Lagi-lagi kekerasan. Kali ini giliran terjadi (lagi) di Kota Solo. Rasanya capek ngomong soal kekerasan yang hampir setiap saat terjadi di Indonesia, terutama Paska Orde Baru. Di blog ini, tema tentang kekerasan telah berkali-kali saya tulis. Sudah males banget mau nulis lagi tema yang sama, apa lagi yang mau diulas. Dan untuk apa? Apa gejala kekerasan cukup hanya dengan dianalisis dan didiskusikan saja? Apa dengan menuliskan ide atau pendapat akan bisa merubah cara pandang banyak orang tentang permasalahan sosial yang dihadapi bangsa Indonesia ini?
Namun, melihat gejala konflik sosial yang tidak sehat seperti terjadi di Solo beberapa hari yang lalu, saya tidak bisa acuh tak acuh lagi. Isu-isu liar bertebaran di internet dan bahkan di salah satu situs besar di Indonesia ada tulisan yang mengaitkan kekerasan antar kelompok preman dan sebuah ormas itu ke isu agama. Membaca debat panas dan cara penyikapi perbedaan yang terlontar membuat saya miris. Pikiran saya tidak bisa diam, bermacam-macam pertanyaan berkecamuk di benak saya. Mengapa konflik sosial antar kelompok masyarakat , bahkan konflik antar individu yang bersumber pada persoalan yang sepele sekali pun , kalau itu melibatkan dua pihak yang berbeda identitas primordial (suku, ras, agama, dan antar golongan) mudah meletup menjadi bara konflik komunal atau konflik antar kelompok? Dan mengapa perbedaan identitas keagamaan dari pihak-pihak yang bertikai akan mudah membentuk solidaritas kelompok dan menyeret pada “aroma” saling mengkambinghitamkan satu sama lain dan cenderung mengarah pada generalisasi yang stigmatis pada pihak yang sudah diberi label buruk, bahkan sekali pun pihak itu tidak terlibat langsung di dalam konflik?
Agama nampaknya menjadi sense of identity paling kuat pada seseorang. Nilai religi yang ditanamkan secara intens dan terus menerus sejak kecil hingga dewasa akan membentuk cara pandang yang baku dan rigid dalam memandang dunia sekitar : individu, kelompok, masyarakat , dan lingkungan atau sistem sosial, budaya, politik dan ekonomi. Ajaran dan nilai agama membentuk pola pikir atau perspektif yang seragam.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa proses penanaman nilai religi tidak sekedar berisi tuntunan menuju kebaikan, kriteria apa yang benar dan salah, yang boleh dan tidak boleh, pahala dan dosa, tapi disitu terdapat proses penguatan sense of identity – yang menegaskan siapa “kita” dan “mereka”. Jalan agama adalah jalan menuju kepadaNya yang diklaim paling benar oleh masing-masing penganutnya. Dan karena di dunia ini tidak hanya ada satu agama, maka akan ada pihak-pihak lain yang dianggap berbeda jalan, yang akan dicap sebagai “sesat”. Dan misi penganut agama adalah mengajak atau membawa pihak-pihak yang dianggap “sesat” ini kepada jalan yang benar. Celakanya, ada "sebagian" kelompok beragama yang mempunyai pemahaman bahwa , jika mereka yang dianggap menyimpang atau melanggar ketentuan ajaran agama tidak lagi bisa diluruskan dengan himbauan atau pengajaran maka dibenarkan kalau kelompok ini ditangani dengan cara kekerasan.Kekerasan akan pecah ketika kelompok yang dianggap sesat melakukan perlawanan. Inilah akar konflik antara “ sebagian pemeluk “ agama dengan mereka yang dicap non agamis atau “kafir”.Kasus kekerasan antara kelompok ormas beragama dengan kelompok keagamaan yang dianggap sesat dan bentrok antara preman dengan ormas di Solo adalah contoh konflik komunal yang tahun-tahun terakhir ini sering terjadi di banyak kota di Indonesia.
Konflik sosial berlatar belakang isu agama juga terjadi antar kelompok umat beragama. Hal ini bisa terjadi karena ada ayat-ayat dalam kitab suci yang diyakini atau diinterpretasikan para penganutnya sebagai firman Tuhan yang mengharuskan pengikut suatu agama untuk menyebarkan ajarannya atau istilahnya mengajak kepada jalan yang benar dimana definisi jalan yang benar itu tergantung pada masing-masing penganut. Akibatnya, semua pemeluk agama yang “ekspansif” semacam ini akan mengklaim jalan agamanya yang paling benar dan berusaha menyebarkan misinya ke banyak orang. Bisa dibayangkan kalau dua kelompok agama dengan pemahaman seperti ini sama-sama bersaing meraih “massa” sebanyak-banyaknya. Massa atau jumlah umat yang banyak – tak beda jauh dengan politik – adalah simbol pengaruh dan punya kekuatan riil. Sebagaimana partai politik dengan massa banyak akan berkontribusi dalam pemenangan kompetisi politik, terlebih lagi massa umat beragama dimana ikatan dibangun atas dasar loyalitas dan militansi agama yang relatif konstan. Perebutan dan persaingan pengaruh dan massa umat seringkali menimbulkan gesekan di antara “pemeluk” agama. Konflik ini sekali pun tak selalu tampak sebagai konflik terbuka tapi bak bara dalam sekam yang setiap saat bisa terbakar jika ada pemantiknya.
Belajar dari berbagai kasus konflik dan kekerasan komunal seperti di Ambon dan Kalimantan ternyata pemicu konflik adalah persoalan pertikaian antara individu yang berkembang menjadi bentrok antar kelompok dan membesar menjadi konflik komunal karena menyeret identitas agama. Identitas agama menyeret identitas suku dan ras. Mengapa ini terjadi? Mengapa orang mudah bangkit emosinya apabila disinggung identitas primordialnya, lebih khusus lagi identitas agamanya? Mengapa agama merupakan identitas sosial yang kuat bagi seseorang?
Dalam upaya memperkuat ikatan umat pada agamanya, terkadang tidak cukup dengan internalisasi kesalehan sosial atau manifestasi pada relasi kemanusiaan, tapi juga upaya menjadikan agama sebagai identitas sosial seseorang. Identitas sosial adalah pemaknaan seseorang tentang siapa dirinya (self-concept) sesuai dengan keanggotaannya dalam suatu kelompok. Menurut Jacobson ( dari blog.uin-suska.ac.id/ivan/) teori identitas sosial fokus terhadap individu dalam mempersepsikan dan menggolongkan diri mereka berdasarkan identitas personal dan sosial mereka. Lebih lanjut teori identitas sosial menyatakan ketika individu bergabung dengan kelompok, dan kelompok itu memiliki status yang superior dibandingkan kelompok lain, maka hal ini akan meningkatkan self -image mereka sendiri.
Apabila agama menjadi identititas sosial seseorang, maka dia akan mengidentifikasi dirinya dengan segala sesuatu yang menjadi ajaran dan identitas agamanya. Agama adalah identitas diri atau self –image , citra diri seseorang dimana disitu ada nilai-nilai yang menjadi miliknya, ada kelompok yang bisa diakui sebagai komunitasnya. Agama sebagai identitas sosial cenderung bersifat tertutup atau eksklusif, karena itu mudah dijadikan sarana untuk menggalang solidaritas kelompok. Sayangnya, tidak jarang ditemui adanya upaya menumbuhkan solidaritas dan soliditas kelompok keagamaan dengan menanamkan pemahaman tentang adanya “musuh bersama” yang mengancam eksistensi dan kemurnian agamanya. Apabila dua kelompok keagamaan dengan cara pandang semacam ini berkompetisi, maka yang ada hanya kecurigaan dan ketidak percayaan satu sama lain.
Dalam suatu masyarakat apabila kecurigaan, syak wasangka, dan ketidakpercayaan di antara kelompok masyarakat yang berbeda itu sudah membatu, ini menunjukkan gejala masyarakat yang tidak sehat. Ini sinyal bahwa segregasi sosial itu sudah sedemikian akut. Sedikit saja terjadi gesekan di antara mereka akan gampang membangkitkan solidaritas kelompok. Inilah yang memicu konflik komunal.
Konflik komunal akan mudah tersulut ketika di masing-masing pihak sudah tercetak mind set pokoknya “yang lain” itu ya seperti itu, dan selamanya akan seperti itu. Kalau “yang lain” itu menunjukkan kebaikan, itu karena terpaksa atau pasti punya pamrih atau punya agenda tersembunyi. Paranoia atau ketakutan akan “yang lain” akan membawa pada segregasi sehingga orang tidak mau membaur atau bergaul dengan mereka yang berbeda. Gejala paranoia ini bisa dikenali apabila orang mulai membuat kantong atau wilayah yang terkotak-kotak berdasarkan identitas primordial. Saya yakin, masyarakat Kota Solo atau Indonesia umumnya belum sampai ke tahap paranoid semacam ini. Namun, kalau konflik berlatar belakang atau dibumbui isu SARA dibiarkan terjadi terus menerus dan tidak segera dilakukan upaya untuk rekonsiliasi, untuk membuka komunikasi, untuk saling memahami satu sama lain , saya tidak bisa menjamin bahwa kita tidak akan menuju masyarakat yang “sakit”. Kalau ini terjadi, kita semua punya andil di dalamnya, karena selama ini kita sibuk dengan identitas kelompok kita sendiri-sendiri sehingga abai dan tidak mau merawat identitas kebangsaan Indonesia.
Indonesia adalah negara multikultur. Ini fakta yang tak dapat diingkari. Karena itu sejak awal lahirnya, negara ini telah sadar betul akan pentingnya nation building. Simbol negara, semboyan Bhineka Tunggal Ika, Pancasila, Negara Kesatuan adalah lem perekat identitas kebangsaan. Tapi kini, baru menjelang 67 tahun, nampaknya upaya nation building itu sepertinya tidak ada pengaruhnya. Terbukti masyarakat akar rumput dan mungkin juga kita semua, masih menyimpan kecurigaan dan tidakpercayaan pada sesama anak bangsa sendiri, sehingga konflik sekecil atau sepele apapun apabila dibumbui “aroma” SARA, akan dengan mudah membakar emosi kelompok yang bernuansa sentimen primordial. Penanaman rasa nasionalisme yang ditanamkan sejak kecil melalui pendidikan kewarganegaraan dan Pancasila sepertinya sudah terlupakan dan tidak ada lagi bekasnya. Ikatan kebersamaan sebagai satu bangsa mestinya menjadi identitas sosial yang lebih kuat ketimbang identitas kelompok primordial. Bagaimana kita mau menghadapi globalisasi, jika soliditas internal antar sesama bangsa saja sedemikian rapuh? Kalau negara lain sibuk membangun sumber daya manusianya dan bahkan ada yang merintis riset untuk menemukan kehidupan di planet lain, kita disini sibuk berkelahi sendiri merebutkan sesuatu yang tidak jelas dan para elitnya berebut kuasa politik yang orientasinya jangka pendek dan tidak visioner.
Uhh, cuaapek deh. Mau dibawa kemana Indonesia kita ini? Quo vadis, Indonesia?
(Pertanyaan ini bisa menjadi perenungan bersama menjelang Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei)
Gambar :
Gambar :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar