Bila keberagaman identitas dari
sisi budaya relatif mudah diterima bahkan diadopsi, tidak demikian halnya
dengan keberagam identitas kultural di ranah politik praktis. Ras, etnisitas dan
agama jika masuk ke praktek politik ternyata menghasilkan kontroversi,
pro-kontra dan perdebatan panas seputar identitas primordial dan isu SARA yang
tak ada matinya.
Saya tertarik untuk mengetahui
lebih jauh tentang identitas kultural di ranah politik setelah mengamati maraknya
isu SARA selama proses Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahap pertama dan berkembang
semakin panas dan intensif menjelang pemilihan tahap kedua di bulan September nanti.
Identitas
Kultural dan Pilgub DKI Jakarta 2012
Ada beberapa hal yang menarik
untuk diulas dari Pilgub DKI Jakarta tahun ini . Pertama-tama, tentu saja figur calon
gubernur Jokowi yang berpenampilan menyempal dari gambaran umum kandidat kepala
daerah yang kebanyakan suka tampil berwibawa, formal , religius, dan
menggunakan identitas kultural etnisitas. Kelebihan Jokowi dibanding calon
gubernur lainnya ada di caranya mendekati masyarakat yang terkesan merakyat dan
natural tidak dibuat-buat. Pilihan kostum
baju kotak-kotak dengan lengan digulung
juga kostum yang aneh dan selama ini belum ada kontestan pilkada yang
menggunakan model ini. Baju kotak-kotak dipadu celana jeans jelas bukan kostum
yang match dengan pejabat publik di
Indonesia.
Hal yang tak kalah menarik lainnya
adalah figur calon wakil gubernur pasangan Jokowi , Basuki Tjahaja Purnama
(Ahok) yang keturunan Tionghoa atau orang Indonesia umum menyebut sebagai orang
Cina. Selama ini jarang orang Cina yang cukup punya nyali untuk ikut
berkompetisi dalam ajang Pemilihan Kepala Daerah. Institusi publik , terlebih
birokrasi di Indonesia, sepertinya
menjadi tempat yang relatif steril dari etnis Cina. Nggak percaya? Coba
tengok-tengok di instansi pemerintah atau lembaga pendidikan negeri , ada
berapa PNS, tentara, atau dosen PTN yang beretnis Cina? Langka bukan? Melihat
realitas ini, pilihan Jokowi untuk berpasangan dengan Ahok dan keberanian Ahok
untuk terjun di kontestasi politik menjadi isu yang menarik untuk diulas lebih
jauh. Kesediaan Jokowi untuk dipasangkan dengan wakil gubernur dari kelompok etnis
dan agama minoritas dan penolakan pada penggunaan simbol dan identitas ras dan
etnis untuk kepentingan politik merupakan tindakan yang berani dan seolah-olah
hendak melawan model pemasaran politik yang selama ini menjadi pakem atau mainstream di banyak Pilkada di
Indonesia.
Dan memang terbukti munculnya
Jokowi-Ahok langsung mengundang munculnya beragam isu SARA seperti perdebatan
seputar baju koko dan peci, ayat suci dan ayat konstitusi, orang Betawi dipertentangkan
dengan orang daerah (Solo) dan orang Cina, dan soal memilih pemimpin yang harus
seiman, dan masih banyak lagi. Isu-isu semacam ini kalau kita simak bukanlah
isu baru tapi penyakit musiman yang akan kambuh setiap kali ada pemilihan
pimpinan dimana penentuannya dilakukan melalui pilihan rakyat. Jadi lihat saja
isu ini akan muncul di setiap voting pilihan pimpinan yang strategis, kalau
memilih ketua selevel RT, PKK apalagi tugas sosial yang tidak ada sumber daya
yang bisa diperebutkan ya jelas banget tidak akan dibutuhkan bantuan isu SARA.
Isu SARA menjadi jualan yang
diobral bebas dan liar melalui sms dan internet selama masa Pilgub DKI Jakarta
2012 tentunya bukan karena kali ini ada kehadiran Ahok yang orang Cina dan
beragama Kristen. Buktinya, pada pemilu Presiden tahun 2004 yang lalu, isu SARA
juga menerpa ibu Presiden dan Wakil Presiden yang meskipun beliau berdua itu
mempunyai latar belakang agama yang jelas, tapi masih saja diperdebatkan soal kebenaran
identitas agama mereka. Kemudian, dulu saat Megawati dianggap sebagai kandidat
kuat calon presiden terjadi perdebatan panas seputar gender (boleh tidaknya
perempuan menjadi pemimpin) dan gugatan seputar kadar keimanan Megawati. Kesimpulannya,
kalaupun sebenarnya tidak ada isu SARA
yang bisa dimainkan ya dicari-cari atau digolek-goleki, pokoknya isu ini memang
seksi banget dan gampang digunakan untuk menarik solidaritas dan loyalitas
kelompok.
Apa
dan Mengapa ada isu SARA di Kontestasi Politik?
Mengamati pemberitaan dan
perdebatan di media cetak maupun elektronik seputar Pilgub DKI Jakarta tahun
2012 mengundang banyak pertanyaan liar di benak saya. Mengapa ras dan etnisitas menjadi isu yang panas
dan sensitif? Mengapa dan untuk apa to manusia kok dikelompok-kelompokkan ke
dalam berbagai ras dan etnisitas? Apakah
ras dan etnisitas itu sesuatu yang kodrati atau hasil dari konstruksi sosial
masyarakat?
Ada banyak teori yang mencoba menjelaskan ras dan
etnisitas dalam hubungannya dengan politik atau negara. Dua pendekatan yang
utama adalah primordialisme dan pendekatan konstruktivis . Menurut pendekatan
konstruktivis, ras sesungguhnya lebih
merupakan merupakan konstruksi sosial
politik. Negara yang mengkonstruksi atau membentuk kategori rasial. Di beberapa
negara, ras digunakan sebagai alat memobilisasi pemilih saat pemilihan umum.
..race is
greatly controlled and manipulated as a tool by many state governments. In some
states, race is a tool used during election to garner when political parties
represent a particular racial group and "play up" the race's
differences from members of another race. If this situation of people
identifying themselves along racial lines becomes too extreme, ethnonational
riots may break out where one racial group feels it is unfairly treated by
another. Political parties may hence used the race card to mobilize its voters
(http://sc2218.wetpaint.com/).
Ras dan etnisitas menjadi
isu yang seksi dalam pemilu. Mengapa demikian? Nampaknya ada keyakinan di benak
para kandidat atau tim suksesnya bahwa cara termudah dan paling efektif menarik
hati orang untuk memilih seorang kandidat adalah dengan cara membangkitkan
ikatan emosional pemilih pada calon. Ikatan emosional mana yang bisa melebihi
kecintaan seseorang pada identitas primordialnya : suku, agama, ras, dan
golongan atau komunitas? Diantara semua identitas ini, suku-agama-dan ras
menjadi identitas yang paling kuat sehingga mudah menyulut emosi. Dalam
ras, agama dan etnisitas ada stigmatisasi dan pelabelan yang pada akhirnya akan
bermuara pada kebencian, syak wasangka,
kecemburuan sosial, eksklusi dan inklusi.
Mengingat isu ras dan etnisitas hanya muncul sebagai jualan selama musim kampanye tidak aneh kalau
ditarik kesimpulan bahwa isu SARA itu lebih sebagai komoditas politik. SARA
sebagai alat politik tak ubahnya minuman keras oplosan yang bisa memabukkan dan
mematikan. Apabila setiap orang Indonesia setuju dengan pandangan bahwa memilih
pemimpin itu yang penting pokoknya yang utama harus beridentitas ras dan
etnisitas (dan juga agama) yang sama dan soal kapabilitas serta integritas itu
urusan belakangan, ya kita jadi tahu salah satu faktor penghambat mengapa
Indonesia sulit untuk maju.
Menurut saya tidak ada yang salah dengan
kecintaan pada identitas primordial. Kelestarian nilai-nilai dan praktek budaya
serta agama hanya dapat terjaga apabila setiap orang bisa menghargai dan
menghidupi nilai dan ritual budaya dan agama yang dicintainya. Tapi jangan sampai kecintaan kita
pada identitas budaya dan agama membuat kita buta sehingga mudah dikendalikan
untuk kepentingan yang sesungguhnya belum tentu berkaitan dengan ajaran luhur agama.
Bicara tentang identitas
kultural, sesungguhnya etnisitas dan ras hanyalah idiom atau konsep yang hanya bisa dipahami oleh orang dewasa. Ini membuktikan
bahwa etnisitas dan ras dibangun untuk kepentingan orang-orang dewasa. Perbedaan ras, etnis, agama dan gender tidak ada dalam alam pikir
anak-anak. Anak-anak bisa dikatakan buta warna kulit, ras, gender dan agama.
Ingin tahu buktinya? Coba kita lihat iklan-iklan dari Petronas Malaysia ini.
Untuk lebih memahami tentang makna keberagaman bisa didengar apa kata Paul McCartney dan Stevie Wonder dalam lagunya Ebony and Ivory
Gambar : darren-ng.livejournal.com
sangat menarik sekalih bu. :D
BalasHapusTerima kasih. Semoga bermanfaat
BalasHapus