Selasa, 26 Juli 2011

Fashion : Membebaskan atau Menindas Perempuan ?

Your clothes conceal much of your beauty, yet they hide not the unbeautiful (Kahlil Gibran)
 

Fashion menunjuk pada  gaya berbusana yang meliputi pakaian, alas kaki, dan aksesoris yang menjadi mode atau trend atau cara berbusana dan berdandan yang dianggap indah menurut cita rasa suatu kelompok atau komunitas.
Bagi manusia, pakaian tidak hanya mempunyai nilai fungsional (untuk melindungi tubuh dari cuaca dingin dan panas atau ancaman binatang buas).  Pakaian dan aksesoris yang dikenakan manusia merupakan simbol identitas gender, agama,  dan status sosial.  Pakaian bisa juga menjadi alat ekspresi diri. Baju  hitam , misalnya, biasa dikenakan orang yang sedang kesusahan. Model dan cara berpakaian juga bisa dijadikan media untuk mengekspresikan pemberontakan pada kemapanan atau semangat untuk lepas dari keseragaman . Ini biasa dilakukan oleh kelompok yang anti kemapanan seperti komunitas punk dan para seniman . Bagi masyarakat adat atau kelompok religius, pakaian mempunyai nilai sakral dan suci karena menjadi bagian dari ritual adat atau ibadah agama. Misalnya, baju hitam orang Badui, kain kotak-kotak putih dan hitam orang Bali, atau jilbab wanita muslimah dan kerudung biarawati.
Ternyata pakaian itu di tangan manusia bisa menjadi sangat rumit dan politis.
Pakaian dan aksesorisnya menjadi semakin kompleks  pabila dilekatkan ke tubuh perempuan. Busana bagi perempuan tidak akan pernah hanya sebagai selembar kain penutup tubuh. Pakaian perempuan sarat dengan berbagai simbol yang disitu melekat banyak sekali nilai.  Pakaian yang menempel di tubuh perempuan merupakan representasi banyak kepentingan : status sosial, ekonomi, politik, norma, etika dan estetika. Banyaknya simbol dan nilai yang dilekatkan pada busana perempuan menjadikan fashion dan tubuh perempuan menjadi perdebatan yang tidak ada matinya.
Sejarah mencatat betapa tubuh perempuan menanggung beban berat karena simbol-simbol yang dilekatkan kepadanya. Penggunaan korset pada zaman Victoria di Inggris, pengecilan kaki (foot binding) di Cina atau gelang-gelang leher perempuan suku Karen di Thailand menjadi bukti nyata sejarah penindasan fashion kepada kaum perempuan atas nama kepentingan identitas , status sosial ataupun kecantikan (Wikipedia).
Mode pakaian perempuan pada zaman Victoria memaksa perempuan menyiksa tubuhnya dengan mengenakan korset  agar pinggangnya kelihatan ramping sehingga mode baju yang trend saat itu semakin kelihatan indah. 


Foot binding di Cina mulai dipraktekkan sejak abad 10 hingga tahun 1900an. Pengecilan telapak kaki perempuan dilakukan dengan mengikat kuat telapak kaki hingga menekuk ke tumit yang dilakukan sejak anak berumur sekitar 5 tahun. Proses ini sangat menyakitkan dan berlangsung hampir sepanjang hidup seorang perempuan. Foot binding  diberlakukan bagi perempuan dari keluarga kaya dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa mereka nantinya tidak akan melakukan pekerjaan kasar (manual). Kaki yang kecil dianggap indah dan membuat gerakan perempuan menjadi lebih feminin serta anggun , terlebih lagi apabila kaki kecil itu mengenakan sepatu sutera yang sangat indah.
Lain lagi ukuran kecantikan perempuan suku Karen di Thailand. Perempuan Karen yang cantik adalah perempuan dengan leher yang panjang seperti jerapah dan untuk membentuk leher yang panjang pada leher perempuan dilekatkan gelang-gelang besi yang jumlahnya semakin lama semakin bertambah banyak. 


Yang lebih ekstrim lagi adalah ukuran kecantikan suku Mursi di Sudan Afrika. Cantik bagi orang Mursi dicirikan oleh mulut yang lebar sehingga bisa untuk tempat meletakkan piring. Proses untuk membentuk mulut yang lebar itu sama menyakitkannya dengan proses membentuk kaki yang kecil di Cina. Perempuan dengan mulut yang lebar akan dihargai tinggi oleh laki-laki yang akan melamarnya sehingga menguntungkan orang tuanya (Wikipedia)
Benar sekali ungkapan yang menyatakan “Beauty is in the eye of the beholder”, ukuran cantik itu bisa sangat subyektif tergantung pada selera mata dan hati orang yang melihatnya. Bagaimana bisa kaki yang dibuat cacat justru menandakan status sosial yang tinggi, leher yang seperti jerapah dan mulut yang tidak “umum” justru dibilang cantik. Manusia memang makhluk yang unik dan aneh !
Mungkin ada yang berpendapat bahwa praktek menyiksa diri untuk memperoleh sebutan cantik itu hanya dipraktekkan oleh masyarakat suku primitif. Ternyata perkiraan ini tidak benar. Praktek yang sama ternyata juga ditempuh oleh para perempuan modern dan berpendidikan tinggi. Operasi plastik atau suntik silicon untuk mendapatkan wajah dan tubuh yang cantik dan indah adalah bagian dari gaya hidup wanita kaya zaman sekarang. Bahkan manipulasi untuk mempermak bagian-bagian tubuh agar menjadi “cantik” di zaman ini semakin canggih. Banyak perempuan yang rela kesakitan demi mendapatkan “kecantikan” yang diidamkan. Tentang aksesoris bahkan bisa lebih gila lagi. Coba lihat koleksi sepatu Lady Gaga ini.


Ternyata dalam hal fashion sesungguhnya pada dasarnya semua perempuan itu sama nalurinya, tidak ada banyak perubahan pada perempuan zaman Victoria hingga zaman Lady Gaga. Yang membedakan hanya di bentuk simbol-simbol kecantikannya saja. Kalau demikian halnya, apakah fashion itu menjadi symbol ekspresi kebebasan atau justru sebaliknya malahan membelenggu dan menindas perempuan ?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar