Minggu, 15 Januari 2012

Gelar Akademik : Bungkus atau Isi ?

"What's in a name!  that which we call a rose by any other name would smell as sweet” (William Shakespeare)


Media online saat ini tengah hangat memperbincangkan perang mulut lewat  twitter (twit-war) antara selebritis cantik nan anggun santun Marissa Haque vs Addie MS dan anaknya Kevin Aprillio yang kemudian direspon oleh banyak selebriti termasuk Tifatul Sembiring, Effendi Gazhali, Anita Wahid,dll. Twit-war ini -  bermula dari tuduhan terhadap gelar Doktor Marissa Haque yang diduga dibuatkan oleh orang lain (tribunnews.com dan tempo.co/) -  telah  mendorong saya untuk menulis soal makna gelar akademik.  

Gelar akademik , menurut Wikipedia, adalah gelar yang diberikan kepada lulusan pendidikan akademik bidang studi tertentu dari suatu perguruan tinggi. Gelar akademik kadangkala disebut dengan istilahnya dalam bahasa Belanda yaitu titel (dari bahasa Latin titulus). Gelar akademik terdiri dari sarjana (bachelor), magister (master), dan doktor (doctor). Pemberian gelar akademik terkait erat dengan intelektualitas dan keahlian professional yang diharapkan akan ditekuni oleh si pemegang gelar. Sarjana merupakan gelar kesarjanaan Strata 1 (S1). Menurut saya, Strata 1 bukan berarti tingkat keahliannya lebih rendah dari S2 atau S3, namun bidang kerja yang akan dijalani memang membutuhkan tingkat keahlian yang sudah bisa dilaksanakan dengan baik oleh orang dengan pendidikan S1. Adapun Master dan Doktor umumnya disyaratkan minimal dimiliki oleh mereka yang berkarier sebagai dosen atau pengajar di perguruan tinggi. Karena dosen mengemban tugas utama selain mengajar juga harus meneliti untuk mengembangkan ilmu dengan menghasilkan karya-karya  ilmiah, sehingga penguasaan ilmu dan kaidah-kaidah ilmiah akademis benar-benar harus dikuasai. 

Sebagai fenomena sosial, gelar akademik dapat dikatakan merupakan bentuk simbol status baru yang diciptakan seiring tumbuhnya lembaga pendidikan tinggi. Bicara tentang simbol status akan menarik sekali kalau itu dikaitkan dengan orang Indonesia. Saya tidak tahu bagaimana orang luar negeri memaknai gelar kesarjanaan, namun sebagai orang Indonesia ,khususnya orang Jawa, saya mencoba memahami apa makna penting gelar kesarjanaan berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya selama ini. Dulu sebelum ada perguruan tinggi, simbol status yang dianggap bergengsi adalah gelar kebangsawanan, misalnya di Jawa ada Raden Mas dan Raden Ayu dan banyak lagi gelar kebangsawanan lainnya yang saya tidak begitu paham tingkatannya. Orang begitu bangga kalau di depan namanya ada gelar kebangsawanan karena itu menandakan asal usul silsilah, status sosial ekonomi, dan (mestinya) keluhuran budi pekerti yang tinggi yang semuanya ini akan mendatangkan privilege dan penghormatan dari masyarakat. Semua orang tentu menginginkan dihormati dan dipandang dengan kagum dan segan oleh manusia lainnya. Ini manusiawi. Siapa tidak ingin berada di pusat perhatian dan penghormatan banyak orang? 

Bagi orang Indonesia yang sangat gengsi dan status minded, gelar kesarjanaan dapat disamakan dengan gelar kebangsawanan versi baru yang menggantikan gelar kebangsawanan tradisional yang mulai ditinggalkan banyak orang. Gelar kesarjanaan yang seharusnya menjadi sertifikat keahlian yang  diperlukan untuk terjun mengabdi dan berkarya bagi pembangunan bangsa dan Negara , akan mudah disalahgunakan begitu mengalami deviasi pemaknaan menjadi sekedar simbol status dan gengsi. Orang merasa belum percaya diri kalau di depan namanya tidak ada gelar kesarjanaan. Yang belum punya titel sarjana, ingin kuliah untuk mendapat gelar sarjana (S1). Yang sudah punya titel S1 belum puas kalau belum punya S2. Dan yang S2 belum merasa PD kalau belum S3. Orang mengejar titel akademik seringkali tidak memahami apa makna titel itu. Titel sarjana jatuh menjadi sekedar bungkus,  bagian dari kemasan dan citra diri seseorang. Titel sekedar pendongkrak status sosial di masyarakat. Akibatnya banyak orang yang mampu secara ekonomis ingin mengoleksi gelar kesarjanaan demi motif memuaskan ego akan kebanggaan diri. Dengan menjejerkan banyak gelar kesarjanaan di depan dan dibelakang namanya, seolah otomatis orang akan segan dan mengakui kepakaran dan tingkat intelektualitasnya. Saya kira orang sekarang sudah semakin cerdas, gelar Doktor atau Profesor mungkin akan menimbulkan kesan penghargaan pada jumpa pertama, namun selanjutnya penghargaan akan dinilai dari kinerjanya. Orang yang telah menunjukkan hasil kerja yang riil dan teruji akan membuat orang menjadi segan dan mengakui hasil karyanya, bukan di embel-embel titel sarjananya. Apakah orang Solo selama ini menghargai Walikotanya – Pak Jokowi – dari gelar Ir. di depan namanya atau karena kinerjanya? Kita semua bisa menjawab pertanyaan ini.

Karena itu dalam hal pemberian gelar kesarjanaan, Perguruan Tinggi mengemban tugas moral yang berat. Pemberian gelar kesarjanaan dan predikat status kelulusan benar-benar diberikan atas dasar pertimbangan atau kriteria yang ketat dan tepat sehingga gelar dan status kelulusan yang diberikan itu sungguh-sungguh merepresentasikan penguasaan ilmu, keahlian, dan profesionalitas yang dimiliki. Persoalannya, penilaian standard penguasaan ilmu selama ini lebih dititikberatkan pada penguasaan hard skill , yang ini saja belum tentu valid. Padahal gelar kesarjanaan mestinya tidak hanya merepresentasikan tingkat kepakaran, tapi juga kecerdasan emosional dan budi pekerti. Semestinya  gelar kesarjanaan itu menggambarkan isi, bukan sekedar kemasan atau bungkus. Seorang dengan gelar kesarjanaan, terlebih dengan strata tertinggi Doktor atau S3 mestinya menunjukkan kemampuan berkomunikasi , berdebat atau cara berbahasa yang elegant, bijaksana dan santun. Jangan sampai perguruan tinggi hanya mencetak tukang atau ahli-ahli atau pakar yang begitu dia ngomong atau berdiskusi di forum publik yang muncul adalah pribadi-pribadi yang narsis yang hanya bicara seputar keunggulan diri sendiri dengan merendahkan orang lain dan kalau terpojok dalam berdebat terus melancarkan strategi ad hominem. Penguasaan soft skill harus menjadi komponen utama dalam standard penilaian kelulusan kesarjanaan dan ini menjadi pekerjaan rumah yang harus serius dipikirkan oleh lembaga pendidikan tinggi. 

Jangan sampai liberalisasi dan privatisasi Perguruan Tinggi membawa kepada McDonalisasi Perguruan Tinggi yang membuka kesempatan seluas-luasnya bagi banyak orang yang mampu membayar untuk mendapatkan gelar kesarjanaan dengan cara mudah, terlebih kalau pembeli itu adalah public figure.  Semoga saja tidak demikian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar