8 Maret kemarin dunia memperingati Hari Perempuan Internasional yang ditujukan untuk mengapresiasi kiprah perempuan di ranah publik. Ada banyak hari peringatan untuk perempuan, selain Hari Perempuan Internasional ada Hari Ibu, di Indonesia ada Hari Kartini. Kenapa perempuan begitu diistimewakan? Mengapa tidak ada Hari Bapak atau Hari Laki-laki ?
Jawabnya karena dunia ini milik laki-laki…it’s a man’s world. Laki-laki sudah sejak lahir diberi hak istimewa untuk menguasai dunia. Segala kemudahan, akses, dan fasilitas disediakan keluarga, masyarakat dan Negara untuk mempersiapkan para lelaki mengisi posisi-posisi penting di ranah publik. Dunia perempuan adalah ranah domestik, ranah keluarga. Pembagian peran ini sudah berlangsung berabad-abad, sudah tradisi bahkan diinternalisasikan sebagai suatu yang kodrati. Tapi ternyata pembagian peran gender ini bukan sesuatu yang kodrati, karena tidak semua perempuan bisa atau mau menerima dikerangkeng dalam kotak peran yang rigid. Perempuan adalah manusia yang mempunyai potensi dan keinginan yang sama dengan manusia laki-laki.
Ketika dunia luar (sektor publik–politik dan dunia kerja), berkembang semakin beragam, dinamis dan kompleks dan akses pendidikan dibuka luas bagi perempuan, perempuan menjadi tidak lagi puas selamanya dibatasi dalam peran domestik, pada urusan seputar dapur, sumur dan kasur. Banyak perempuan sarjana yang ingin mengabdikan ilmunya, maka dimulailah eksodus besar-besaran perempuan ke ranah publik. Dunia yang semula hanya diperuntukkan bagi laki-laki.
Kartini dijadikan hari khusus untuk diperingati di Indonesia, karena dia lah sosok perempuan yang sadar akan pentingnya pendidikan bagi kaumnya. Kartini adalah pelopor yang mendobrak pintu dunia pendidikan yang saat itu tertutup rapat bagi perempuan. Hari Perempuan Internasional adalah hari untuk menghormati para perempuan seperti Kartini, para perempuan yang berjuang bagi kesetaraan, keadilan dan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk mengabdikan segenap potensi dan kapabilitasnya demi kebaikan dan kesejahteraan umat manusia. Tidak ada ruginya membuka keran emansipasi bagi kaum perempuan. Bagi saya Kartini adalah perempuan inspirasional, karena ide-ide dan pemikirannya yang cemerlang maka saya saat ini bisa mengabdi sebagai pendidik dan mampu menuangkan ide di blog ini.
Di abad internet ini, masih banyak perempuan yang belum sepenuhnya lepas dari belenggu diskriminasi dan ketertindasan. Banyak Negara yang bertekad kuat mempertahankan system sosial budaya yang membatasi perempuan untuk berkontribusi di ranah publik. Namun ternyata kendala apapun tidak bisa membunuh semangat perempuan untuk maju. Berikut ini sosok-sosok perempuan yang dengan gagah berani meneriakkan tuntutan akan kesetaraan dan keadilan gender.
Aung San Suu Kyi
Pemimpin perempuan pro-demokrasi Birma atau Myanmar yang memberi contoh pada dunia tentang gaya politik yang berwajah perempuan : sabar, pelan, tabah , tidak gampang putus asa dan anti kekerasan. Itulah strategi politik yang ditempuh Suu Kyi dalam menghadapi rezim diktator yang brutal.
Kisah hidup Aung San Suu Kyi memberi pelajaran hidup yang berharga : orang tidak harus menjadi keras dan kejam untuk menjadi kuat …You don’t need to be fierce to be strong. Puluhan tahun dipenjara , diperlakukan tidak manusiawi, dipisahkan dari anak dan suami, tidak mampu memupus semangat perempuan ini untuk melawan pemerintahan otoriter. Keberanian untuk merobohkan rezim militer tumbuh dari keyakinan Suu Kyi bahwa , pada akhirnya, tidak ada junta yang bisa melebihi kekuatan atau semangat rakyat untuk meraih kebebasan. … no junta is stronger than a people's yearning to be free. Suu Kyi terjun ke dunia politik tidak didorong motif meraih kekuasaan pribadi, tidak juga karena memperjuangkan suatu ideologi. Hanya satu misinya yaitu mewujudkan hak rakyat untuk memerintah sendiri dan yakin bahwa demokrasi adalah sarana bagi masyarakat yang bebas untuk mewujudkan masa depan bersama (guardian.co.uk ).
Sosok Aung Sang Suu Kyi menjadi bukti nyata bahwa perempuan bukanlah makhluk lemah, yang harus dilindungi dan dibatasi geraknya di seputar urusan rumah tangga. Perempuan punya kekuatan dan daya tahan yang luar biasa serta kemampuan politik yang tidak kalah dengan laki-laki.
Shirin Ebadi
Shirin Ebadi adalah seorang hakim perempuan di Iran. Dia menjadi hakim perempuan pertama di Iran saat berusia 23 tahun dan juga perempuan Muslim pertama yang menerima Nobel Perdamaian. Penghargaan Nobel diberikan karena perjuangannya membela hak-hak asasi manusia, khususnya kaum perempuan di Iran (guardian.co.uk). Pada awalnya, Ebadi adalah pendukung revolusi Iran, tapi dalam perkembangannya dia beralih haluan menjadi penentang rezim setelah melihat ketidakadilan yang dialami perempuan, termasuk pengalamannya pribadi. Ebadi dipindahkan ke bagian administrasi, karena rezim yang berkuasa berpandangan perempuan tidak pantas menjadi hakim. Diadministrasikan justru membuka peluang Ebadi untuk membuka bantuan hukum khusus mendampingi kasus hukum mereka yang mengkritisi pemerintah atau anak korban kekerasan. Karena aktivitasnya ini, Ebadi masuk ke dalam daftar orang yang harus dimusnahkan. Ancaman keamanan yang bertubi-tubi akhirnya memaksanya mengasingkan diri ke luar negeri. Di usia 63, Ebadi tetap memperjuangkan hak kaum perempuan lewat tulisan dan kuliah yang dia lakukan dari Inggris
Malalai Joya
Malalai Joya adalah politisi dan pejuang hak asasi manusia dari Afghanistan (guardian.co.uk ). Saya mengagumi perempuan ini karena keberaniannya mengemukan pikiran dan pendapat dalam upaya memperjuangkan perbaikan nasib perempuan, sesuatu yang menjadi perjuangan klasik kaum perempuan sejak jaman Kartini hingga jaman internet sekarang ini. Kebebasan berpikir, berpendapat atau pun kebebasan mimbar menjadi hal yang given di Negara demokratis maju, namun jelas tidak bagi Negara seperti Afghanistan. Hanya perempuan dengan keberanian luar biasa yang nekat menyuarakan emansipasi perempuan di mimbar parlemen Afghanistan yang jelas-jelas didominasi laki-laki. Karena keberaniannya menyuarakan ketidakadilan dan penindasan terhadap kaum perempuan, Malalai Joya mengalami beberapa kali percobaan pembunuhan dan hingga saat ini harus hidup berpindah-pindah dari satu safe house (rumah perlindungan) ke safe house lainnya . Namun semua itu tidak menyurutkan semangatnya untuk memperbaiki nasib kaumnya. Tidak salah memang kalau perempuan satu ini dijuluki sebagai “perempuan paling berani di Afghanistan”.
Zaha Hadid
Zaha Hadid adalah contoh nyata dari sisi positif emansipasi : perempuan bila diberi kesempatan yang luas untuk mengembangkan potensinya, dia bisa menghasilkan karya yang luar biasa dan mendatangkan manfaat bagi kemajuan peradaban manusia. Zaha Hadid adalah ratu arsitektur dari Irak yang membangun bangunan-bangunan fenomenal di berbagai belahan dunia. Hadid (60 tahun) lahir dan dibesarkan di Irak, pada tahun 1971 pindah ke Britain. Di Negara barunya ini dia bisa dengan maksimal mengembangkan potensinya yang brilian. Berbagai penghargaan bidang arsitektur berhasil digondol Hadid , diantaranya, dia adalah perempuan pertama yang mendapatkan penghargaan arsitektur bergengsi Pritzker Prize di tahun 2004. Tahun 2010 karyanya Maxxi museum di Roma berhasil memenangkan Stirling Prize. Arsitektur bangunan karya Hadid bercirikan modern, futuristik dan sekaligus indah. Jika ingin tahu bagaimana karyanya bisa klik http://www.zaha-hadid.com/archive/.
Setelah membaca kisah hidup para perempuan di atas, saya berkesimpulan emansipasi kaum perempuan seharusnya tidak harus direspon secara negative thinking. Tuntutan untuk memberi kesempatan berkarya di ranah publik bagi perempuan jangan dipandang sebagai ancaman bagi eksistensi dan kuasa di wilayah-wilayah yang selama ini menjadi domain kekuasaan laki-laki. Perubahan tuntutan hidup yang semakin kompleks tidak memungkinkan laki-laki untuk berperan sebagai aktor utama dalam dunia kerja. Perempuan adalah partner yang bisa melengkapi dan memperkuat posisi laki-laki. Laki-laki dan perempuan yang kerja bareng bahu membahu akan mampu membangun peradaban yang lebih baik. Emansipasi sendiri hendaknya lebih dipahami sebagai kehendak bebas (free will) yang disodorkan ke perempuan. Intinya, perempuan diberi kebebasan untuk memilih jalan hidup mana yang akan dijalaninya. Mau menjadi apa dan siapa, keputusan sepenuhnya diserahkan perempuan. Apakah menjadi ratu rumah tangga atau berkiprah di dunia kerja ataupun kedua-duanya …it’s okey , sepanjang itu mendatangkan kenyamanan dan kebahagiaan.
Tapi ada satu hal yang perlu juga diingat oleh kaum perempuan, bahwa mereka mengemban tugas mulia : melestarikan keberadaan manusia di bumi. Artinya setinggi-tingginya mereka terbang menggapai cita-cita , ada tanggungjawab dan peran mereka yang tidak bisa dilimpahkan kepada kaum laki-laki yakni hamil dan melahirkan. Kalau semua perempuan mengejar karier dan membuat pilihan bebas untuk hidup untuk kenyamanan dan kebahagiaan dirinya sendiri, terus gimana dong masa depan spesies manusia ?
Jadi gapailah cita-citamu setinggi langit, wahai perempuan. Tapi ingat ada SabdaNya yang itu menjadi tanggungjawab kodrati yang diletakkan di pundakmu : penuhilah bumi ini dengan keturunanmu. Tidak berarti perintah ini harus dimaknai sebagai semangat untuk memproduksi anak sebanyak-banyaknya demi melipatgandakan jumlah umatNya dan menjadikan peran perempuan sebatas seperti ayam petelur. Tidak seperti itu. Sabda ini saya kutip untuk mengingatkan bahwa emansipasi tidak harus diartikan sebagai penghapusan fungsi reproduksi dan domestik dari daftar peran perempuan. Sebab kalau ini yang terjadi, maka musnah pula misi keberadaan manusia di bumi. Dampak negatif emansipasi yang seperti ini yang seharusnya dicegah agar tidak terjadi.
Gambar :
Aung San Suu Kyi - Time
Shirin Ebadi - guardian.co.uk
Malalai Joya - peacealliancewinnipeg caZaha Hadid - mattersoftaste.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar