Fashion is a powerful way of expression, one that politicians
- dictators as well as popularly elected - has explored in the past, still do
today and will be doing tomorrow (http://fashioninpolitics.blogspot.com)
Saat ini masyarakat dan media
massa tengah dilanda euforia Jokowi – Walikota Solo yang memenangkan putaran
pertama kompetisi politik Pilihan Gubernur DKI Jakarta. Banyak pendapat dan analisa bermunculan dan mencoba
menjelaskan faktor-faktor penyebab kemenangan yang tidak terduga dan sekaligus menjungkirbalikkan
prediksi lembaga survei yang sebagian besar meramalkan kemenangan pasangan
Fauzi Bowo-Nara.
Saya tidak ingin ikut-ikutan
membuat tulisan yang menyoroti seputar kemenangan Jokowi atau mengelu-elukan figur
Jokowi secara berlebihan. Saya lebih
tertarik dengan fenomena baju kotak-kotak dengan dominasi warna merah dan biru tua yang
dikenakan sebagai seragam kampanye pasangan Jokowi-Ahok.
Gara-gara Jokowi baju kotak-kotak saat ini
menjadi sangat politis. Bagaimana bisa baju yang fungsi dasarnya sebagai
penutup tubuh berubah menjadi simbol kuasa bak magnit yang mempengaruhi
perilaku banyak orang? Yah ternyata apa saja bisa
dimanipulasi manusia untuk memaksimalkan kepentingannya, terlebih lagi
menyangkut kepentingan politik. Bahkan cara berbusana pun bisa menjadi bagian
dari pemasaran politik. Melalui fashion
atau cara berbusana, kandidat ingin menyampaikan pesan ke rakyat pemilih siapa dirinya. Ibaratnya
dagangan, fashion bagian dari kemasan atau bungkus yang bisa menjadi daya tarik
konsumen.
Ada ideologi tertentu dibalik
pakaian yang dikenakan seseorang. Ada identitas dan pesan yang ingin disampaikan
seseorang melalui pakaian yang dikenakannya. Pakaian adalah media ampuh untuk
membangun citra diri atau self-image –
untuk menunjukkan siapa diri dan statusnya. Apa kesan yang seketika timbul saat
kita melihat orang memakai baju atau aksesori yang menjadi
simbol agama – seperti jilbab muslimah atau kerudung biarawati, baju koko dan kopiah ? Mereka
tentunya orang-orang yang sangat mencintai
dan taat dengan agamanya. Apa kesan yang terbangun di benak kita saat
melihat laki-laki memakai jas dan dasi? Mereka pasti bos atau manajer atau
orang yang mempunyai jabatan atau posisi penting di kantornya. Nggak mungkinlah
sopir becak mengayuh becaknya pakai jas. Bagaimana dengan baju batik ? Itu
cocok untuk kondangan atau njagong (datang ke resepsi atau hajatan).
Sekali pun sekarang batik sudah mulai disukai anak-anak muda, tapi kesannya
yang formal tetap belum hilang.
Mengapa Jokowi-Ahok tidak memilih
jas dan dasi sebagai kostum kampanyenya?
Kalau model ini yang dipilih kok kesannya bossy,
formal dan enggak friendly banget. Baju
jas dan dasi seperti menciptakan semacam jarak sosial dengan rakyat kecil. Jas dan
dasi bukan baju rakyat. Kalau pejabat datang ke rakyatnya memakai jas dan dasi
sepertinya mereka sudah membatasi diri dan menunjukkan identitas siapa mereka
dan siapa rakyat yang di bawah. Benar tidaknya
pendapat ini bisa dicek dengan membayangkan bagaimana kalau Jokowi blusukan ke
pasar-pasar tradisional atau ke kampung-kampung kumuh dengan memakai jas dan
dasi.
Mengapa Jokowi-Ahok tidak memilih baju modelnya Foke-Nara , baju
koko dengan kopiah dan sarung kotak-kotak dipundak? Untuk pertanyaan ini Jokowi
menjawab demikian : "Ya bosenlah.
Semua yang maju ke pilkada selalu pakai baju koko dan kopiah, biar kelihatan
religius." (tribunnews.com) . Karena jawabannya
ini Jokowi dituduh telah melecehkan masyarakat Betawi yang mayoritas beragama
Islam. Baju koko dan kopiah ternyata bukan sekedar baju, tapi ada identitas dan
nilai tertentu yang melekat disitu. Namun kalau Jokowi memilih tidak memakai
baju koko dan kopiah, mungkin itu artinya dia tidak mau menggunakan identitas
primordial sebagai alat untuk kepentingan politik.
Terus, apa pesan dan kesan yang
diinginkan oleh pasangan Jokowi-Ahok dengan memilih seragam kampanye baju
kotak-kotak. Menurut rasa saya, baju motif kotak-kotak berkesan casual dan manly banget. Kalau perempuan pakai baju kotak-kotak biasanya
dibuat model hem dipadu dengan jeans atau pas juga dibuat rok mini , jarang kain
kotak-kotak dibikin rok terusan. Rok terusan kan kesannya feminin jadi cocoknya
kain motif flowery, yang
berbunga-bunga dengan warna-warna pastel. Baju kotak-kotak dengan celana jins
kesannya cowboy banget alias cocok sekali untuk mereka yang beraktivitas di
lapangan, bukan di kantor yang ber-ac. Baju kotak-kotak jauh dari kesan formal.
Jarang kan melihat orang datang ke pesta
hajatan dengan baju kotak-kotak. Ke
pesta ya pakai batik atau baju yang blink-blink dengan perhiasan yang
berkilauan biar terkesan formal, mewah dan glamor. Pilihan pada baju
kotak-kotak bisa diartikan kesiapan atau fokus pada penyelesaian masalah di
lapangan dan berinteraksi langsung dengan rakyat tidak melalui komando di
gedung kantor mewah ber-ac. Baju kotak-kotak juga terkesan egaliter artinya
tidak ada simbol status dan identitas apapun yang bisa dilekatkan disitu.
Baju kotak-kotak Jokowi
bagaimana pun telah menjadi bagian dari euforia politik. Terbukti makin banyak
orang yang tertarik ingin punya baju kotak-kotak dan tentu saja ini
membahagiakan para pedagang di pasar-pasar tekstil. Minat atau kesukaan pada baju kotak-kotak Jokowi bisa dibaca sebagai sinyal atau indikasi kepada siapa rakyat menjatuhkan pilihannya. Ini sesuatu yang menakutkan lawan politik
Jokowi. Bukan baju kotak-kotak itu yang
menimbulkan ketakutan, tapi simbol dan identitas dan kuasa politik dibalik baju
tersebut. Begitu berkuasanya baju kotak-kotak pasangan Jokowi-Ahok sehingga
bisa menjadikan sensi lawan politik. Saking takutnya pada baju kotak-kotak,
sekelompok orang sampai mendatangi Panwaslu meminta untuk mentertibkan
pemakaian baju kotak-kotak (tempo.co
)
Bagaimana pun baju hanyalah bungkus. Yang lebih
penting adalah isinya. Tidak ada orang yang membeli produk hanya sekedar untuk
mendapatkan bungkusnya, tetap isi yang menjadi minat belinya. Barang yang bagus akan menjadi semakin menarik
kalau dikemas dalam bungkus yang mencitrakan kualitas isinya. Demikian pula
jika banyak orang suka dengan baju kotak-kotaknya Jokowi-Ahok, itu bukan karena
sekedar tertarik dengan bajunya, tapi terlebih pada simbol kekuatan dan pesan serta
figur Jokowi yang dianggap memenuhi harapan publik. Baju kotak-kotak dalam hal ini telah beralih
fungsi sebagai simbol yang bisa menyatukan aspirasi dan harapan akan
perubahan. Dengan memakai baju kotak-kotak, orang bisa mengidentifikasikan
dirinya sebagai pihak yang melawan atau anti dengan simbol-simbol dan
jargon-jargon dominan yang selama ini menjadi identitas penguasa. Tepat sekali pendapat
Joshua Miller (dalam Gordana Vrencoska ) yang
menyebutkan baju mempunyai dua fungsi politis yakni untuk mengekspresikan perlawanan pada
simbol-simbol dominan dalam masyarakat dan untuk menyatukan kelompok-kelompok yang
melawan simbol dan ide-ide tersebut. Baju merupakan simbol penting dari
identitas kolektif karena itu dapat membangkitkan rasa kebanggaan dan kebersamaan
sebagai komunitas.
Kalau baju kotak-kotak Jokowi bisa
berkembang sebagai alat yang menyatukan perlawanan pada segala sesuatu yang
dianggap sebagai simbol status quo, maka penguasa politik mana yang tidak cemas dengan gejala ini?
Untuk melengkapi tulisan ini mari kita simak apa kata Lady Gaga dalam lagunya FASHION dimana salah satu bait liriknya menyatakan : You are who you wear, it's true !
###########
Tentang Fashion : Membebaskan atau Menindas Perempuan ?
Gambar : davinanews.com dan fashioninpolitics.blogspot.com
Gambar : davinanews.com dan fashioninpolitics.blogspot.com