Ada berita di Kompas 6 dan 7 Januari 2013 yang bikin saya
geleng-geleng kepala, bener-bener nggak habis pikir yakni soal ratusan kilogram paku yang ditebar
di jalanan besar di ibukota Jakarta. Paku-paku ini sengaja disebar, di dekat
lokasi tambal ban untuk menjebak pengendara sepeda motor agar terpaksa
menambalkan ban motornya yang kempes. Ranjau paku istilah yang sangat tepat.
Sumber : Kompas, Senin 6 Januari 2013
Fenomena ini sangat menarik dan merangsang munculnya
banyak pertanyaan di benak saya. Kalau hanya satu dua tukang tambal ban yang
tidak jujur dalam mencari nafkah dan hanya beberapa biji paku yang disebar itu
masih sekedar kasus. Tapi kalau paku yang terkumpul sudah ratusan kilo , itu
bukan lagi kasus tapi sudah terrr..laa..luu !! Sudah sedemikian egoiskah mereka hingga menghalalkan segala cara untuk memenuhi hasrat ekonominya ? Mengapa
mereka tega berbuat demikian? Bukankah selama ini orang
Indonesia dikenal dan mengaku sebagai orang yang sangat religius, suka tolong menolong dan bergotong royong , namun mengapa
moralitas sosial dan tanggungjawab publik mereka sangat rendah?
Apa itu moralitas sosial ?
Moralitas sosial berbicara tentang bagaimana kita
memperlakukan sesama, seperti aturan
emas atau golden rule yang mengajarkan “hargailah orang lain sebagaimana dirimu
ingin dihargai“ atau “Perlakukanlah orang lain sebagaimana dirimu ingin
diperlakukan oleh orang lain”. Golden rule ini bersifat universal dalam arti semua manusia
sepakat bahwa penipuan, pencurian dan pembunuhan
adalah tindakan tak bermoral. Sebaliknya, prinsip-prinsip moral yang mengatur
bagaimana orang mengatur diri pribadinya seperti cara beribadah, cara berpakaian,
makan, menikah dan berhubungan seksual merupakan wilayah moralitas personal. There’s far less agreement about this kind
of morality. It’s highly personal. So we call it “personal morality “.
(http://www.downsizedc.org/). Jadi, moralitas sosial lebih berkenaan dengan prinsip-prinsip
yang mengarahkan bagaimana tindakan kita terhadap manusia lainnya sehingga
berdampak langsung terhadap keharmonisan hidup dan kesejahteraan manusia.
Kembali ke kasus ranjau paku, mengapa para tukang
tambal ban rendah sekali moralitas sosialnya sehingga tega mengorbankan orang
lain untuk memenuhi kepentingan pribadinya?
Bagong Suyanto, dosen Sosiologi Unair Surabaya (Kompas.com ) berpendapat “…umumnya alasan bertahan hidup menjadi motivasi para pelaku penebaran paku itu. Mereka merupakan irisan dari komunitas urban yang tidak mampu menaikkan mobilitas, sementara persaingan dan biaya hidup di Ibu Kota kian tinggi. … persoalan itu pertama-tama belum dapat dilihat sebagai persoalan hukum atau moralitas, tetapi persoalan sosial. Pada satu sisi, mereka dapat didudukkan sebagai tersangka, tetapi pada sisi lain mereka adalah kelompok yang tidak mampu berhadapan dengan situasi sosial perkotaan”.
Menurut Bagong Suyanto fenomena ranjau paku lebih dilihat
sebagai persoalan desakan sosial ekonomi, bukan sebagai persoalan hukum atau
moralitas. Tapi tindakan merugikan dan bahkan membahayakan orang lain tetaplah
tidak bisa dibenarkan secara moral, apapun motivasi yang mendorong tindakan
tersebut. Apalagi ranjau paku ini sudah disebar secara terencana dan melibatkan
banyak pelaku. Suatu tindakan yang tidak benar apalagi dilakukan oleh banyak
orang atau suatu komunitas tanpa ada rasa bersalah, maka pasti ada yang tidak
benar di tatanan nilai dan moralitas sosial.
Johan P.Taulani , ketua relawan pengumpul ranjau paku,
mengatakan "Sepanjang 3,2 km
jalan ini (flyover Roxy Mas hingga jalan Hasyim Asyari), saya itung ada 32 tambal ban. Paling yang
jujur cuma 2"
(Kompas.com ). Apa artinya ini? Artinya mayoritas para tukang
tambal ban berpikiran menyebarkan ranjau paku untuk menjaring korban tidak lagi
dianggap tindakan yang jahat. Mereka sudah kebal, sudah imun dari rasa bersalah
atau dosa.
Pertanyaan yang menghantui pikiran saya : apakah terkikisnya moralitas sosial ini hanya terjadi di lapisan masyarakat bawah seperti para tukang tambal ban ? Bagaimana dengan moralitas sosial di profesi terhormat lainnya ?
Bagaimanakah moralitas sosial profesi dokter? Berapa
banyak dokter yang tega mengorbankan pasien demi tuntutan hasrat atau
target-target ekonomi?
Bagaimana dengan aparatur Negara ? Berapa banyak PNS,
pejabat pemerintah, polisi, anggota legislatif yang tega mengorbankan
masyarakat atau konstituen demi memenuhi hasrat akan jabatan, kuasa, dan
kekayaan material?
Bagaimana dengan profesi guru dan dosen ? Berapa
banyak guru dan dosen yang tega mengorbankan murid dan mahasiswa demi ambisi pribadi akan jabatan, pangkat dan
kariernya? (Ini bahan untuk introspeksi saya pribadi)
Banyaknya pejabat negara yang terjerat kasus korupsi adalah bukti nyata cara pikir model para penyebar ranjau paku yakni menyalahgunakan kekuasaan dan kekayaan negara untuk memperkaya diri , keluarga dan kroninya dengan mengorbankan dan merebut hak rakyat untuk mendapatkan kesejahteraan sosial. Dan apabila cara pikir dan perilaku yang sama juga diikuti banyak profesi lainnya, maka dapat dikatakan krisis moralitas sosial tengah melanda bangsa Indonesia.
Banyaknya pejabat negara yang terjerat kasus korupsi adalah bukti nyata cara pikir model para penyebar ranjau paku yakni menyalahgunakan kekuasaan dan kekayaan negara untuk memperkaya diri , keluarga dan kroninya dengan mengorbankan dan merebut hak rakyat untuk mendapatkan kesejahteraan sosial. Dan apabila cara pikir dan perilaku yang sama juga diikuti banyak profesi lainnya, maka dapat dikatakan krisis moralitas sosial tengah melanda bangsa Indonesia.
Kesimpulannya, menipisnya moralitas sosial bisa terjadi di
semua lapisan dan klas dalam masyarakat dan bisa didorong oleh banyak motif.
Tapi yang pasti semua faktor penyebab itu berujung pada satu muara :
Keserakahan.
sy sanawi sebagai wakil semut orange comunity, mengucapkan terima kasih atas tulisan ibu. bila ibu berkenan saya mengetahui banyak tentang ranjau paku di jakarta. yang mana permasalahan ini sudah menyebar ke daerah2 lain. thanks
BalasHapusTerima kasih infonya. kalau ada tolong diberikan link-nya.
Hapus