Kamis, 01 Desember 2011

Perayaan Natal : Selebrasi atau Refleksi?

Bulan Desember adalah bulan Natal. Bahkan tanda-tanda Natal itu sudah bisa saya lihat di mall-mall di akhir bulan Nopember. Pusat perbelanjaan selalu lebih bersemangat dalam menyambut suatu momen perayaan , terlebih lagi perayaan keagamaan yang  sudah pasti akan  dirayakan oleh banyak orang. Pohon Natal dengan segala pernak-perniknya, aksesoris Natal, boneka Natal, baju dan kado-kado Natal di pajang dan dipamerkan di dalam mall yang sengaja dihias dengan indah dan gemerlap. Siapa tidak tergiur untuk menikmati tontonan ini ?

Natal, suatu momen yang dirayakan untuk mengenang kelahiran Yesus di sebuah kandang domba di Kota Betlehem , suatu wilayah di Timur Tengah,  di mall berubah menjadi gemerlap pohon Natal dengan hiasan salju, Sinterklas dengan kereta salju dan rusa kutub. Memangnya di Timur Tengah ada salju ? Terus kenapa kok yang ditonjolkan itu Sinterklas yang suka bagi-bagi hadiah kenapa tidak suasana kesederhanaan tempat lahir Yesus di kandang domba?
Jawabannya bisa seperti ini (versi saya  yang sok tahu): Natal merupakan perayaan agama Kristen yang meskipun asalnya dari Timur Tengah namun  mayoritas penganutnya adalah masyarakat Barat (Amerika dan Eropa) sehingga budaya Barat sangat kental mewarnai perayaan Natal. Jadi mengapa aksesoris Natal tidak menggambarkan suasana Kota Bethlehem di Timur Tengah itu karena yang digambarkan adalah suasana Natal di Barat. Pohon cemara yang meskipun ditimbuni gumpalan salju namun tetap kokoh dan bertahan hidup di musim dingin adalah symbol kekuatan dan ketegaran manusia menghadapi godaan dan ujian kehidupan. Sinterklas  naik kereta salju  yang membawa banyak hadiah adalah mitos atau dongeng yang dibangun agar anak-anak senantiasa berbuat baik. Ini semua yang dijual sebagai hiasan Natal di mall-mall.

Tentang mengapa hiasan kandang domba jarang ada di mall, begini alasannya (lagi-lagi versi sok tahu) : Kandang domba adalah gambaran kesederhanaan dan solidaritas Yesus pada kaum miskin dan terpinggirkan. Kaum miskin adalah klas masyarakat yang tidak terbelenggu oleh tuntutan  gengsi dan status. Kalau kandang domba di pajang di mall, jelas ini paradoksal atau bertentangan dengan nilai yang diusung mall-mall di kota besar : gaya hidup konsumtif.  Pesan Natal yang ingin disampaikan oleh pemilik mall adalah : berbelanjalah…belanja …dan…. belanja. Simbol yang tepat untuk ini siapa lagi kalau bukan Sinterklas yang baik hati dan suka bagi-bagi hadiah.

Momen perayaan keagamaan menjadi ritual akbar pemilik mall untuk menghias rumahnya seindah dan segemerlap mungkin dan menawarkan diskon-diskon untuk menarik pembeli agar belanja sebanyak-banyaknya. Maunya pemilik mall, setiap hari itu sebagai hari perayaaan. Everyday is a celebration day.  Kalau hanya menunggu hari perayaan keagamaan, kesempatan menguras kantong konsumen akan terbatas karena dalam setahun jumlah perayaan keagamaan yang dirayakan besar-besaran paling hanya Idul Fitri sama Natal. Untuk itu perlu dikonstruksi (diciptakan) hari-hari perayaan lainnya untuk menarik konsumen datang berbelanja ke mall-mall. Bagi kalangan anak muda yang lagi masa-masanya tertarik dengan lawan jenisnya paling pas kalau mall-mall itu merayakan hari Valentine, dan untuk menjaring konsumen lebih banyak maka  Valentine diubah saja menjadi  Hari Kasih Sayang, kan kasih sayang itu tidak hanya pada pacar tapi bisa pada siapa saja. Perayaan tahun baru Masehi dan Imlek nampaknya juga tidak steril dari komoditisasi pelaku bisnis.

Sebagai suatu perayaan atau selebrasi (celebration), momen Natal  akan mengundang naluri bisnis pelaku ekonomi untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya.   Komersialisasi dan komoditisasi perayaan hari besar keagamaan berpotensi merubah kesakralan momen spiritual menjadi perayaan konsumtivisme.   Ini telah terjadi pada perayaan keagamaan  seperti Natal dan Tahun Baru dan nampaknya gejala serupa juga mulai ditemukan dalam perayaan hari-hari suci keagamaan lainnya.

Selebrasi dan konsumsi adalah dua sisi dari keping mata uang. Selebrasi adalah pesta. Pesta adalah makan-makan, baju baru dan kegembiraan. Jadi selebrasi lekat dengan  suasana suka cita dan kebahagiaan. Memang salah ya merayakan Natal dengan suka cita, pesta dan bagi-bagi kado? Perayaan Natal adalah kesempatan setahun sekali untuk berbagi. Memasak masakan istimewa dan membeli kado-kado untuk dibagikan ke orang-orang terdekat di sekeliling kita atau membagikan rezeki yang berlebih untuk membahagiakan mereka yang kurang mampu. Semua ini tentunya tidak salah dan justru perlu dilakukan apabila kita memang mampu secara ekonomi. Yang perlu diingat adalah jangan sampai energi kita lebih terfokus pada konsumsi berlebihan sehingga substansi Natal yang terletak di nilai atau pesan spiritualnya  justru menjadi terlupakan.

Jika perayaan Natal lebih dikendalikan oleh kepentingan bisnis dan konsumsi  maka  ini menjadi tanda bahwa konsumtivisme dan materialism telah menjadi “agama” baru. Dalam masyarakat dengan tingkat konsumsi tinggi, mall  menjadi ibarat “gereja” yang mengontrol perilaku konsumsi. ''the essence of the mall is control . . . a potentially dangerous mistake,''  demikian pendapat Kowinski (http://www.nytimes.com).

Dalam “agama” konsumtivisme, hari Sabtu menjadi hari yang benar-benar suci. Orang-orang berbondong-bondong datang ke “katedral” (mall). Sebelum tengah hari , parkir mobil telah berderet-deret memenuhi mall-mall. Jika dulu keluarga datang untuk  berdoa bersama-sama di gereja, sekarang mereka datang ke mall untuk belanja bersama-sama (Saturdays have become the true holy day, parking lots being filled with shoppers before noon. Whereas it used to be said that the family that prays together stays together, nowadays it is the family that pays together stays together (http://www.trinity.edu). Gejala inilah yang disebut sebagai “cathedral of consumption”. Istilah katedral mengacu pada cara di mana konsumsi telah menggantikan agama sebagai 'modus yang dominan dari kehidupan publik kontemporer',  dan dengan demikian tempat belanja (mall), menjadi, 'tempat yang paling menggairahkan untuk mengadakan ‘social gathering’  ( cathedrals refers to the way in which consumption has replaced religion as ‘the dominant mode of contemporary public life’, and thus these consumption settings have become, like the religious cathedrals of old, ‘the most sensually satisfying social gathering places in the community’ (http://www.steeppath.com).

Perayaan Natal tak pelak lagi tiap tahun semakin menunjukkan wajahnya sebagai ‘cathedral of consumption”. Natal tidak lagi refleksi  suka cita umat Nasrani atas intervensi Tuhan dalam pergulatan hidup manusia, tapi sudah menjadi bagian dari gaya hidup kapitalisme global. Buktinya, Natal diperingati sebagai pameran konsumtivisme yang bisa ditemukan di banyak mall dan hotel-hotel mewah di kota-kota besar di banyak Negara. Natal tahun yang lalu pohon Natal termahal di dunia –senilai Rp 99 milyard - terdapat di sebuah hotel mewah di  Abu Dhabi. Di Jepang , hari Natal dirayakan besar-besaran lengkap dengan semua atributnya : pohon Natal, Sinterklas, kado dan lagu-lagu Natal. Hari Natal di Jepang menjadi kesempatan untuk kumpul-kumpul dengan sanak keluarga dan teman. Tidak ada kaitannya sama sekali perayaan Natal dengan iman Kristiani. Orang Jepang bukan penganut agama Kristen. Ini bukti bahwa Natal telah menjadi bagian integral dari  kebudayaan global yang disebarluaskan oleh  jaringan  mall di banyak negara. Sepanjang  yang ditularkan adalah pesan solidaritas Natal: keperdulian dan solidaritas pada sesama - khususnya kaum papa, perayaan Natal akan benar-benar menghadirkan dunia yang damai dan sejahtera. Namun apa ya pesan semacam ini  yang mau disebarluaskan oleh "secular cathedral" yang disebut mall itu. Jika misionaris  zaman dulu menyebarkan nilai-nilai cinta kasih, solidaritas dan pengendalian diri, maka "misionaris katedral sekuler" menyebarkan virus konsumtivisme.

Di tengah gempuran  gaya hidup yang semakin konsumtif, akhirnya bagaimana suatu perayaaan keagamaan akan dimaknai semua itu  kembali kepada diri kita sendiri.  Apakah kita akan merayakannya sekedar sebagai pesta hura-hura yang dangkal dan banal tanpa makna  ataukah menjadikannya sebagai momen  untuk merefleksikan , merenungkan dan merecharge kembali nilai pesan spiritual dibalik suatu momen keagamaan. Kalau kita menjadikan perayaan Natal hanya sebagai kegiatan selebrasi, sebagai perjalananan dari satu  pesta  ke pesta , sebagai momen bagi-bagi hadiah,  maka begitu momen Natal berlalu yang kita dapatkan sekedar perut kenyang, baju baru, dan setumpuk kado Natal. Kita hanya menjadi kenyang dan kaya secara fisik, namun secara rohani kita tetap miskin. Apakah kita bisa menemukan suasana Natal yang khusyuk dan syahdu seperti lirik lagu Natal  “Malam kudus, sunyi senyap. ..bintangMu gemerlap…” di tengah suasana pesta Natal yang gemerlap, berisik dan hedonistis ?

Natal sebagai selebrasi tidak  mendatangkan pencerahan. Natal sebagai pesta dan eforia massa sebagaimana ditampilkan di mall-mall, hotel dan di banyak pesta atau bahkan bisa saja di gereja-gereja,  tidak akan mampu memuaskan dahaga kita akan pencerahan dan penguatan spiritual yang sangat dibutuhkan di jaman yang penuh godaan dan tekanan hidup yang berat seperti sekarang ini.  Nilai-nilai yang terkandung dalam Pesan Natal sejatinya adalah  kesederhanaan, solidaritas dan pengorbanan. Nilai-nilai yang sangat dibutuhkan di zaman yang semakin kompetitif – konsumtif, namun semakin langka kita temukan di tengah  masyarakat yang dininabobokan oleh dunia selebriti dan selebrasi.

Salah satu yang saya rindukan dari momen Natal adalah lagu-lagu yang mengalun merdu bak nyanyian malaikat dari sorga, salah satunya adalah O HOLY  NIGHT yang dinyanyikan oleh Celine Dion ini. 


 
 Gambar :thebestpartydecorideas.onsugar.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar