Kamis, 13 Desember 2012

Melawan Korupsi Lewat Lagu


Banyak strategi untuk menghadapi perang melawan korupsi. A.T. Rafique Rahman (1986) membagi stategi memberantas korupsi menjadi dua cara yaitu membenahi aspek lingkungan (environmental) dan kelembagaan (institutional). Mengobati korupsi dari sisi lingkungan dilakukan melalui perbaikan moral individual dan dari sisi kelembagaan dengan pembenahan dari sisi sistem governance khususnya pelembagaan politik, administrasi negara dan hukum.

Indonesia yang level korupsinya sudah tingkatan sistemik atau grand corruption ibaratnya sudah kanker stadium 4 sehingga harus diobati dengan strategi dua-duanya. Salah satu cara memberantas korupsi dari sisi lingkungan adalah dengan menumbuhkan sikap anti korupsi yang bisa dilakukan lewat lagu, contohnya seperti yang dilakukan oleh Rendy Ahmad.

Lagu Rendy Ahmad (pemeran Arai dalam film Sang Pemimpi) yang berjudul “Vonis” berhasil menjadi Juara Dua dalam Anti Corruption Music Competition di Brazil. Rendy Ahmad bersama-sama dengan anak-anak muda yang tergabung dalam SIMPONI (Sindikat Musik Penghuni Bumi) bergiat dalam kegiatan anti korupsi melalui musik. Menanamkan sikap dan kesadaran anti korupsi di kalangan anak muda memang paling efektif lewat media yang akrab dan disukai oleh mereka ketimbang lewat penyuluhan atau kotbah-kotbah soal moral yang kebanyakan terlalu rigid dan normatif. 

Ingin tahu bagaimana cara anak muda mengekspresikan sikap mereka terhadap korupsi ? Silahkan lihat video lagu VONIS” ini.

Di belahan bumi lain, anak muda Mesir dengan cara yang sama mengekspresikan  kondisi negaranya. Meski tidak tahu bahasanya, tapi lagu yang memenangi Juara Satu dalam Anti-Corruption Music Competition di Brazil ini enak untuk didengarkan dan videoklipnya juga bagus. Lagu berjudul El Soor (Tembok) ini berkisah tentang sebuah tembok yang dibangun untuk menutup akses ke Tahrir Square, namun orang Mesir mengalihfungsikan tembok “politik” ini sebagai papan kanvas untuk media kritik lewat corat coret gambar atau grafitti. Tembok simbol kekuasaan politik yang korup dijadikan  sekedar obyek olok-olok. Di lirik lagu El Soor disebut tentang laki-laki miskin yang menjadikan tembok itu untuk kencing. Tembok pelindung kekuasaan negara yang dikencingi oleh rakyatnya (arabicmusictranslation.com/)


Jumat, 07 Desember 2012

Bicara soal Korupsi di Hari Anti Korupsi Sedunia


“It is not power that corrupts but fear. Fear of losing power corrupts those who wield it and fear of the scourge of power corrupts those who are subject to it.” 
 
Aung San Suu Kyi, Freedom from Fear


“To oppose corruption in government is the highest obligation of patriotism.” 


Beberapa hari lagi – tepatnya  tanggal 9 Desember -  dunia akan memperingati Hari Anti Korupsi. Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia dirayakan tiap tahun sejak PBB mengeluarkan Konvensi Anti Korupsi pada 31 Oktober 2003. Tujuan peringatan Hari Anti Korupsi  sama dengan maksud dikeluarkannya konvensi ini yakni untuk mempromosikan strategi pemberantasan korupsi yang lebih efisien dan efektif , memfasilitasi kerjasama internasional dan bantuan tehnis dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, serta meningkatkan integritas, akuntabilitas dan manajemen urusan publik yang baik (United Nations Convention against Corruption) 

Bicara soal korupsi rasanya malas banget. Korupsi itu perilaku buruk yang sepertinya semakin dilekatkan dengan Indonesia. Korupsi sudah menjadi  sesuatu yang Indonesia banget. Dari tahun ke tahun Indonesia selalu berhasil meraih “prestasi”  sebagai negara dengan tingkat korupsi tinggi. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Tahun 2012   yang baru saja dipublish oleh Transparency International 5 Desember yang lalu menempatkan Indonesia di posisi 118 dari 174 negara yang disurvei. Meskipun IPK Indonesia meningkat dari 30 menjadi 32, namun peningkatan ini tidak begitu signifikan karena  banyak negara tetangga kita yang tahun lalu berada di posisi di bawah Indonesia tahun ini mengalami capaian indeks yang cukup tinggi hingga berada di atas Indonesia. Tahun ini Indonesia menjadi negara terkorup di ASEAN bahkan di bawah Timor Leste dan Pilipina. 

IPK Indonesia yang stagnan di skor 20 sampai kisaran 30an (skor terbersih 100) menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi di Indonesia masih lari di tempat. Tidak seperti di China yang berani menghukum mati pejabat-pejabatnya yang korup, di Indonesia belum ada satu pun hukuman berat yang dijatuhkan ke pejabat korup bahkan terkesan penegakan hukum hanya tajam untuk pejabat level bawah atau mantan pejabat dan tumpul untuk pejabat yang tengah berkuasa.

Menjelang Hari Anti Korupsi , kita disuguhi berita yang cukup mengejutkan yakni ditetapkannya Menpora Andi Mallarangeng sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Ini suatu rekor dalam pemberantasan korupsi di Indonesia karena baru kali ini seorang menteri yang masih aktif menjabat ditetapkan sebagai tersangka. Semoga saja langkah tegas ini tidak berhenti di Andi Mallarangeng tapi juga berimbas pada pembersihan korupsi di departemen-departemen yang selama ini dikenal sebagai sarang korupsi.

Ibarat kanker, korupsi jika dibiarkan berlarut-larut akan mengakar kuat dan merusak peradaban suatu bangsa. Tidak ada bangsa yang bisa maju karena korupsinya. Jika kita lihat IPK dari tahun ke tahun, 10 negara yang menduduki rangking terbersih adalah negara-negara Skandinavia seperti Denmark, Finlandia, Swedia, Norwegia dan satu-satunya negara di Asia yang langganan di posisi ini adalah Singapura. Semua negara ini dikenal  sebagai negara dengan administrasi dan tata kepemerintahan yang baik dan tertib serta pelayanan publik yang berkualitas. Sebaliknya, IPK rendah didominasi negara-negara dengan kondisi politik tidak stabil dan sistem tertutup seperti  Libya,Irak, Myanmar, Sudan, Afganistan, Korea Utara, Somalia, dsb.

Akar korupsi memang di manajemen kekuasaan. Bagaimana kekuasaan dikelola dan digunakan tidak bisa lepas dari kultur dan struktur. Kultur dan struktur itu sendiri adalah manifestasi dari nilai-nilai dalam masyarakat. Nilai-nilai apa yang diyakini akan menentukan bagaimana seseorang memaknai suatu kekuasaan. Kekuasaan yang dikelola untuk kesejahteraan bersama atau kepentingan publik membutuhkan nilai atau ideologi yang meletakkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi dan kelompok. Kekuasaan yang dipahami sebagai amanah dari rakyat untuk dikelola sebaik-baiknya bagi kesejahteraan publik adalah roh demokrasi. Indonesia selama ini mengklaim sebagai negara demokrasi baru sebatas pada permukaan –adanya pemilu, lembaga perwakilan, lembaga kontrol,dll – namun secara esensial roh demokrasi berupa etos pengabdian kepada kesejahteraan publik sangat lemah. Kultur kekuasaan patrimonial (Weber, 1978) yang memaknai kekuasaan sebagai milik pribadi atau kekuasaan sebagai simbol status seorang raja atau penguasa yang menentukan segalanya, masih menjadi anutan banyak pejabat di Indonesia. Spirit di balik perjuangan meraih kekuasaan masih berwajah sangat maskulin : kekuasaan itu sumber kekuatan dan pengaruh (power), kekuasaan adalah penundukan, pengendalian dan otoritas, kekuasaan adalah puncak posisi pemimpin, dan pucuk kepemimpinan adalah sumber penghormatan, kepatuhan dan ketakutan. Kekuasaan tidak dilihat dari sisinya yang feminin : melayani, mengabdi, merawat, mendidik, melindungi dan mengayomi demi kesejahteraan dan kebahagiaan yang dilayani. Inilah spirit sejati dari administrasi publik. Melayani dan mengayomi rakyat, bukan melayani dan mengabdi pada kekuasaan, pada penguasa. Selama motivasi orang duduk di lembaga kekuasaan semata untuk memenuhi hasrat kuasa (power-lust) bukan passion untuk mengabdi dan memberikan yang terbaik bagi rakyat, bangsa dan negara maka hasrat untuk korupsi itu akan tinggi.

Hari Anti Korupsi mestinya dipromosikan bukan saja untuk membenahi kultur dan struktur pengelolaan urusan publik (governance) tapi juga menanamkan nilai-nilai spirit pengabdian pada kemaslahatan publik. Pada akhirnya apabila spirit semacam ini tumbuh menjadi passion orang Indonesia, saya yakin akan tercipta kultur dan struktur administrasi publik yang baik. Tapi sepanjang etos ini hanya ada di segelintir manusia Indonesia maka kemungkinan besar dia kurang daya melawan arus sistem yang busuk. Pejabat melakukan korupsi belum tentu karena niat pribadi tapi karena desakan sistem atau struktur kuasa yang busuk sehingga memperangkap orang yang sebenarnya baik menjadi tidak lagi berdaya atau bahkan tersedot oleh sistem yang ada.

Menanamkan spirit anti korupsi adalah langkah jangka panjang  dan harus dilakukan terus menerus. Pembenahan bisa dimulai dari diri kita sendiri. Langkah awal bisa dilakukan di lingkungan terdekat kita : di keluarga, komunitas, atau di tempat kerja. Sebarkan virus anti korupsi ini setiap saat tidak harus menunggu Hari Anti Korupsi.

Tindakan Andi Mallarangeng untuk dengan gentle mengundurkan diri dari segala jabatan yang disandangnya begitu dia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK  perlu diapresiasi sebagai bentuk etika pejabat publik yang baik. Semoga langkah ini menjadi acuan bagi pejabat publik lainnya yang dianggap melanggar etika administrasi publik.

Akhirnya , selamat Hari Anti Korupsi Sedunia. Perjuangan terberat bangsa Indonesia saat ini tidak saja melawan penjajah, tapi melawan nafsu untuk merusak bangsa sendiri melalui korupsi. Tetap  optimis dan selalu berharap kita akan menang dalam perang ini. Yakin Indonesia akan menjadi lebih baik di masa datang. God Bless Indonesia.

Gambar : gambar.co dan lokerseni.web.id


Selasa, 04 Desember 2012

Etika Administrasi Negara dan Rasa Keadaban Publik : Belajar dari Kasus Bupati Garut


Media massa – elektronik dan internet – saat ini tengah dapat umpan segar yang seksi untuk dieksploitasi :  kasus kawin siri Bupati Garut yang hanya bertahan empat hari dan diakhiri talak cerai melalui sms dengan alasan yang terkesan melecehkan perempuan.  Perilaku Bupati Garut ini memancing hujatan, makian, sumpah serapah , protes dan penghakiman publik  bahkan sampai Presiden pun berkomentar negatif terhadap kasus ini.

Mendagri Gamawan Fauzi menilai tindakan Bupati Garut tersebut lebih  merupakan pelanggaran etika. Pertama, dia nikah tanpa pencatatan. Kedua, dia menceraikan begitu saja. Seorang pemimpin semestinya jadi contoh. Beliau adalah figur, orang nomor satu, pemimpin Garut, harus patuh dan taat undang-undang. Gamawan menambahkan, dalam sumpah janji kepala daerah, Aceng jelas memiliki kewajiban taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat 2 yang menyatakan setiap perkawinan harus dicatatkan. Berarti bagi yang tidak mencatatkan tidak taat pada undang-undang. Selain melanggar etika pegawai, Aceng juga dilaporkan ke lembaga perlindungan perempuan pada akhir November 2012 karena dituduh melakukan pelecehan terhadap perempuan di bawah umur. Pernikahan siri terjadi 14 Juli 2012, sementara mantan istri sirinya lahir pada Oktober 1994. Pernikahan berlangsung pada 14 Juli hingga 17 Juli 2012. Perbuatan Aceng dianggap melanggar Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak. Ia juga dianggap melanggar UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Orang.  (http://www.tempo.co)

Saya tidak ingin mengomentari kasus kawin siri Bupati Garut dari sisi legalitas pernikahan, karena jelas ini akan mengundang kontroversi dan perdebatan yang tidak ada titik temunya. Saya ingin mengupas kasus ini dari kaca mata etika administrasi negara dan rasa keadaban publik. 

Dari sisi etika administrasi negara, pernyataan Gamawan Fauzi telah dengan gamblang menjelaskan etika apa yang telah dilanggar Bupati Garut. Peraturan Pemerintah  No. 42 Th. 2004 Tentang  Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS secara detail menyebutkan etika profesi, organisasi, sosial dan personal PNS maupun birokrat. Dalam etika profesi (pasal 9) antara lain disebutkan kewajiban untuk menjunjung penghormatan terhadap hak asasi manusia, tidak diskriminatif dan bermoral tinggi. Sedangkan etika personal (pasal 11) mewajibkan aparatur negara untuk menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga serta berpenampilan sederhana, rapih, dan sopan.

Dinilai dari kode etik aparat publik, perilaku dan ucapan Bupati Garut jelas tidak mencerminkan seorang pejabat publik yang bermoral tinggi , menghargai martabat atau hak manusia (khususnya perempuan) , sederhana, sopan, dan mampu menjaga keutuhan keluarga. Perselingkuhan atau menikah siri atau tidak tercatat secara hukum negara, bagi masyarakat umum yang bukan aparat negara adalah merupakan privasi atau urusan pribadi atau keluarga, yang publik tidak berhak untuk menghakimi. Namun, kalau ini dilakukan oleh pejabat publik urusannya tidak lagi ranah privat tapi menjadi public domain. Mengapa demikian? Karena ideologi pelayanan publik (Gerald Caiden,1982) menyebutkan bahwa lembaga pemerintah merupakan lembaga kepercayaan publik yang digunakan untuk kepentingan publik dan bukan untuk kepentingan pribadi atau sekelompok orang. Oleh karena itu, aparat negara terlebih pejabatnya merupakan perwujudan dari kebaikan publik atau menjadi representasi dari sifat-sifat baik yang didambakan publik : pekerja keras, jujur, adil, bijaksana, dan dapat dipercaya janji dan ucapannya atau memiliki integritas.

Terus apa yang salah atau etika apa yang dilanggar  oleh seorang PNS atau pejabat publik yang menikah lagi atau poligami? Bukankah menikah lagi - sekali pun secara siri -  itu lebih bermoral ketimbang selingkuh? Pertanyaan atau gugatan moral semacam ini yang sering dilontarkan terhadap praktek poligami dan nikah siri. Kembali lagi bahwa PNS atau pejabat publik adalah simbol kebaikan publik atau panutan masyarakat. Dan secara rasa atau bahasa Jawanya diroso-roso dan dinalar  dengan tidak hanya pakai otak tapi juga pakai hati nurani....dengan dalih apa pun bahkan dibungkus dan dilegitimasi dengan dalil apa pun.... tetap saja rasa keadaban kebanyakan masyarakat Indonesia belum atau bahkan sulit untuk menerima praktek poligami apalagi melalui pernikahan siri.  Singkatnya masyarakat  Indonesia masih monogami-oriented sehingga memiliki rasa keadaban yang sulit untuk menerima praktek atau perilaku semacam ini. Apa pun alasannya, masyarakat cenderung memvonis orang yang menikah lagi sebagai orang yang tidak setia dan tega menyakiti istri pertamanya yang sah. Orang tidak mau tahu apapun faktor pendorong pernikahan poligami. Orang kebanyakan yang berpoligami saja dihujat habis-habisan, apalagi kalau itu dilakukan oleh pejabat negara atau tokoh masyarakat. 

Dalam kasus Bupati Garut, penghakiman publik semakin keras karena ada ketidakpatutan secara etika sosial  yaitu ada kesan lembaga perkawinan dilecehkan kesakralannya dan dibuat semacam permainan. Menikah siri , merasa tidak cocok , dan  hanya empat hari kemudian diceraikan hanya lewat sms.  Sudah begitu, si pejabat merasa tidak bersalah dan dengan jumawa menyombongkan kegantengan, jabatan dan kekayaan yang dimilikinya. Itu semua disampaikan dan terekspos dengan gamblang di media massa.

Melihat tontonan   ini,  tidak dapat dipungkiri memang ada bau politik yang menyengat kuat. Namun melihat penampilan dan lisan si bupati,  argumen apa lagi yang bisa digunakan untuk membela perilakunya yang jelas-jelas telah melukai rasa keadaban publik ? 

Gambar : ethics-stalinsmoutache. wordpress. com dan zedge.net