Sudah sejak tahun 2003 peringatan tahun baru Cina atau
dikenal sebagai Imlek dinyatakan sebagai hari libur nasional dan bebas
dirayakan di Indonesia. Di Kota Solo sendiri suasana Imlek kental terlihat di
seputaran Pasar Gede. Dari tahun ke tahun semenjak Imlek bebas dirayakan, di
kawasan ini selalu semarak dengan hiasan lampion merah meriah yang gemerlapan
di waktu malam. Dan Tahun 2014 ini, suasana Imlek Solo semakin terasa dengan
hadirnya event baru Solo Imlek Festival (SIF) yang dipusatkan di Benteng
Vastenburg di Depan Gedung BI di Jalan Jendral Sudirman. Di sepanjang jalan
tempat SIF diselenggarakan dipasang 12 boneka lucu yang merepresentasikan shio-shio
yang ada di kalender Cina.
Foto : Koleksi pribadi
Sabtu malam atau malam Minggu kemarin kebetulan cuaca cukup cerah maka saya sempatkan berkeliling seputar Pasar Gede untuk melihat bagaimana suasana Imlek pada malam hari. Begitu mendekati kawasan Gladak jalanan macet, sepeda motor, mobil dan manusia berjubel jadi satu. Di sebelah selatan perempatan Gladak perayaan Sekaten baru saja usai, di Timur ada Galabo dan di sebelah utara Galabo ada Benteng Vastenburg dengan SIF-nya. Tambah lagi banyak orang - anak-anak, ABG dan orang tua - pada narsis berfoto ria di depan boneka lampion shio yang berjejer di depan lokasi SIF. Malas bedesak-desakan di jalan, akhirnya saya batalkan niat untuk masuk ke lokasi SIF. Tapi dari pengamatan suasana sekitar pusat perayaan Imlek, saya bisa melihat keceriaan banyak orang. Remaja pada bergerombol dan duduk di pagar jembatan di depan Pasar Gede dan mengambil gambar dengan pasang pose penuh tawa di bawah juntaian ratusan lampion dan kerlip-kerlip lampu warna-warni. Senang rasanya melihat kegembiraan di suasana malam di seputaran Pasar Gede.
Melihat meriahnya perayaan Imlek di Kota Solo tahun
ini membuat saya jadi ingin tahu mengapa ya dulu pada jaman Pak Harto kok Perayaan
Imlek sampai dilarang? Apa alasannya? Terus mengapa kok Imlek bisa dirayakan sebegitu meriah di Kota Solo?
Berbeda dengan perayaan tahun baru Masehi dan tahun
Jawa, Imlek punya sejarah tersendiri, sejarah yang panjang dan penuh
kontroversi. Perayaan Imlek dari sisi budaya telah menjadi bagian ekspresi
kultural yang meng-global karena dirayakan di seluruh bagian dunia dimana
banyak tinggal komunitas Tionghoa. Tapi di Indonesia, Imlek bukan sekedar
identitas budaya tapi juga sarat dengan muatan politis. Bau kepentingan politik
ini bisa ditelusuri dari sejarah Imlek di Indonesia, utamanya di jaman Presiden
Soeharto atau era Orde Baru.
Foto: Koleksi pribadi
Selama Orde Baru, perayaan tahun
baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Presiden Soeharto melalui Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967,
melarang atau membatasi segala hal yang berbau Tionghoa. Dalam instruksi
tersebut ditetapkan bahwa seluruh Upacara Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat
Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan
tertutup. Instruksi Presiden ini bertujuan mengeliminasi secara sistematis dan bertahap
atas identitas diri orang-orang Tionghoa terhadap Kebudayaan Tionghoa termasuk
Kepercayaan, Agama dan Adat Istiadatnya. Dengan dikeluarkannya Inpres tersebut,
seluruh Perayaan Tradisi dan Keagamaan Etnis Tionghoa termasuk Tahun Baru
Imlek, Cap Go Meh, Pehcun dan sebagainya dilarang dirayakan secara terbuka.
Demikian juga tarian Barongsai dan Liong dilarang dipertunjukkan.
Larangan Imlek ini dihapus oleh Presiden
Abdurrahman Wahid dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001
tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif
(hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya). Imlek resmi dinyatakan sebagai
salah satu hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri mulai tahun
2003 (wikipedia.org/)
Foto : Koleksi pribadi
Mengapa Orde Baru sebegitu takutnya dengan segala
sesuatu yang berbau Cina? Ini alasannya : “….pemerintahan
Soeharto dengan dengan tegas menganggap keturunan Cina dan kebiasaan serta
kebudayaan Cina, termasuk agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa sebagai
"masalah" yang merongrong negara dan harus diselesaikan secara
tuntas”. Alasan ini tertulis dalam buku "Pedoman Penyelesaian Masalah
Cina" jilid 1 sampai 3 yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi Masalah Cina
(BKMC) yang berada di bawah BAKIN (Wikipedia)
Mengapa ekspresi budaya bisa menjadi ancaman bagi
suatu Negara? Budaya bagaimanapun adalah ekspresi dari nilai-nilai yang
diyakini oleh suatu komunitas atau masyarakat. Budaya tidak sekedar ritual,
seremoni dan simbol-simbol yang dinampakkan dari bukti fisik. Ada nilai, norma
dan keyakinan di balik budaya yang material. Pertanyaannya lagi, apa yang
ditakutkan dari nilai-nilai budaya Cina?
Zaman Soekarno dan Soeharto, komunisme menjadi paham atau ideology yang
menjadi momok dan sekaligus bisa dijadikan “hantu politik” bagi rezim yang
berkuasa. Ketakutan pada infiltrasi komunisme melalui budaya Cina sedikit bisa
dipahami.
Tapi untuk saat ini, alasan budaya Tionghoa bisa
mengancam Negara sepertinya kok nampak “jadul” ya. Negara Cina (RRC) sendiri
sudah sangat kapitalis. Ideologi komunisme sudah jarang dibicarakan.
Orang-orang Cina Indonesia sendiri sudah banyak yang pakai nama Indonesia dan
sebagian besar sudah tidak bisa bahasa Mandarin. Terus karena Konghucu menjadi
agama terlarang di Indonesia, mayoritas orang Cina banyak yang eksodus ke agama
Kristen dan Katholik. Banyak diantara mereka yang tidak menjalani ritual
Konghucu. Mereka merayakan Imlek sebagai ekspresi identitas budaya saja tanpa
banyak dilatari keyakinan agama. Imlek jatuh sekedar selebrasi atau perayaan
kultural tak beda jauh dengan Sekaten atau Tahun Baru Masehi. Sebagai selebrasi
kultural, Imlek di Solo sudah tidak murni lagi bau Cina-nya buktinya ada
Gerebeg Sudiro sebagai modifikasi atau kawin campur budaya Cina dan Jawa. Di
Gerebeg Sudiro apem yang biasa menghiasi tumpeng atau gunungan diganti dengan kue keranjang. Disini
orang tidak lagi berpikir apakah ini merusak nilai filosofi dari tumpeng atau
tidak, yang ada adalah bukti bahwa budaya Jawa sangat fleksibel dan terbuka
menerima unsur-unsur budaya dari luar. Justru akulturasi budaya
semacam ini yang memperkaya budaya Jawa. Budaya Jawa sangat menghargai nilai
pluralitas. Budaya Jawa bukan budaya yang memegang kuat-kuat identitasnya dan
menutup sama sekali pengaruh dari budaya luar. Karena karakter budaya semacam
ini, maka perayaan Imlek mudah diterima oleh orang Solo. Kebiasaan merayakan
nilai-nilai Jawa dalam berbagai ritual dan seremoni menjadikan orang Solo gampang
menerima dan suka sekali dengan bentuk-bentuk ungkapan budaya yang serupa dengan
budaya mereka.
Foto : Koleksi pribadi
Saat ini, perayaan Imlek kembali diterima sebagai
bagian dari kekayaan pluralitas budaya Indonesia. Masyarakat Solo kembali bisa
menyaksikan tarian Barongsai bebas ditarikan di seputar Pasar Gede. Orang dari
berbagai latar belakang etnis, budaya dan agama tumpah ruah jadi satu ikut
larut dalam selebrasi tanpa tahu atau bahkan tidak perduli alias tidak mau tahu
apa nilai dan keyakinan dibalik Imlek, yang ada dibenak mereka hanya ikut
bergembira dalam pesta budaya sekaligus sarana refreshing lepas dari rutinitas
dan beban hidup sehari-hari.
Keterbukaan menerima realitas budaya yang plural
adalah ciri dari Budaya Wong Solo. Event perayaan Imlek mempunyai fungsi ganda.
Pertama, sebagai sarana untuk memperkaya
khazanah budaya dan sekaligus
membuktikan “Solo sebagai Kota Budaya” bukan sekedar slogan tanpa makna dan
realita. Kedua, fungsi yang lebih mendasar yaitu untuk membangun soliditas
sosial antar etnis. Khusus untuk komunitas Tionghoa di Solo, Imlek semestinya bukan untuk memperkuat ikatan mereka pada
identitas budaya Cina, tapi justru menguatkan eksistensi mereka sebagai
etnis Cina yang "Indonesia dan Jawa". Ikatan sosial mereka tidak hanya ke kultur
Cina, tapi juga nilai-nilai Budaya Jawa dan pluralitas Indonesia. Komunitas
Cina di Solo juga wajib berkontribusi pada pelestarian budaya Jawa dan
pembangunan dan kesejahteraan Kota Solo.
Akhirnya saya ucapkan : Selamat merayakan Tahun Baru Imlek 2014 bagi
komunitas Tionghoa. Selamat merayakan pluralitas budaya bagi semua warga Solo.
Mari kita jaga identitas Solo sebagai Kota (Multi) Budaya.
Untuk menambah hangat suasana Imlek bisa didengarkan suara merdu penyanyi legendaris Taiwan Teresa Teng berikut :
Untuk menambah hangat suasana Imlek bisa didengarkan suara merdu penyanyi legendaris Taiwan Teresa Teng berikut :
Gambar : animasibergerak.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar