Senin, 31 Oktober 2011

Sumpah Pemuda dan Globalisasi

Baru saja beberapa  hari yang lalu kita memperingati Hari Sumpah Pemuda.  Masih ingat apa bunyi Sumpah Pemuda? Tahukah apa latar belakang historis atau semangat dibaliknya?

Ingatan saya tentang Sumpah Pemuda hanya sebatas pada pelajaran sejarah Indonesia di Sekolah Dasar, saat disuruh maju ke depan kelas dan mengucapkan isi Sumpah Pemuda. Semakin tinggi jenjang pendidikan Sumpah Pemuda semakin jarang disinggung dan  kemudian terlupakan. Kalau setiap tahun di tanggal 28 Oktober kita memperingati  Hari Sumpah Pemuda, apa sih yang kita peringati? Apakah kita masih punya kenangan emosional atau sentimental dengan momen Sumpah Pemuda ? 

Untuk memahami arti penting Hari Sumpah Pemuda kita perlu flashback ke masa 83 tahun yang lalu tepatnya tahun 1928. Pada tahun ini yang namanya Negara, Bangsa dan Bahasa Indonesia belum lahir yang ada baru gerakan-gerakan kaum muda yang mempunyai cita-cita membentuk suatu Negara merdeka yang akan diberi nama Indonesia. Semangat atau cita-cita inilah yang diikrarkan bersama oleh organisasi pemuda dari berbagai suku di Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 . Bunyi ikrar atau sumpah para pemuda itu adalah (Sumpah Pemuda versi orisinal) :

Pertama
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah
Indonesia.
Kedoea
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesi
a

Sumpah Pemuda merupakan bukti otentik bahwa pada tanggal 28 Oktober 1928 Bangsa Indonesia dilahirkan. Karena itu momentum 28 Oktober seharusnya diperingati oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai hari lahirnya bangsa Indonesia.  Proses kelahiran Bangsa Indonesia ini merupakan buah dari perjuangan rakyat yang selama ratusan tahun tertindas dibawah kekuasaan kaum kolonialis. Kondisi ketertindasan inilah yang kemudian mendorong para pemuda pada saat itu untuk membulatkan tekad demi mengangkat harkat dan martabat hidup orang Indonesia asli, tekad inilah yang menjadi komitmen perjuangan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya 17 tahun kemudian yaitu pada 17 Agustus 1945 (Wikipedia)

Momen Hari Sumpah Pemuda tahun ini bagi saya merupakan saat yang pas untuk merenungkan perjalanan bangsa dan Negara Indonesia. Apakah impian dan cita-cita yang ingin diwujudkan oleh para pahlawan pendiri bangsa ini sudah mulai nampak terwujud? Apakah menjadi satu dalam komunitas Negara Indonesia masih menjadi cita-cita yang sama kuatnya dengan tekad para pemuda yang mempelopori Sumpah Pemuda?

Saat terucap bertumpah darah yang satu,  tanah Indonesia, timbul pertanyaan : masihkah kita memiliki ikatan emosional yang mendalam dengan tanah tumpah darah yang disebut Indonesia? Masihkan segenap suku dan etnis yang tersebar dari Sabang sampai Merauke mempunyai rasa cinta pada Indonesia dan bertekad kuat untuk mempertahankan ikatan tanah air Indonesia? Masih pantaskah kita teriak keras marah-marah pada Malaysia saat batas geografis wilayah kita dilanggar padahal di dalam negeri sendiri marak gerakan-gerakan yang ingin lepas dari NKRI? Tidakkah ini membuktikan bahwa rasa cinta tanah air itu semakin luntur?

Saat terucap berbangsa yang satu , bangsa Indonesia, timbul pertanyaan : masihkah ada kebanggaan saat kita disebut sebagai orang dan bangsa Indonesia? Apakah penyebutan identitas kebangsaan Indonesia mampu memperkuat rasa cinta bangsa? Tidakkah berbagai persoalan yang membelit Indonesia mulai dari menguatnya sentimen dan konflik sektarian, kemiskinan, korupsi dan ricuh politik yang tak habis-habisnya dapat menurunkan rasa cinta bangsa ke titik nadir? 

Saat terucap menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia, timbul pertanyaan : apakah berbahasa Indonesia mampu menimbulkan rasa bangga dan cinta pada Indonesia? Kalau dulu saat Sumpah Pemuda diikrarkan oleh sekelompok pemuda Indonesiapada  tahun 1928,  Bahasa Indonesia menjadi sarana nation building, menjadi bagian dari simbol-simbol yang bisa dijadikan media untuk menumbuhkan semangat persatuan bangsa…suatu semangat yang tengah membakar gelora jiwa anak muda yang ingin lepas dari belenggu penjajahan dan merindukan memiliki Negara sendiri yang merdeka…ingin punya bendera sendiri…ingin punya lagu kebangsaan…ingin punya bahasa yang bisa menumbuhkan rasa kesatuan dan persatuan di antara berbagai suku dan etnis yang baru saja bersepakat menyatukan diri dalam satu Negara yang disebut Indonesia. Tapi kini , ketika eforia kemerdekaan sudah terasa “jadul” dan semangat sumpah pemuda  hanya didengar dan diceritakan sayup-sayup atau dikenang sebatas seremonial , salahkah kalau Bahasa Indonesia menjadi sekedar terucap di bibir sebagai alat komunikasi , tidak ada kaitan secara emosional dengan nasionalisme.  

Kini setelah 80 tahun lebih momen itu berlalu, generasi demi generasi muda lahir dan tumbuh berkembang, apakah Sumpah Pemuda dikenang dengan gejolak emosi yang sama? 

Bagi kaum muda yang dibesarkan di era berkelimpahan materi masihkah bisa mereka menghayati sakitnya perjuangan meraih kemerdekaan? Bagi mereka tanah air, bangsa dan bahasa sudah taken for granted ,  identitas keindonesiaan itu sudah terberi , sudah diwariskan oleh para pendiri bangsa.  Mereka mungkin bertanya : memang masih penting ya bicara Sumpah Pemuda? Masihkah relevan  bicara semangat cinta nusa , tanah air , bangsa dan bahasa di era global ini?
 
Globalisasi adalah segala hal yang bersifat lintas bangsa, transnasional, internasional. Globalisasi adalah lintas batas wilayah geografis nation. Globalisasi adalah cosmopolitan. Globalisasi itu kampung seluas bola dunia atau global village, bukan seluas desa, kota atau Negara. 

Tehnologi komunikasi dan digital telah menghubungkan manusia lintas batas nation dalam satu klik di depan komputer. Berbagai peristiwa di pelosok dunia dilihat dan diperbincangkan banyak orang di berbagai belahan dunia melalui TV dan HP. Berbagai peluang dan kesempatan pengembangan diri diakses melalui internet. Untuk berinteraksi dan ngobrol orang cukup duduk di depan komputer dan mengklik mouse. Alat komunikasi sekarang ini sebagian besar tidak dilakukan lewat mulut manusia ,tapi banyak lewat gerakan tangan di atas tuts-tuts komputer. Lewat internet orang diintegrasikan dalam satu interaksi global.

Globalisasi dan tehnologi komunikasi  telah mengaburkan batas-batas Negara, bangsa dan bahasa. 

Kaum muda era ini adalah produk dari budaya atau gaya hidup global. Tidak ada ciri yang membedakan kaum muda dalam hal gaya hidup menyangkut selera entertainment (musik,film, sastra, game,dsb), makanan  dan cara berpakaian atau fashion. Bagi kaum muda , identitas Negara dan bangsa tidak lagi penting. Idola atau role model kaum muda bukan lagi para pahlawan pendiri bangsa apalagi politisi dan birokrat saat ini. Memang ada politisi atau pejabat Negara yang patut dijadikan idola kaum muda? (Wuuiih. No Way !). 

Jangan salahkan anak muda kalau mereka mencari idolanya pada musisi atau bintang film. Jangan salahkan mereka kalau mereka begitu mudah mengeluarkan uang ratusan ribu hingga jutaan untuk sekedar berjingkrak-jingkrak menonton konser artis idolanya. Paling tidak dengan meniru kemampuan vocal dan bermain musik idolanya, mereka  bisa tumbuh menjadi musisi dan penyanyi yang handal dan tak kalah kualitasnya dengan musisi luar negeri. Kaum muda Indonesia telah mampu membuktikan itu semua dengan meraih kemenangan di ajang kompetisi vocal , paduan suara atau musik. Kalau mengidolakan politisi, apanya dari mereka yang bisa dicontoh?

Di bidang  penguasaan ilmu pengetahuan, kaum muda Indonesia terbukti sering menggondol berbagai kompetisi ilmiah. Tak terhitung berapa banyak siswa dan ilmuwan muda Indonesia yang berprestasi membanggakan di negeri orang. Mereka memang tidak mesti membawa nama bangsa dan Negara Indonesia, tapi ini bukan karena mereka tidak cinta negaranya namun lebih karena Negara dan bangsa ini tidak mampu menjadi lahan yang subur bagi pengembangan potensi intelektual mereka secara maksimal. Jangan salahkan mereka kalau akhirnya mereka memilih meninggalkan negeri ini dan berkarya dan mengabdikan karyanya bagi negara yang mampu menampung keahliannya. 

Di era global, peluang untuk maju terbuka bagi semua sumber daya manusia lintas bangsa. Tidak lagi jamannya, orang menolak tawaran untuk maju di negara lain dan lebih memilih menguburkan potensinya dengan tetap berdiam di negeri sendiri demi rasa nasionalisme. Justru mereka yang menghasilkan  karya yang luar biasa di kancah internasional dan tetap membawa identitas keindonesiaannya menunjukkan kecintaannya pada Indonesia dengan menunjukkan bahwa sumber daya manusia Indonesia tidak kalah dengan negara maju lainnya.

Dalam hal bahasa, di era global penguasaan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi internasional menjadi suatu keharusan. Orang yang cas cis cus berbahasa Inggris tidak berarti dia tidak cinta bahasa Indonesia. Yang penting tahu kapan dan di event apa bahasa Inggris itu digunakan. Cinta bahasa Indonesia ditunjukkan dengan menguasai Bahasa Indonesia dengan baik dan ini tidak berarti terus menolak penggunaan bahasa lain. Untuk menguasai dunia, orang Indonesia harus menguasai media komunikasi internasional. Dengan tampil di forum dan event-event internasional bergengsi dengan penguasaan bahasa Inggris yang baik akan meningkatkan image positif Indonesia di mata masyarakat internasional.

Kalau orang sudah sdemikian menyatu  dalam satu identitas kampung seluas bumi, terus bagaimana  keterikatannya dengan tanah air, negara, dan bangsa?  Tidakkah globalisasi telah menggeruskan nilai-nilai Sumpah Pemuda?

Saya kira tidak perlu demikian. Nilai-nilai Sumpah Pemuda hanya perlu di direvitalisasi agar bisa tetap aktual dengan konteks tantangan era global. Kita tidak perlu terjebak dalam nostalgia nasionalisme model era perjuangan kemerdekaan yang melihat cinta bangsa pada keterikatan emosional pada tanah air , pada batas geografis suatu wilayah Negara. Orang yang cinta tanah air secara sempit diartikan sebagai orang  yang sepanjang hidupnya tinggal dan berkarya sampai mati disitu. 

Cinta tanah air, bangsa dan bahasa Indonesia adalah cinta yang bisa dimanifestasikan dimana pun manusia Indonesia tinggal. Di pelosok bagian mana pun orang Indonesia berdiam dia tidak akan melupakan sumpahnya untuk berkarya yang terbaik demi kejayaan tanah airnya, membawa nama harum bangsanya, dan tidak melupakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dengan tetap berusaha menguasainya dengan baik dan meneruskannya pada anak cucunya. Inilah Sumpah Pemuda di Era global. 

Akhirnya, kepada seluruh Pemuda Indonesia saya ucapkan Selamat Datang di Kampung Global dan tetaplah  membawa gelora Sumpah Pemuda dimanapun kamu berada ! 

Untuk menguatkan rasa cinta kita pada Indonesia mari kita klik MERAH PUTIH  ini

Gambar: baguspemudaindonesia.blogdetik.com  dan love-indonesia-full.blogspot.com         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar