Beberapa hari ini saya harus siap memalingkan muka saat melihat berita TV . Gambar visual yang mata saya tidak ingin lihat adalah pembunuhan – atau tepatnya asasinasi (assassination) - pemimpin Libya Moammar Khadafi yang ditayangkan secara vulgar oleh banyak TV di berbagai negara termasuk Indonesia . Saya tidak tahu apa yang ada di hati rakyat Libya sehingga mereka begitu bencinya pada presidennya sampai tega membuat antrian panjang di sebuah mall hanya ingin melihat dan mengabadikan jasadnya yang dipertontonkan dalam kondisi yang mengenaskan. Terlepas dari semua kisah tentang kekejaman Khadafi pada musuh atau rakyat yang mengkritisinya, namun tetap saja miris dan sedih melihat cara dia dibunuh dan jenasahnya dinistakan begitu rupa.
Assasination atau pembunuhan terhadap figure publik khususnya penguasa politik , bukan lah hal baru. Di dalam catatan sejarah peradaban masyarakat dimana pun di dalamnya pasti ditemukan kisah pembunuhan yang mewarnai perebutan kekuasaan. Berapa banyak terjadi assasinasi dalam sejarah perebutan kuasa raja-raja Jawa? Kita semua pasti pernah mendengar tentang keris Empu Gandring yang telah mencabut nyawa beberapa Raja di Jawa . Di Amerika Serikat ada kisah assasinasi Abraham Lincoln dan John F.Kennedy atau penembakan Ronald Reagan. Di Perancis ada eksekusi sadis Raja Louis XVI dan permaisurinya Marie Antoinette melalui pisau guillotine. Pada saat runtuhnya komunisme, ada peristiwa pembunuhan Presiden Rumania – Nicolae Ceausescu yang dieksekusi oleh rakyatnya sendiri. Di Pakistan , mantan PM Zulfikar Ali Bhuto dibunuh di tiang gantungan.
Ada banyak motif dibalik pembunuhan seorang penguasa politik , bisa itu karena persaingan untuk merebut tampuk kekuasaan atau karena kebencian. Kalau kita baca dari catatan sejarah dapat ditemui adanya latar belakang pemicu yang sama dibalik eksekusi penguasa politik oleh rakyatnya yakni penguasa yang lalim dan haus kekuasaan, berkuasa dalam waktu lama dan bersikeras tetap mempertahankan kekuasaannya dengan cara-cara yang kejam, serakah yang ditandai oleh korupsi yang tinggi memperkaya diri sendiri dan keluarga atau orang-orang dekatnya, di sisi lain rakyat hidup dalam penderitaan karena kemiskinan dan ketakutan. Pemimpin semacam ini pada akhir tampuk kekuasaan dieksekusi oleh rakyatnya sendiri, contohnya antara lain Louis XVI dan Nicolae Ceausescu.
Di Timur Tengah kisah asasinasi penguasa politik mempunyai sejarah yang panjang. Sejarah paling tua bisa dibaca di Kitab Perjanjian Lama yang merupakan kitab suci agama Yahudi dan juga menjadi salah satu bagian dari kitab suci agama Kristen. Disitu diceritakan tentang kisah Raja Saul yang bertekad mempertahankan kekuasaannya dengan berbagai macam cara dan menolak menyerahkannya kepada Daud yang lebih diterima rakyat dan Tuhan sebagai Raja Israel. Kisah ini diakhiri dengan terbunuhnya Raja Saul. Di era modern ini sebelum Khadafi telah terjadi eksekusi Saddam Husein di tiang gantungan. Keduanya adalah figur penguasa yang otoriter dan represif. Mereka berdua nampaknya bukan pemimpin yang mampu merebut hati rakyatnya, bukan pemimpin yang dicintai rakyatnya terbukti kematian mereka disambut dengan euphoria (banyak gambar di internet melukiskan kegembiraan ini) bahkan mereka tega mengabadikan kematian pemimpinnya dalam kondisi yang tidak manusia, nampaknya tidak ada sedikitpun rasa hormat pada mantan presiden mereka. Mengapa rakyat Libya begitu membeci Khadafy dan menginginkan kematiannya? Abdulatid, seorang pilot, memberi jawaban ini :
Apa yang akan dia katakan terhadap para ibu yang anak-anaknya telah dia bunuh dan juga kepada para perempuan korban pemerkosaan? Jika diberikan kesempatan menghadiri pengadilan, dia akan bisa hidup mewah di Swiss dan kemungkinan dia akan diberi hukuman 10 tahun pertama. Jadi dia lebih baik tiada” (Kompas, 23 Oktober 2011)
Apa pun alasan yang menjadi argumentasi dilakukannya pembunuhan Khadafy, tetap saja saya tidak bisa menerima itu sebagai pembenaran untuk mencabut nyawa manusia . Kalau pun untuk mengakhiri kekuasaan Khadafy hanya dengan satu cara – membunuhnya, tidakkah ada cara lain yang lebih bermartabat? Yang lebih keterlaluan lagi , setelah berhasil dibunuh kenapa harus ditambah lagi dengan perlakuan yang benar-benar tidak beradab. Bagaimana pun Khadafy adalah manusia ciptaanNya yang jenazahnya sudah selpantasnya diperlakukan selayaknya manusia, binatang yang mati diperlakukan sebagai tontonan saja saya tidak tega apalagi ini manusia. Dan lebih parahnya lagi, media seperti ikut andil dalam menyebarkankan tontonan barbar ini. Saya jadi bertanya : apakah media tidak tahu dengan mempertontonan adegan kekerasan ini berarti memperpanjang siklus kekerasan? Tidakkah ini menanamkan kebencian dan dendam di hati keluarga dan pendukung Khadafy? Sungguh eksekusi Khadafy bukan merupakan cara yang baik untuk memulai tatanan politik baru.
Melihat proses peralihan kekuasaan di Libya dan tragisnya kematian Khadafy, saya menjadi bersyukur bahwa bangsa Indonesia masih memperlakukan mantan Presiden Soeharto dengan sangat baik dan terlepas dari segala kesalahan selama pemerintahannya , beliau meninggal dalam kondisi terhormat. Peristiwa pembunuhan Khadafy hendaknya bisa menjadi hikmah bagi kita semua, kebencian jangan menjadikan kita gelap mata dan merubah kita dari makhluk yang bermartabat menjadi berperilaku tak ubahnya binatang buas. Ataukah memang politik itu bak candu yang mampu membutakan mata hati dan nurani manusia hingga yang bersimaharaja di hati hanya hasrat tuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Kalau politik dimaknai semacam ini, assassination akan selalu berulang dan kekerasan tidak akan pernah bisa diputuskan dari siklus peradaban manusia. Haruskah saya berkesimpulan bahwa kekerasan adalah kutukan bagi manusia ?
Gambar : Kaalchakra.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar