Sabtu, 14 April 2012

Kartini, Bukan Perempuan Biasa


Beberapa hari lagi kita akan menyambut hari Kartini. Masih ingat lirik lagu ciptaan W.R. Supratman ini?
Ibu kita Kartini putri sejati, Putri Indonesia harum namanya
Ibu kita Kartini pendekar bangsa, pendekar kaumnya untuk merdeka
Wahai ibu kita Kartini, putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya, bagi Indonesia
Beberapa tahun ini, saya merasa sepertinya perayaan Hari Kartini  tidak semeriah masa kecil dan remaja saya. Saya jadi bertanya-tanya, apakah Kartini tetap diakui sebagai pahlawan yang layak dijadikan idola , panutan dan  pendekar bagi kaum perempuan Indonesia sebagaimana bunyi lirik lagu Ibu Kartini? Apakah pemikiran dan perjuangan Kartini yang menuntut emansipasi perempuan juga menjadi cita-cita semua perempuan Indonesia? 

Meskipun secara khusus diperingati dalam suatu hari perayaan, saya yakin tidak semua orang Indonesia mengenal betul siapa sosok Kartini sehingga bisa mengapresiasi perjuangannya bagi perempuan Indonesia.
Kartini saya kenal melalui perayaan Hari Kartini ketika duduk di bangku Taman Kanak-kanak (TK) dan berlanjut sampai di bangku SMA. Perayaan Hari Kartini jaman saya kecil tidak jauh berbeda dengan jaman ini : diarak berjalan berkeliling dekat sekolah dengan memakai baju adat atau pakai kebaya model Kartini dan yang anak laki-laki pakai blangkon atau lomba masak dan berdandan untuk yang  ibu-ibu. Perayaan Hari Kartini dan lagu Ibu kita Kartini, itu saja yang saya ingat dari Kartini – sampai akhirnya  saya membaca sendiri buku Surat-Surat Kartini (kalau nggak salah diterbitkan Penerbit Djambatan) saat di SMA.  
Begitu  membaca Surat-Surat Kartini, mata dan pikiran saya terbuka lebar . Ternyata Kartini sungguh bukan perempuan biasa. Membaca surat-suratnya tak ubahnya membaca gagasan perempuan lulusan S3, bahkan belum tentu semua perempuan dengan jenjang pendidikan tertinggi sekali pun bisa mempunyai pemikiran semaju dan secerdas Kartini. Bagaimana mungkin perempuan yang hanya lulusan ELS ( sekolah dasar zaman Belanda)  bisa menulis gagasan dan ide-ide yang jauh melampaui jamannya?  Bagaimana mungkin perempuan yang tidak mempunyai ijazah sarjana strata apa pun bisa membuat tulisan-tulisan bernas tentang nasionalisme, politik, humanisme dan feminisme? Saya yakin  tidak banyak perempuan sarjana sekarang ini yang mempunyai cara berpikir dan  kemampuan menuangkan dalam tulisan sekaliber Kartini.
Mungkin ada yang heran mengapa Kartini yang duduk manis dipingit di dalam rumah dan hanya  menuliskan wawasannya melalui surat kepada teman-temannya yang orang Belanda kok dipilih jadi simbol pahlawan perempuan Indonesia? Kartini hanyalah seorang perempuan yang merintis pendidikan bagi Bumiputera, dia bukan perempuan heroik seperti pahlawan perang Aceh Tjut Nyak Dien atau Christina Martha Tiahahu yang pada umur 17 tahun telah mengangkat senjata untuk berperang melawan penjajah Belanda. Bukankah pahlawan itu identik dengan mereka yang membela negara di medan perang ? Mestinya simbol pahlawan perempuan itu lebih pantas disematkan kepada perempuan yang benar-benar berjuang keras mengorbankan jiwa dan raga mengusir penjajah bukan sosok intelektual semacam Kartini ?
Ada banyak asumsi, praduga dan kontroversi seputar pengangkatan Kartini sebagai pahlawan kaumnya. Saya memilih berpikir positif saja : Presiden Soekarno menetapkan Kartini sebagai simbol pahlawan perempuan dari begitu banyak pahlawan perempuan di Indonesia, karena Kartini memilih jalan mencerdaskan manusia Indonesia sebagai strategi untuk membangun bangsa dan negara. Jalur pendidikan –mungkin menurut pemikiran Soekarno yang juga  seorang intelektual – dianggap sebagai strategi paling tepat bagi gerakan perjuangan untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan.
Untuk lebih mengenal siapa Kartini bisa dibaca pemikirannya yang saya cuplik dari surat-suratnya  kepada Stella Zeehandelaar berikut ini (dalam  Aku Mau...Feminisme dan Nasionalisme , surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903 alih bahasa Vissia Ita Yulianto. Penerbit Buku Kompas. 2004)
Tentang korupsi dan administrasi negara
Jepara,13 Januari 1900
“Tidak Stella, para penguasa daerah tidak lagi dengan sengaja merampas hak rakyat, dan kalaupun hal ini sesekali masih saja terjadi, orang yang bersalah itu akan dipecat dari kantor, atau diturunkan jabatannya. Tapi apa yang terjadi sekarang , atau yang sedang berkembang sama saja jeleknya : aksi suap, yang saya rasa sama memalukannya dengan pencurian derma bagi rakyat kecil yang ditulis dalam buku Max Havelaar.  
Tetapi aku tidak boleh gegabah, hanya menilai dari fakta yang kelihatan saja tapi aku harus melihat lebih jauh bagaimana sesungguhnya kejahatan ini bisa terjadi. Pada awalnya, orang-orang bumiputera memang memberi persembahan kepada junjungan mereka sebagai ungkapan rasa hormat dan juga untuk menjalin rasa kekeluargaan. Sebenarnya menerima hadiah-hadiah semacam ini dilarang pemerintah. Tapi selama gaji pegawai pamong praja masih sangat rendah, sulit rasanya mempercayai bagaimana mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. ..................
Di sini gaji pegawai sangat rendah. Seorang asisten wedana kelas dua hanya mendapat 85 gulden. Dari gaji itu ia masih harus membayar seorang juru tulis (pemerintah tidak bertanggung jawab untuk menggaji seorang juru tulis asisten wedana, meskipun beban pekerjaannya tidak kalah berat dibanding para wedana , jaksa, atau lainnya) bila ada pengawas, bupati atau asisten residen yang berkunjung ke daerah untuk acara tertentu, dia jugalah yang bertanggung jawab menyediakan bendi untuk perjalanan inspeksi ke hutan-hutan, membayar penginapan, membayar semua pengeluaran selama inspeksi dan juga untuk menjamu mereka. .............
 Aku tahu permasalahan-permasalahan para pemimpin Bumiputera; ....aku tahu suka duka yang dialami rakyat...Dan apa yang akan dilakukan Pemerintah? Pemerintah akan mengorganisir kembali urusan pamong praja. Jumlah pegawai Bumiputera akan dikurangi demi keuntungan pegawai-pegawai Belanda. Dengan jumlah pengurangan ini pemerintah menghemat 164.800 gulden untuk tiap tahunnya dan tentu saja akan disalurkan untuk para pegawai Belanda di Departemen Administrasi Negara. Dibanding yang lainnya, gaji pegawai ini sangat rendah. Tapi seharusnyakah Pemerintah mengorbankan kesatuan pegawai Bumiputera? Memang benar bahwa dalam tindakan pengalihan ini tidak sedikit pegawai yang dulu gajinya sedikit akan dinaikkan dan juru tulis asisten wedana akan digaji oleh pemerintah, tapi bagaimana bisa hal ini dibandingkan dengan penghapusan banyak pos-pos yang lebih tinggi. Di mana-mana banyak orang menyayangkan kebijakan pemerintah ini. Proposal untuk reorganisasi ini sudah disetujui dewan Perwakilan Rakyat dan pada bulan Juli nanti reorganisasi di Departemen Administrasi Negara akan mulai berlaku.”
Tentang agama
Jepara, 6 November 1899
“Agama dimaksudkan sebagai rahmat bagi semua umat manusia, untuk bisa menjadi tali penghubung antara semua ciptaanNya. Kita semua bersaudara bukan karena satu keturunan tapi karena satu Tuhan yang berkuasa di atas sana. Oh Tuhan, kadang aku berpikir bahwa agama lebih baik tidak ada saja. Karena justru agamalah penyebab perselisihan, perpecahan dan pertumpahan darah dan bukan menjadi tali pemersatu umat manusia. Saudara kandung saling berselisih hanya karena berlainan keyakinan. Perbedaan antara Gereja juga mengakibatkan dinding pemisah bagi dua hati yang berkasih-kasihan.
Aku sering bertanya pada diriku sendiri ; apakah agama merupakan sebuah rahmat kalau prakteknya malah seperti ini? Kata orang, agama akan menjaga kita dari perbuatan dosa, namun berapa banyak dosa yang telah diperbuat atas nama agama?”
Apa yang dibaca Kartini ?
Jepara, 13 Januari 1900
"...sebenarnya aku ingin bertanya padamu tentang hal yang kubaca belakangan ini. Tentang sebuah karangan terjemahan bahasa Inggris yang berjudul ‘The purpose of the Women’s Movement ‘, tapi aku tidak ingat lagi apakah karangan itu terdapat di De Gids atau di jurnal-jurnal ilmiah. Dan apa yang harus kau baca jika kamu belum mengetahuinya adalah ‘Wayang Orang’ yang ditulis oleh Martine Tonnet dalam De Gids edisi November. Buku ini bercerita tentang orang-orang Jawa dan keseniannya dan kraton Yogyakarta, amat menarik. Kau akan menyukainya, benar. Hari lalu aku membaca Minnenbrieven oleh Multatuli untuk kedua kalinya. Betapa pandainya orang itu! Baguslah karena tak lama lagi akan diterbitkan karya-karyanya dengan harga murah. Aku akan merayu ayah untuk membeli. Ayah asisten residen kami dulu adalah teman Multatuli dan dari dialah kami tahu beberapa anekdot kehidupan orang pintar itu..."
Catatan penutup :
Kartini lahir 21 April 1879 dan surat-suratnya kepada Stella ditulis antara tahun 1899-1903 berarti saat usianya 20-23 tahun. Di usia dua puluh satu (21) tahun seorang perempuan Indonesia di tahun 1900 telah melahap berbagai jurnal ilmiah berbahasa asing dan menuliskan pikiran seperti yang saya kutip di atas. Saya tidak berlebihan bukan, kalau mengatakan Kartini bukan perempuan biasa?
Foto : R.A. Kartini - wikipedia
Kartun : clekit April 2109 - wahyukokkang.wordpress.com

Tulisan terkait :
Tentang Authenticity : Renungan di Hari Kartini