Senin, 10 September 2012

Matah Ati : menonton seni tradisional Jawa di era global


Kemarin malam, 9 September 2012, saya mendapat kesempatan menonton sendratari kolosal  ”Matah Ati " di Pamedan Mangkunegaran. Matah Ati bercerita tentang Rubiyah  seorang gadis Jawa dari Desa Matah yang hidup di pertengahan abad ke-18.  Di era ini banyak terjadi pemberontakan terhadap VOC, salah satunya pemberontakan yang dipimpin oleh kesatria dari Surakarta – Raden Mas Said atau dikenal dengan sebutan Pangeran Samber Nyowo. Rubiyah adalah seorang perajurit perempuan yang selain cantik  juga memiliki keberanian dan penguasaan strategi perang yang tak kalah dengan prajurit pria.  Di tengah suasana perang inilah, kisah cinta Raden Mas Said dan Rubiyah  berkembang dan kemudian menyatu dalam perkawinan yang pada akhirnya melahirkan Dinasti Mangkunegaran (matah-ati.com/about/synopsis). Kisah Rubiyah memberi gambaran lain tentang perempuan Jawa yang selama ini dikenal lemah lembut dan nrimo.  Perempuan Jawa  ternyata juga bisa perkasa dan berani terlibat langsung di medan peperangan, suatu wilayah yang selama ini identik dengan laki-laki. Bicara tentang kesetaraan gender, siapa yang tidak ingat  dengan  Gusti Nurul , putri bangsawan Mangkunegaran yang dikenal karena berani mendobrak tradisi saat itu dengan memakai celana panjang dan naik kuda keliling Solo. Ya bisa dimaklumi ternyata beliau adalah keturunan Rubiyah.

Tentang sendratari Matah Ati sendiri ada beberapa hal yang  menarik untuk diulas. Dari sisi pertunjukan , yang bikin Matah Ati jadi luar biasa adalah keindahan gerak dan kostum tari Jawa yang didukung oleh panggung yang besar dengan penataan dan pencahayaan yang spektakuler. Baru kali ini saya melihat panggung pentas yang tidak konvensional atau datar saja. Panggung yang ditata oleh Jay Subyakto ini ada empat tingkatan, tingkatan paling bawah dekat penonton berbentuk miring, kemudian panggung datar, kemudian panggung miring lagi, dan terakhir menurun (terkesan seperti turun dari bukit). Tidak hanya itu, panggung yang datar dalam adegan tertentu bisa terbuka dan dari situ muncul lah para penari. Pada sisi kiri dan kanan panggung , terdapat pilar-pilar tinggi tempat tata pencahayaan dan sekaligus difungsikan sebagai tempat pintu keluar masuk. Kiri dan kanan panggung ini ditutupi dengan kain hitam. Pada saat saya datang , ketika lampu belum dinyalakan, saya tidak melihat tiang-tiang ini. Yang saya lihat di atas panggung hanya gedung kuno peninggalan Belanda yang menjadi background panggung.

Matah Ati dapat dikatakan Opera van Java yang sesungguhnya. Seni tari, wayang dan musik tradisional Jawa berpadu satu dan diolah menjadi opera yang sedemikian indahnya di tangan sang produser BRAy. Atilah Soeryadjaya yang merupakan putri bangsawan Mangkunegaran. Gerak tarian yang indah dan elegan, tembang yang merdu, serta musik gamelan yang pas dengan setiap gerak dan lakon yang diperankan. Semua keindahan seni ini bisa hadir di atas panggung karena ternyata hampir semua penari adalah sarjana seni dan  orang-orang di belakang layar atau istilahnya Tim Kreatifnya adalah para dosen  institut seni Solo.

Melihat pentas Matah Ati  mata menjadi segar oleh keindahan gerak tari serta kecantikan wajah dan tubuh para penari perempuan , ditambah lagi dengan kostum yang  mewah dengan paduan warni-warni cerah serasi dan berkilau oleh terpaan cahaya. Matah Ati juga menghibur telinga dengan alunan gamelan dan  kemerduan tembang atau gending Jawa, termasuk lagu dolanan jaman saya kecil yang sudah tidak lagi dikenal oleh anak jaman sekarang. Yang tak kalah menarik adalah tampilnya Sahita – kelompok seniman yang terdiri dari empat perempuan sarjana seni ISI Solo yang di pentas selalu tampil sebagai nenek-nenek kocak. Sahita menghadirkan selingan humor dan sekaligus kritik sosial yang segar. Salah satunya  tentang Solo yang dilekatkan dengan terorisme dan kekerasan. Sahita bilang  tindak kekerasan itu harus dilawan ....dengan apa ?  Kekerasan itu harus dilawan dengan ... kesenian. Pada saatnya semua kekerasan itu nanti akan habis dengan sendirinya.  Selain pintar melontarkan celetukan yang spontan dan lucu,  para nenek-nenek heboh ini juga pinter nembang dan menari.  Sendratari Matah Ati  juga menghadirkan kejutan-kejutan yang disisipkan  di setiap adegan seperti adanya kembang api pada awal dan penutupan, serta adegan perang yang disertai dengan kobaran api sungguhan di sekeliling panggung.

Yah, Matah Ati adalah contoh produk seni tradisional di abad digital. Seni tradisi seperti wayang kulit atau wayang orang, ketoprak atau seni tari tidak lagi dipentaskan dengan pakem yang baku. Dengan bantuan tehnologi pencahayaan, media visual dan peralatan canggih lainnya, pentas wayang dan sendra tari bisa dilakukan dengan sarana multimedia sehingga menghadirkan pentas seni tradisi yang terkesan canggih, megah, mewah dan sekaligus modern. Tidak heran kalau pertunjukkan Matah Ati sebagian besar penontonnya justru anak-anak muda.

Penonton menjadi faktor lain yang menarik untuk diamati. Penonton seni tradisi selama ini adalah kaum tua atau masyarakat tradisional di pedesaan. Matah Ati membuat gebrakan dengan mementaskan sendratari tradisi Jawa ini pertama kali di gedung kesenian Esplanade Theatre Singapura Ternyata selama dua hari pertunjukkan karcis ludes habis dan banyak penonton yang kecewa tidak mendapatkan karcis. Uniknya, sebagian besar penonton bukanlah orang Indonesia , apalagi orang Jawa. Pada pertunjukkan kedua di Jakarta hal sama juga terjadi.

Seni tradisi dan anak muda atau kaum menengah di kota-kota besar selama ini tidak kompatibel. Melihat tarian dan gending Jawa enggak elite dan enggak anak muda banget. Matah Ati mematahkan pandangan ini. Apabila digarap dengan sungguh-sungguh ternyata seni tradisi Indonesia bisa tampil semegah opera Broadway sehingga mampu menyedot perhatian tidak hanya orang Indonesia tapi juga mancanegara. Pentas Matah Ati di Solo membuktikan hal ini. Sebagian besar penonton adalah anak muda dan saya kira kebanyakan bukan orang Solo. Dari mendengar percakapan dan penampilan sepertinya kebanyakan orang Jakarta atau bahkan orang Singapura. Memang ada sekitar 200an penonton dari delegasi Federation of Asian Culture Promotion (FCAP) dan banyak juga bule yang nonton. Menunggu pentas Matah Ati dengan duduk-duduk di Ngarsopuro serasa bukan di Solo. Ada cewek bule lagi bercanda dengan anak-anak muda Indonesia akrab sekali. Ada gadis dan ibu-ibu dengan penampilan modis dan wangi. Dan lagi satu hal yang membuat serasa  bukan di Indonesia adalah penonton yang tertib antri. Padahal jumlah penonton ribuan, tapi semua masuk dengan tertib dan tidak ada desak-desakan, apalagi rebutan tempat duduk. Ketertiban ini berlanjut saat pertunjukkan berlangsung. Sejak awal diumumkan untuk mematikan HP dan diperbolehkan mengambil gambar tapi tetap duduk. Ternyata aturan ini ditaati. Ketertiban penonton berlanjut hingga saat keluar dari tempat pertunjukkan.

Inilah pengalaman menonton Matah Ati : kesenian lokal, dengan penonton dan tehnologi serta manajemen level global. Ternyata Solo bisa, saya kira Indonesia juga bisa.

Gambar :
mariaulfa.blogspot.com, facebook.com dan solopos.com

Link : Foto-foto  sendratari Matah Ati