Media massa –
elektronik dan internet – saat ini tengah dapat umpan segar yang seksi untuk
dieksploitasi : kasus kawin siri Bupati
Garut yang hanya bertahan empat hari dan diakhiri talak cerai melalui sms dengan
alasan yang terkesan melecehkan perempuan. Perilaku Bupati Garut ini memancing hujatan,
makian, sumpah serapah , protes dan penghakiman publik bahkan sampai Presiden pun berkomentar negatif
terhadap kasus ini.
Mendagri Gamawan Fauzi
menilai tindakan Bupati Garut tersebut lebih merupakan pelanggaran etika. Pertama, dia
nikah tanpa pencatatan. Kedua, dia menceraikan begitu saja. Seorang pemimpin
semestinya jadi contoh. Beliau adalah figur, orang nomor satu,
pemimpin Garut, harus patuh dan taat undang-undang. Gamawan menambahkan, dalam
sumpah janji kepala daerah, Aceng jelas memiliki kewajiban taat pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, termasuk Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 Pasal 2 ayat 2 yang menyatakan setiap perkawinan harus dicatatkan. Berarti
bagi yang tidak mencatatkan tidak taat pada undang-undang. Selain melanggar
etika pegawai, Aceng juga
dilaporkan ke lembaga perlindungan perempuan pada akhir November 2012 karena
dituduh melakukan pelecehan terhadap perempuan di bawah umur. Pernikahan siri
terjadi 14 Juli 2012, sementara mantan istri sirinya lahir pada Oktober 1994.
Pernikahan berlangsung pada 14 Juli hingga 17 Juli 2012. Perbuatan Aceng
dianggap melanggar Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan
Anak. Ia juga dianggap melanggar UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan
Orang. (http://www.tempo.co)
Saya tidak ingin
mengomentari kasus kawin siri Bupati Garut dari sisi legalitas pernikahan, karena jelas ini
akan mengundang kontroversi dan perdebatan yang tidak ada titik temunya. Saya ingin
mengupas kasus ini dari kaca mata etika administrasi negara dan rasa keadaban
publik.
Dari sisi etika
administrasi negara, pernyataan Gamawan Fauzi telah dengan gamblang menjelaskan
etika apa yang telah dilanggar Bupati Garut. Peraturan Pemerintah No. 42 Th. 2004
Tentang
Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS secara detail menyebutkan etika
profesi, organisasi, sosial dan personal PNS maupun birokrat. Dalam etika
profesi (pasal 9) antara lain disebutkan kewajiban untuk menjunjung penghormatan terhadap hak asasi manusia,
tidak diskriminatif
dan bermoral tinggi.
Sedangkan etika personal (pasal 11) mewajibkan aparatur negara untuk menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga
serta berpenampilan
sederhana, rapih, dan sopan.
Dinilai
dari kode etik aparat publik, perilaku dan ucapan Bupati Garut jelas tidak
mencerminkan seorang pejabat publik yang bermoral tinggi , menghargai martabat
atau hak manusia (khususnya perempuan) , sederhana, sopan, dan mampu menjaga keutuhan keluarga. Perselingkuhan
atau menikah siri atau tidak tercatat secara hukum negara, bagi masyarakat umum
yang bukan aparat negara adalah merupakan privasi atau urusan pribadi atau
keluarga, yang publik tidak berhak untuk menghakimi. Namun, kalau ini dilakukan
oleh pejabat publik urusannya tidak lagi ranah privat tapi menjadi public
domain. Mengapa demikian? Karena ideologi pelayanan publik (Gerald Caiden,1982)
menyebutkan bahwa lembaga pemerintah merupakan lembaga kepercayaan publik yang
digunakan untuk kepentingan publik dan bukan untuk kepentingan pribadi atau
sekelompok orang. Oleh karena itu, aparat
negara terlebih pejabatnya merupakan perwujudan dari kebaikan publik atau
menjadi representasi dari sifat-sifat baik yang didambakan publik : pekerja
keras, jujur, adil, bijaksana, dan dapat dipercaya janji dan ucapannya atau
memiliki integritas.
Terus
apa yang salah atau etika apa yang dilanggar oleh seorang PNS atau pejabat publik yang menikah
lagi atau poligami? Bukankah menikah lagi - sekali pun secara siri - itu lebih bermoral ketimbang selingkuh? Pertanyaan
atau gugatan moral semacam ini yang sering dilontarkan terhadap praktek poligami
dan nikah siri. Kembali lagi bahwa PNS atau pejabat publik adalah simbol
kebaikan publik atau panutan masyarakat. Dan secara rasa atau bahasa Jawanya diroso-roso dan dinalar dengan tidak hanya pakai otak tapi juga pakai
hati nurani....dengan dalih apa pun bahkan dibungkus dan dilegitimasi dengan
dalil apa pun.... tetap saja rasa keadaban kebanyakan masyarakat Indonesia
belum atau bahkan sulit untuk menerima praktek poligami apalagi melalui pernikahan
siri. Singkatnya masyarakat Indonesia masih monogami-oriented sehingga memiliki rasa keadaban yang sulit untuk menerima
praktek atau perilaku semacam ini. Apa pun alasannya, masyarakat cenderung
memvonis orang yang menikah lagi sebagai orang yang tidak setia dan tega
menyakiti istri pertamanya yang sah. Orang tidak mau tahu apapun faktor
pendorong pernikahan poligami. Orang kebanyakan yang berpoligami saja dihujat
habis-habisan, apalagi kalau itu dilakukan oleh pejabat negara atau tokoh
masyarakat.
Dalam kasus Bupati Garut, penghakiman publik semakin keras karena
ada ketidakpatutan secara etika sosial yaitu ada kesan lembaga
perkawinan dilecehkan kesakralannya dan dibuat semacam permainan. Menikah siri
, merasa tidak cocok , dan hanya empat
hari kemudian diceraikan hanya lewat sms. Sudah begitu, si pejabat merasa tidak bersalah
dan dengan jumawa menyombongkan kegantengan, jabatan dan kekayaan yang
dimilikinya. Itu semua disampaikan dan terekspos dengan gamblang di media
massa.
Melihat
tontonan ini, tidak dapat dipungkiri memang ada bau politik
yang menyengat kuat. Namun melihat penampilan dan lisan si bupati, argumen apa lagi yang bisa digunakan untuk
membela perilakunya yang jelas-jelas telah melukai rasa keadaban publik ?
Gambar : ethics-stalinsmoutache. wordpress. com dan zedge.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar