Inside myself is a place where I live all alone, and that's where I renew my springs that never dry up. ~Pearl Buck
Nowhere can man find a quieter or more untroubled retreat than in his own soul. ~Marcus Aurelius
Privasi atau kondisi yang bebas dari pengamatan dan gangguan orang lain merupakan salah satu keadaan yang dijamin dalam perlindungan Hak Asasi Manusia. Privasi adalah kemampuan seorang individu atau kelompok untuk mengasingkan diri mereka atau melindungi informasi tentang diri mereka agar tidak dikonsumsi public. Privasi kadang-kadang terkait dengan anonimitas, keinginan untuk tak dikenal di ranah publik. Privasi biasanya menyangkut sesuatu yang bersifat sangat pribadi atau hal yang sensitif. Sedangkan privasi fisik dapat didefinisikan sebagai mencegah penyusupan ke dalam ruang fisik seseorang atau kesendirian atau mencegah akses tidak sah ke rumah seseorang. (Wikipedia).
Privasi terkesan sangat individualis karena erat berkaitan dengan hak-hak pribadi individu yang tidak boleh diganggu orang lain sehingga privasi dianggap konsep yang sangat Barat. Meskipun makna atau hal-hal apa saja yang masuk dalam privasi bisa berbeda-beda di tiap-tiap budaya, namun ada hal-hal substansial yang universal misalnya menyangkut privasi fisik. Setiap orang ingin dirinya secara fisik terlindungi dari gangguan orang-orang yang tidak dikenal, ingin agar wilayah tempat tinggal pribadinya tidak dimasuki sembarang orang, ingin aktivitas pribadinya tidak diganggu orang yang tidak dikenal.
Di masyarakat tradisional dimana atas nama kebersamaan orang merasa berhak dan wajib tahu apa dan bagaimana orang lain , bukan sekedar karena keusilan atau ingin tahu urusan orang lain namun lebih karena keperdulian dan ketertiban sosial, privasi akan dilihat sebagai bentuk perilaku sombong. Orang yang menutup keingintahuan tetangga akan apa yang berlangsung di dalam rumahnya, siapa orang yang datang ke rumahnya, siapa kekasihnya, dan membatasi akses tetangga untuk dolan ke rumahnya akan dipandang aneh, asosial sehingga dikucilkan dari interaksi sosial warga. Menuntut privasi di komunitas pedesaan yang bertahun-tahun hidup dalam interaksi yang guyup, yang orang-orangnya lahir, tumbuh dewasa sampai tua disitu sehingga mengenal dengan jelas satu sama lain , wajar kalau dianggap aneh.
Berbeda halnya dengan masyarakat urban atau pinggiran kota, seperti saya yang tinggal di perumahan yang terbuka bebas untuk dimasuki siapa pun, privasi itu menjadi sangat penting. Orang-orang tidak diundang yang biasa mengganggu sangat banyak mulai dari pengamen dan pengemis yang di hari-hari tertentu jumlahnya bisa sampai 10 orang per hari. Yang bikin jengkel bukan jumlah uang yang diminta, tapi bolak-balik ngasih receh itu yang bikin senewen, yah terpaksa cari aman tutup pintu. Pengganggu lainnya adalah sales yang sekarang ini kurang ajarnya minta ampun, nawarkan produk secara memaksa. Apakah memang mereka ini dilatih teknik pemasaran yang coersive dan manipulatif semacam itu oleh trainernya. Yang bikin emosi pintu sudah ditutup rapat , mereka berani mengetuk pintu atau pencet bel. Penganggu lainnya lagi adalah para penjual makanan yang sekarang ini pada keliling naik sepeda motor mulai dari jual yakult, susu segar, sayuran, lauk pauk dll. Sekali saya beli barang jualan mereka terus dicatat sebagai pelanggan alias harus siap setiap saat ditawari dan kalau pintu tertutup siap membukakan pintu karena mereka tak segan untuk mengetuk pintu atau kalau pagar tertutup mereka siap dengan mulutnya teriak kencang-kencang memanggil nama yang punya rumah : “ Bu Polan….Bu Polan…ya***tnya bu”. “ Bu Joko….Bu Joko.susu segarnya bu” . Yang bikin panas hati , terkadang mereka ini datang tak tahu waktu seperti saat jam tidur siang. Huh…benar-benar bikin suueebel ! Kalau sudah begini kadang pengin pindah di perumahan model cluster yang dipagari dan ada satpamnya itu. Tapi kalau tinggal di kompleks semacam itu , kalau sore bisa ngrumpi dan ketawi-ketiwi bareng ibu-ibu seperti yang selama ini kadang aku lakukan nggak ya? Apa bisa kalau pas kehabisan bumbu dapur langsung minta ke tetangga? Kalau tiap orang tersekat-sekat dan sibuk di cangkang (rumah)nya masing-masing terus tidak bisa sekedar duduk-duduk ngobrol dan ketawa bareng-bareng , bisa-bisa saya disitu jadi cepat linglung. Selain itu, apa ya mereka yang tinggal di rumah dengan pengamanan canggih : ada satpam, CCTV, pagar tembok seperti benteng terus dijamin keamanan dan privasinya?
Saya jamin jawabnya pasti tidak. Karena ancaman terhadap privasi saat ini tidak hanya secara fisik yang nyata dan riil tapi juga bisa lewat dunia maya lewat tehnologi komunikasi. Rumah yang kayak benteng mungkin susah diakses sales atau pedagang keliling atau pengamen dan pengemis, namun jelas tidak bagi sales yang menawarkan produknya lewat telepon, sms, atau internet. Berita yang hangat di media massa tentang penipuan dan penyedotan pulsa lewat telepon dan HP membuktikan betapa privasi di abad digital, abad internet menjadi sesuatu yang susah didapatkan. Ancaman terhadap privasi di era internet tidak sekedar menyangkut privasi fisik tapi juga terhadap kerahasiaan informasi atau data pribadi. Sekarang ini data pribadi apa yang tidak bisa dicari lewat internet. Setiap orang pasti memiliki paling tidak satu kartu identitas, kalau informasi tentang identitas itu disimpan dan dipublikasikan lewat internet jelas siapa saja akan bisa memanfaatkan data pribadi itu untuk tujuan apa saja. Terlebih lagi saat ini banyak orang yang demam facebook, coba kita lihat apa yang ditampilkan disitu – mereka tidak segan-segan menampilkan identitas pribadi dan koleksi fotonya.
Masyarakat Barat dikenal sangat memandang tinggi perlunya perlindungan privasi. Mereka sadar betul akan hak-hak menyangkut perlindungan privasinya karena itu mereka juga menyadari kewajiban untuk menghargai privasi orang lain. Penghargaan pada privasi orang lain inilah yang nampaknya belum menjadi etika perilaku kita. Secara teknologi kita tidak ketinggalan dengan masyarakat maju, tapi aplikasi tehnologi ini tidak diikuti dengan perubahan mind set atau cara berpikir dan perilaku. Akibatnya, tehnologi apa pun yang diaplikasikan tidak akan dapat lepas dari warna kultur Indonesia. Orang Indonesia yang senang bergaul, bersosialisasi, dan ngobrol dengan adanya facebook, twitter, dll - dalam bahasa Jawa - seperti “tumbu oleh tutup” atau panci ketemu tutupnya alias pas dan klop banget. Segala macam tetek bengek dicurhatkan di dunia maya. Mereka tidak menyadari ada wilayah privasi yang tidak patut untuk dipublikasikan. Tidak adanya pemahaman akan apa itu privasi nampak nyata dari apa yang dicurhatkan orang di facebook atau blog.
Di sisi lain kesadaran akan penghargaan pada privasi orang lain juga kurang. Akibatnya, mereka tak ubahnya orang yang usil melanggar privasi orang seenaknya dengan memanfaatkan tehnologi. Seperti waktunya jam istirahat siang nelpon rumah orang untuk nawarkan dagangan atau meraup keuntungan dengan melakukan penipuan lewat HP. Kejadian lucu yang baru saja aku alami pas siang-siang telepon rumah berdering pas diangkat ada suara laki-laki yang mengaku dulu tetanggaku yang sekarang katanya tinggal di Papua Barat, tapi dari nada suaranya aku nggak yakin kalau tidak kenal orang ini. Pertama-tama penelepon ini tanya kabar keluargaku setelah basi basi sebentar akhirnya dia cerita kalau sekarang dia sudah sukses sudah lulus S2 dan kerja di Dinas Kesehatan, tapi di usia 30an dia itu bingung karena masih jomblo dan dia minta tolong saya untuk mencarikan jodoh. Dia tanya apa saya punya saudara, keponakan atau kenalan yang masih usia 30an yang bisa dijadikan istri. Aku nerima telpon itu sambil nahan ketawa. Ada-ada saja opo tumon (bahasa Indonesianya apa ya?) kenal aja nggak eh jauh-jauh dari Papua ada orang yang curhat bingung masih jomblo dan pengin cepat punya istri. Memangnya saya buka biro jodoh?. Aya-aya wae. Kejadian ini menimbulkan pertanyaan di benak saya : darimana orang itu tahu nama, alamat dan nomor telepon saya? Jawabnya darimana lagi kalau bukan dari internet. Saya tidak punya facebook yang bisa untuk melacak data pribadi, demikian juga blog saya tidak secara detail menampilkan identitas saya. Satu-satunya web yang biasa menampilkan data pribadi secara detail adalah kantor atau tempat kerja. Jadi dapat dipastikan dari situlah orang bisa tahu apa dan siapa seseorang. Menampilkan profil sumber daya manusia untuk kepentingan pencitraan lembaga saat ini sudah menjadi hal yang lazim dan sepanjang data profil itu dimanfaatkan untuk tujuan positif nggak jadi masalah , yang ditakutkan kalau dari data itu ada orang yang berniat tidak baik atau paling tidak timbul niat usil contohnya menelepon sekedar untuk curhat minta tolong dicarikan istri.
Berbagai problem yang muncul terkait persoalan privasi di era internet membuktikan kebenaran teori Karl Marx yang menyatakan bahwa infrastruktur berkembang lebih cepat ketimbang suprastrukturnya. Tehnologi berkembang lebih cepat tanpa diiringi perkembangan cara pikir, nilai dan perilaku yang kompatibel dengan kemajuan tehnologi tersebut. Melihat begitu kompleksnya dampak sosial dari interaksi manusia lewat tehnolgi internet hal yang mendesak untuk dipikirkan bersama adalah menetapkan aturan atau hukum yang dapat menekan peluang kejahatan virtual dan juga membangun nilai dan kelembagaan yang bisa menopang bentuk interaksi manusia di dunia maya.
Dari ulasan ngalor ngidul tentang privasi ini, akhirnya saya menyimpulkan di abad virtual tempat atau wilayah pribadi yang tidak akan terjamah oleh gangguan apa pun adalah ketenangan di batin atau jiwa manusia sebagaimana bunyi kata-kata bijak yang saya kutip di awal tulisan ini....inside myself is a place where I live all alone. Dengan membangun privasi di jiwa, membangun batin yang bersih, kita tidak akan pernah merasa terganggu ataupun takut dengan ancaman apa pun. Pikiran dan hati yang bersih adalah pengusir yang ampuh bagi gangguan jiwa, sehingga kita tidak akan terintimidasi oleh bentuk kontrol apa pun . Kontemplasi dan meditasi akan mencegah kita menjadi sebagaimana tergambar dalam VIDEOKLIP INI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar