Tahun 2014 benar-benar jadi tahun politik. Baru
saja pemilihan legislatif usai, kini disusul dengan hingar bingar pemilihan
presiden. Pemilu adalah hari-hari dimana rakyat Indonesia terpaksa menonton jungkir balik manuver politik yang dipertontonkan para
politisi dan kandidat presiden. Rasanya jengah, muak bin mual
melihat kerakusan dan nafsu berebut kuasa yang nampak “mloho” (bahasa Jawa transparan) tanpa ditutupi. Syahwat berkuasa
membuat mereka membuang segala rasa malu dan harga diri.
Ada pasangan capres-cawapres yang kompak beriklan di TV milik pribadi bak main di
sinetron kejar tayang…tiap hari muncul dengan acting lebay dan dibuat-buat
seolah-olah pro-rakyat kecil. Ada lagi capres dari parpol besar yang karena
kepedean, jual mahal
waktu didekati mau diajak berkoalisi. Dia merasa pantas jadi nomor satu, tidak mau jadi nomor dua. Saat batas waktu pendaftaran calon presiden belum juga dapat pasangan, bingunglah
dia. Akhirnya kesana kemari menawarkan
diri cari pasangan. Banting harga, jadi nomor dua ya mau. Tapi sudah turun
harga pun, tetap tidak ada yang mau. …yah akhirnya
terpaksa menjomblo. Dari jual mahal sampai akhirnya ….tidak dapat apa-apa. Terus,
ada lagi yang sakit hati dikhianati atau ditolak lamarannya dan akhirnya memindahkan
dukungannya ke capres lawan.
Memperhatikan perilaku
para politisi saat pileg
dan menjelang pilpres besok 9 Juli, saya sampai pada kesimpulan bahwa motivator utama mereka berpolitik masih sebatas
tujuan meraih kekuasaan. Proses, cara dan mekanisme menuju kekuasaan menjadi
tidak penting. Akibatnya, integritas menjadi barang langka. Kata dan tindakan bisa seenaknya di-setting disesuaikan dengan arah kepentingan politik. Omong kosong itu segala
macam jargon ideologi dan platform partai. Ada partai yang
melabeli dirinya sebagai partai nasionalis atau partai religius. Pada mulanya
kontestasi politik antar parpol sangat rigid, tapi kemudian mencair saat
ternyata tidak ada parpol yang menang dominan. Karena harus cari kawan koalisi
untuk bisa mengusung capres-cawapres mulailah terjadi transaksi bak jual beli
di pasar. Ada pendekatan, terus tawar menawar, bagi-bagi siapa memberi apa,
siapa dapat apa. Disini yang namanya ideologi dan platform partai tidak lagi
penting. Ada partai yang semula saling ejek, saling kritik dan cari kelemahan
pesaing berubah menjadi saling rangkul, saling jilat, dan saling
menghamburkan puja-puji.
Yeah, all
is fair in politics ! Tidak ada kawan atau lawan yang abadi. Demi tujuan
dan kepentingan meraih kekuasaan, segala cara apa pun dianggap halal.
Sungguh perilaku politik yang tidak “elegant”. Persaingan menuju kekuasaan
tidak dilandasi adu gagasan strategis -visioner yang ditawarkan untuk membenahi
kondisi bangsa dan Negara, tapi terjebak pada black campaign menebar isu-isu SARA , ejek-ejekan antar pemandu
sorak para capres, sikut menyikut dan saling menelikung. Yang mereka pertontonkan ke publik hanyalah
seni berpolitik dagang sapi atau politicking,
bukan civic education.
Yang bikin tambah sedih, inkonsistensi perilaku
politik juga ditunjukkan kaum intelektual yang terjun ke politik praktis. Saat
memasuki masa-masa kampanye pileg, saya memiliki satu dua tokoh dari akademisi
yang saya kagumi karena saya anggap mereka memiliki karakter dan integritas
bagus. Saya meletakkan harapan akan
eksistensi NKRI di tangan segelintir tokoh yang saya anggap negarawan dan berjiwa
besar. Tapi perkembangan persaingan politik paska deklarasi capres dan cawapres
membuat saya kecewa. Ternyata negarawan yang berintegritas di Indonesia sudah
benar-benar langka. Bagaimana mungkin seorang dengan tingkat pendidikan tertinggi,
dengan sejarah kepemimpinan yang bagus ….hanya karena kalah dalam kompetisi
politik …bisa berubah menjadi pribadi yang pragmatis….apakah prinsip, nilai dan etika berpolitik yang
mengutamakan kepentingan kelangsungan masa depan bangsa dan negara sudah kalah
oleh sakit hati dan kecewa karena kepentingan pribadi : kalah berebut kuasa dan jabatan. Ada seorang professor
yang ikut membidani lengsernya rezim Orde Baru, kini bergabung dalam koalisi
pengusung capres yang dulu dengan keras dikritiknya sebagai pelanggar HAM (kontras.org ). Berita terbaru, yang
bikin tambah nyesek adalah diangkatnya professor hukum dan anggota Dewan
Penasehat Komnas HAM sebagai Ketua Tim Pemenangan capres yang dituduh pelanggar
HAM (kompas.com).
Kemana
larinya spirit intelektualitas para akademisi ini? Kalau ditanya apa sih motivasi para pakar dan guru
besar saat memutuskan terlibat dalam politik praktis , saya bisa menebak
jawaban idealnya adalah untuk ikut membenahi sistem dari dalam. Tapi apa hasilnya? ….Boro-boro
bisa ndandani (memperbaiki kondisi)… yang
terjadi mereka malah tersedot ke dalam pusaran sistem yang busuk.
Terus terang saya sedih …mesti saya tidak kenal
tokoh ini secara pribadi , tapi rasanya saya seperti orang yang dikhianati oleh
orang yang kita percaya …yang kita kagumi karena integritasnya. Yah, ternyata dia hanya segitu ya…
Kehilangan respek itu sungguh menyesakkan
Karena didalam respek ada kepercayaan
Didalam kepercayaan ada harapan
Dan harapan adalah …..setitik cahaya yang
menuntun kita menemukan jalan keluar dari kegelapan
Tidak ada yang lebih menakutkan selain kehilangan
dan tidak punya panutan
Saat ini, siapa sih tokoh yang masih bisa kita pegang ucapannya?
Yang bisa kita teladani tindakannya?
Kenapa ya susah banget cari pemimpin dengan
karakter kuat dan berpegang kuat pada prinsip dan idealisme. Konsistensi dalam
kata, sikap dan perbuatan dan berpegang pada etika politik adalah bukti
integritas seorang negarawan. Ini yang
susah saya dapatkan pada mereka yang terjun ke politik.
Untuk menghibur diri agar tidak larut dalam apatisme, saya lari ke Om google saya ingin tahu apakah
ada pemimpin Negara yang tidak haus kuasa dan harta. Iseng-iseng saya tulis “presiden termiskin di
dunia” dan jawabannya adalah Jose Mujica. Membaca profil Mujica, saya merasa
terhibur nggak lagi sedih, ternyata masih ada lho pemimpin negara yang tidak
gila jabatan dan tidak doyan duit. Meski bukan orang Indonesia, paling tidak
ini membangkitkan kepercayaan dan harapan saya bahwa suatu saat di Indonesia
pun bisa lahir presiden seperti Mujica.
Siapa Jose Mujica?
Jose Alberto Mujica Cordano adalah Presiden
Uruguay sejak tahun 2010. Mujica jadi
sorotan dunia karena gaya hidupnya yang sederhana. Mujica menyerahkan 90 persen dari gajinya per bulan sebesar Rp 116
juta untuk beramal kepada warga yang
miskin dan membutuhkan. Ia hanya menyisakan Rp 7,7 juta gajinya untuk membiayai hidupnya. Mujica tinggal di rumah peternakan
milik istrinya di pinggiran Montevideo. Rumah peternakan ini bisa dibilang rumah
sangat-sangat sederhana. Tidak ada
Paspampres yang menjaga ketat
rumahnya, yang menjaga hanya dua orang
polisi serta beberapa anjing milik Mujica, salah satunya Manuela yang berkaki
tiga. Tidak ada pula kepala pelayan atau kepala rumah
tangga yang melayani dan memasak apa saja seperti layaknya rumah kepala negara.
Mujica dan istrinya bekerja sendiri memenuhi kebutuhan mereka. Termasuk
menggarap tanah pertanian mereka dengan bercocok tanam bunga krisan untuk
dijual. Pada tahun 2010, saat menjadi presiden, harta kekayaan Mujica berjumlah US$ 1.800 atau Rp
17,4 juta, ini nilai
dari mobil VW Kodok lawas tahun 1987 miliknya.
Apa komentar Mujica tentang gaya hidupnya ini ?
"Saya mungkin terlihat sebagai
manusia tua yang eksentrik. Namun ini adalah pilihan bebas. Saya telah hidup
seperti ini di sebagian besar hidup saya. Saya bisa hidup dengan baik dengan
apa yang sudah saya punya," kata Mujica seperti dilansir dari BBC.
"Saya dijuluki 'presiden
termiskin', tapi saya tidak merasa miskin. Orang miskin itu adalah mereka yang
hanya bekerja untuk memenuhi gaya hidup yang mahal, dan selalu ingin lebih dan
lebih. Ini hanyalah masalah kebebasan, jika Anda tak memiliki banyak keinginan,
Anda tak perlu bekerja seumur hidup seperti budak untuk memenuhinya. Dan dengan
begitu Anda memiliki lebih banyak waktu untuk diri sendiri," tutur Mujica.
Wow..Jose Mujica benar-benar presiden yang keren.
Dari Mujica saya dapat pelajaran berharga yaitu : “Orang miskin itu adalah
orang yang dibelenggu oleh hasrat dan keinginan untuk mendapatkan (harta, kuasa, jabatan) yang lebih dan selalu
ingin lebih”. Orang-orang ini bukanlah
orang merdeka, mereka adalah budak seumur hidup dari nafsu keserakahannya.
Berbahagiakah orang-orang seperti ini ? Saya yakin tidak. Lihatlah wajah-wajah
mereka yang tidak lagi malu menunjukkan hasrat akan kuasa. Apakah terpancar
ketulusan dan kebahagian di raut muka mereka?.
Artikel terkait : Tentang Integritas
Gambar :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar