Selasa, 04 Desember 2012

Etika Administrasi Negara dan Rasa Keadaban Publik : Belajar dari Kasus Bupati Garut


Media massa – elektronik dan internet – saat ini tengah dapat umpan segar yang seksi untuk dieksploitasi :  kasus kawin siri Bupati Garut yang hanya bertahan empat hari dan diakhiri talak cerai melalui sms dengan alasan yang terkesan melecehkan perempuan.  Perilaku Bupati Garut ini memancing hujatan, makian, sumpah serapah , protes dan penghakiman publik  bahkan sampai Presiden pun berkomentar negatif terhadap kasus ini.

Mendagri Gamawan Fauzi menilai tindakan Bupati Garut tersebut lebih  merupakan pelanggaran etika. Pertama, dia nikah tanpa pencatatan. Kedua, dia menceraikan begitu saja. Seorang pemimpin semestinya jadi contoh. Beliau adalah figur, orang nomor satu, pemimpin Garut, harus patuh dan taat undang-undang. Gamawan menambahkan, dalam sumpah janji kepala daerah, Aceng jelas memiliki kewajiban taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat 2 yang menyatakan setiap perkawinan harus dicatatkan. Berarti bagi yang tidak mencatatkan tidak taat pada undang-undang. Selain melanggar etika pegawai, Aceng juga dilaporkan ke lembaga perlindungan perempuan pada akhir November 2012 karena dituduh melakukan pelecehan terhadap perempuan di bawah umur. Pernikahan siri terjadi 14 Juli 2012, sementara mantan istri sirinya lahir pada Oktober 1994. Pernikahan berlangsung pada 14 Juli hingga 17 Juli 2012. Perbuatan Aceng dianggap melanggar Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak. Ia juga dianggap melanggar UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Orang.  (http://www.tempo.co)

Saya tidak ingin mengomentari kasus kawin siri Bupati Garut dari sisi legalitas pernikahan, karena jelas ini akan mengundang kontroversi dan perdebatan yang tidak ada titik temunya. Saya ingin mengupas kasus ini dari kaca mata etika administrasi negara dan rasa keadaban publik. 

Dari sisi etika administrasi negara, pernyataan Gamawan Fauzi telah dengan gamblang menjelaskan etika apa yang telah dilanggar Bupati Garut. Peraturan Pemerintah  No. 42 Th. 2004 Tentang  Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS secara detail menyebutkan etika profesi, organisasi, sosial dan personal PNS maupun birokrat. Dalam etika profesi (pasal 9) antara lain disebutkan kewajiban untuk menjunjung penghormatan terhadap hak asasi manusia, tidak diskriminatif dan bermoral tinggi. Sedangkan etika personal (pasal 11) mewajibkan aparatur negara untuk menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga serta berpenampilan sederhana, rapih, dan sopan.

Dinilai dari kode etik aparat publik, perilaku dan ucapan Bupati Garut jelas tidak mencerminkan seorang pejabat publik yang bermoral tinggi , menghargai martabat atau hak manusia (khususnya perempuan) , sederhana, sopan, dan mampu menjaga keutuhan keluarga. Perselingkuhan atau menikah siri atau tidak tercatat secara hukum negara, bagi masyarakat umum yang bukan aparat negara adalah merupakan privasi atau urusan pribadi atau keluarga, yang publik tidak berhak untuk menghakimi. Namun, kalau ini dilakukan oleh pejabat publik urusannya tidak lagi ranah privat tapi menjadi public domain. Mengapa demikian? Karena ideologi pelayanan publik (Gerald Caiden,1982) menyebutkan bahwa lembaga pemerintah merupakan lembaga kepercayaan publik yang digunakan untuk kepentingan publik dan bukan untuk kepentingan pribadi atau sekelompok orang. Oleh karena itu, aparat negara terlebih pejabatnya merupakan perwujudan dari kebaikan publik atau menjadi representasi dari sifat-sifat baik yang didambakan publik : pekerja keras, jujur, adil, bijaksana, dan dapat dipercaya janji dan ucapannya atau memiliki integritas.

Terus apa yang salah atau etika apa yang dilanggar  oleh seorang PNS atau pejabat publik yang menikah lagi atau poligami? Bukankah menikah lagi - sekali pun secara siri -  itu lebih bermoral ketimbang selingkuh? Pertanyaan atau gugatan moral semacam ini yang sering dilontarkan terhadap praktek poligami dan nikah siri. Kembali lagi bahwa PNS atau pejabat publik adalah simbol kebaikan publik atau panutan masyarakat. Dan secara rasa atau bahasa Jawanya diroso-roso dan dinalar  dengan tidak hanya pakai otak tapi juga pakai hati nurani....dengan dalih apa pun bahkan dibungkus dan dilegitimasi dengan dalil apa pun.... tetap saja rasa keadaban kebanyakan masyarakat Indonesia belum atau bahkan sulit untuk menerima praktek poligami apalagi melalui pernikahan siri.  Singkatnya masyarakat  Indonesia masih monogami-oriented sehingga memiliki rasa keadaban yang sulit untuk menerima praktek atau perilaku semacam ini. Apa pun alasannya, masyarakat cenderung memvonis orang yang menikah lagi sebagai orang yang tidak setia dan tega menyakiti istri pertamanya yang sah. Orang tidak mau tahu apapun faktor pendorong pernikahan poligami. Orang kebanyakan yang berpoligami saja dihujat habis-habisan, apalagi kalau itu dilakukan oleh pejabat negara atau tokoh masyarakat. 

Dalam kasus Bupati Garut, penghakiman publik semakin keras karena ada ketidakpatutan secara etika sosial  yaitu ada kesan lembaga perkawinan dilecehkan kesakralannya dan dibuat semacam permainan. Menikah siri , merasa tidak cocok , dan  hanya empat hari kemudian diceraikan hanya lewat sms.  Sudah begitu, si pejabat merasa tidak bersalah dan dengan jumawa menyombongkan kegantengan, jabatan dan kekayaan yang dimilikinya. Itu semua disampaikan dan terekspos dengan gamblang di media massa.

Melihat tontonan   ini,  tidak dapat dipungkiri memang ada bau politik yang menyengat kuat. Namun melihat penampilan dan lisan si bupati,  argumen apa lagi yang bisa digunakan untuk membela perilakunya yang jelas-jelas telah melukai rasa keadaban publik ? 

Gambar : ethics-stalinsmoutache. wordpress. com dan zedge.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar