foto : Koleksi pribadi

Saat ini, perayaan Imlek kembali diterima sebagai bagian dari kekayaan pluralitas budaya Indonesia. Masyarakat Solo kembali bisa menyaksikan tarian Barongsai bebas ditarikan di seputar Pasar Gede. Orang dari berbagai latar belakang etnis, budaya dan agama tumpah ruah jadi satu ikut larut dalam selebrasi tanpa tahu atau bahkan tidak perduli alias tidak mau tahu apa nilai dan keyakinan dibalik Imlek, yang ada dibenak mereka hanya ikut bergembira dalam pesta budaya sekaligus sarana refreshing lepas dari rutinitas dan beban hidup sehari-hari. 
Foto:solopos.com 
Keterbukaan menerima realitas budaya yang plural adalah ciri dari Budaya Wong Solo. Event perayaan Imlek mempunyai fungsi ganda. Pertama,  sebagai sarana untuk memperkaya khazanah budaya dan  sekaligus membuktikan “Solo sebagai Kota Budaya” bukan sekedar slogan tanpa makna dan realita. Kedua, fungsi yang lebih mendasar yaitu untuk membangun soliditas sosial antar etnis. Khusus untuk komunitas Tionghoa di Solo, Imlek semestinya bukan untuk memperkuat ikatan mereka pada  identitas budaya Cina, tapi justru menguatkan eksistensi mereka sebagai etnis Cina yang "Indonesia dan Jawa". Ikatan sosial mereka tidak hanya ke kultur Cina, tapi juga nilai-nilai Budaya Jawa dan pluralitas Indonesia. Komunitas Cina di Solo juga wajib berkontribusi pada pelestarian budaya Jawa dan pembangunan dan kesejahteraan Kota Solo.

Akhirnya saya ucapkan :  Selamat merayakan Tahun Baru Imlek 2014 bagi komunitas Tionghoa. Selamat merayakan pluralitas budaya bagi semua warga Solo. Mari kita jaga identitas Solo sebagai Kota (Multi) Budaya. 

Untuk menambah hangat suasana Imlek bisa didengarkan suara merdu penyanyi legendaris Taiwan Teresa Teng berikut :




Gambar : animasibergerak.net 

Rabu, 08 Januari 2014

Ranjau paku dan soal moralitas sosial

Ada berita di Kompas 6 dan 7 Januari 2013 yang bikin saya geleng-geleng kepala, bener-bener nggak habis pikir  yakni soal ratusan kilogram paku yang ditebar di jalanan besar di ibukota Jakarta. Paku-paku ini sengaja disebar, di dekat lokasi tambal ban untuk menjebak pengendara sepeda motor agar terpaksa menambalkan ban motornya yang kempes. Ranjau paku istilah yang sangat tepat.

Sumber : Kompas, Senin 6 Januari 2013

Fenomena ini sangat menarik dan merangsang munculnya banyak pertanyaan di benak saya. Kalau hanya satu dua tukang tambal ban yang tidak jujur dalam mencari nafkah dan hanya beberapa biji paku yang disebar itu masih sekedar kasus. Tapi kalau paku yang terkumpul sudah ratusan kilo , itu bukan lagi kasus tapi sudah terrr..laa..luu !! Sudah sedemikian egoiskah mereka hingga menghalalkan segala cara untuk memenuhi hasrat ekonominya ? Mengapa mereka tega berbuat demikian? Bukankah selama ini orang Indonesia dikenal dan mengaku sebagai orang yang sangat religius, suka tolong menolong dan bergotong royong , namun mengapa moralitas sosial dan tanggungjawab publik mereka sangat rendah?

Apa itu moralitas sosial ?

Moralitas sosial berbicara tentang bagaimana kita memperlakukan sesama,  seperti aturan emas atau golden rule yang mengajarkan “hargailah orang lain sebagaimana dirimu ingin dihargai“ atau “Perlakukanlah orang lain sebagaimana dirimu ingin diperlakukan oleh orang lain”. Golden rule ini  bersifat universal dalam arti semua manusia sepakat bahwa  penipuan, pencurian dan pembunuhan adalah tindakan tak bermoral. Sebaliknya, prinsip-prinsip moral yang mengatur bagaimana orang mengatur diri pribadinya seperti cara beribadah, cara berpakaian, makan, menikah dan berhubungan seksual merupakan wilayah moralitas personal. There’s far less agreement about this kind of morality. It’s highly personal. So we call it “personal morality . (http://www.downsizedc.org/). Jadi, moralitas sosial lebih berkenaan dengan prinsip-prinsip yang mengarahkan bagaimana tindakan kita terhadap manusia lainnya sehingga berdampak langsung terhadap keharmonisan hidup dan kesejahteraan manusia. 

Kembali ke kasus ranjau paku, mengapa para tukang tambal ban rendah sekali moralitas sosialnya sehingga tega mengorbankan orang lain untuk memenuhi kepentingan pribadinya?

Bagong Suyanto, dosen Sosiologi Unair Surabaya (Kompas.com ) berpendapat “…umumnya alasan bertahan hidup menjadi motivasi para pelaku penebaran paku itu. Mereka merupakan irisan dari komunitas urban yang tidak mampu menaikkan mobilitas, sementara persaingan dan biaya hidup di Ibu Kota kian tinggi. persoalan itu pertama-tama belum dapat dilihat sebagai persoalan hukum atau moralitas, tetapi persoalan sosial. Pada satu sisi, mereka dapat didudukkan sebagai tersangka, tetapi pada sisi lain mereka adalah kelompok yang tidak mampu berhadapan dengan situasi sosial perkotaan.

Menurut Bagong Suyanto fenomena ranjau paku lebih dilihat sebagai persoalan desakan sosial ekonomi, bukan sebagai persoalan hukum atau moralitas. Tapi tindakan merugikan dan bahkan membahayakan orang lain tetaplah tidak bisa dibenarkan secara moral,  apapun motivasi yang mendorong tindakan tersebut. Apalagi ranjau paku ini sudah disebar secara terencana dan melibatkan banyak pelaku. Suatu tindakan yang tidak benar apalagi dilakukan oleh banyak orang atau suatu komunitas tanpa ada rasa bersalah, maka pasti ada yang tidak benar di tatanan nilai dan moralitas sosial.

Johan P.Taulani , ketua relawan pengumpul ranjau paku, mengatakan "Sepanjang 3,2 km jalan ini (flyover Roxy Mas hingga jalan Hasyim Asyari), saya itung ada 32 tambal ban. Paling yang jujur cuma 2" (Kompas.com ). Apa artinya ini? Artinya mayoritas para tukang tambal ban berpikiran menyebarkan ranjau paku untuk menjaring korban tidak lagi dianggap tindakan yang jahat. Mereka sudah kebal, sudah imun dari rasa bersalah atau dosa.

Pertanyaan yang menghantui pikiran saya : apakah terkikisnya moralitas sosial ini hanya terjadi di lapisan masyarakat bawah seperti para tukang tambal ban ? Bagaimana dengan moralitas sosial di profesi terhormat lainnya ?

Bagaimanakah moralitas sosial profesi dokter? Berapa banyak dokter yang tega mengorbankan pasien demi tuntutan hasrat atau target-target ekonomi?

Bagaimana dengan aparatur Negara ? Berapa banyak PNS, pejabat pemerintah, polisi, anggota legislatif yang tega mengorbankan masyarakat atau konstituen demi memenuhi hasrat akan jabatan, kuasa, dan kekayaan material?

Bagaimana dengan profesi guru dan dosen ? Berapa banyak guru dan dosen yang tega mengorbankan murid dan mahasiswa  demi ambisi pribadi akan jabatan, pangkat dan kariernya? (Ini bahan untuk introspeksi saya pribadi)

Banyaknya pejabat negara yang terjerat kasus korupsi adalah bukti nyata cara pikir model para penyebar ranjau paku yakni menyalahgunakan kekuasaan dan kekayaan negara untuk memperkaya diri , keluarga dan kroninya dengan mengorbankan dan merebut hak rakyat untuk mendapatkan kesejahteraan sosial. Dan apabila cara pikir dan perilaku yang sama juga diikuti banyak profesi lainnya, maka dapat dikatakan krisis moralitas sosial tengah melanda bangsa Indonesia. 

Kesimpulannya, menipisnya moralitas sosial bisa terjadi di semua lapisan dan klas dalam masyarakat dan bisa didorong oleh banyak motif. Tapi yang pasti semua faktor penyebab itu berujung pada satu muara : Keserakahan.