Dari tanggal 15 sampai 17 Juli 2016 saya mengikuti seminar internasional di Kota Kunming China. Di luar acara resmi presentasi makalah ilmiah, saya sempatkan mengamati dan mengenali kota ini. Kota Kunming adalah ibukota Provinsi Yunnan di barat daya China atau Tiongkok yang dikenal sebagai kota sejarah dan budaya sehingga menjadi salah satu destinasi wisata yang terkenal di China. Berikut ini beberapa hal unik dan menarik dari kota ini :
Kota yang tengah bersolek
Kesan pertama dari suatu kota adalah wajah fisiknya. Kota Kunming menjadi bukti nyata dari semangat Pemerintah China membangun wajah kota kosmopolitan. Sepanjang perjalanan dari Bandara Kunming menuju lokasi penginapan di Dianchi Garden Hotel and Spa terpampang pemandangan bangunan gedung-gedung tinggi menjulang. Jalan layang megah melingkar-lingkar. Taman - taman tertata apik dan indah, sejuk dipandang mata. Sayangnya gedung-gedung yang megah terkesan dibangun tanpa konsep yang matang. Bentuk bangunan yang monoton kubus-kubus menjadikan wajah pusat kota Kunming terkesan kaku, tidak artistik, dan tidak berkarakter.
Minim Billboard
Tidak seperti lazimnya kota-kota besar, Kota Kunming relatif bersih dari billboard dan baliho iklan , khususnya produk Barat. Beberapa papan reklame menampilkan produk lokal China. Disini gerai McDonald, KFC, Pizza, dan franchise branded lainnya sangat jarang ditemui. Tulisan yang terpampang di gedung-gedung, toko-toko, dan iklan di tempat umum semua pakai huruf kanji.
Kota musim semi abadi
Hal yang berkesan dan tak terlupakan selama kunjungan ke Kunming adalah kenyamanan iklim dan suasana yang serene – pemandangan dataran tinggi yang indah, tenang, adem dan sejuk. Cuaca di Kunming sangat nyaman, tidak pernah sangat dingin atau pun sangat panas. Bunga-bunga warna warni tumbuh subur sepanjang tahun karena itulah Kunming disebut sebagai kota musim semi abadi.
Danau Dianchi
Selama di Kunming saya menginap di Dianchi Garden Hotel and Spa yang berlokasi di tepian Danau Dianchi atau dikenal juga sebagai Danau Kunming. Danau Dianchi adalah danau air tawar terbesar di Yunnan yang terletak di sebelah barat daya Kunming. Usia danau ini sudah sangat tua, diperkirakan 3,5 juta tahun. Terletak di dataran tinggi, danau ini mendapat sebutan “Mutiara di dataran tinggi” (A Pearl on the Plateau). Beruntung sekali hotel tempat saya menginap berada di tepian persis danau Dianchi. Pemandangan ketenangan danau terpapar jelas dari jendela kamar saya. Untuk menikmati keindahan danau, di sekitar tepian danau disediakan jembatan-jembatan kecil, tempat duduk dan ayunan.
Ada makanan yang bikin shock
Makanan Kunming tidak jauh beda dengan menu yang ditawarkan di restoran chinese food : bebek Peking, jejamuran, aneka mie, bak pao, dan sebagainya. Menu ini juga yang tiap hari ditemui di restoran hotel. Masakan dengan bahan tahu juga terlihat di deretan makanan yang tersaji, yang tidak saya temukan tempe. Nampaknya tempe memang khas Indonesia yang sulit didapatkan di negara lain. Selama di Kunming peserta seminar dari Indonesia secara khusus dijamu oleh panitia seminar dengan masakan halal. Saat jamuan makan di rumah makan halal - beberapa meter di samping hotel Dianchi - kami dibanjiri dengan menu yang melimpah. Ada makanan sejenis mie dengan porsi yang menurut ukuran orang Indonesia bisa untuk 2-3 orang, tapi seorang dosen setempat ternyata masih minta nambah lagi satu mangkok dan dimakan habis. Makanan yang tersaji selama jamuan makan untuk tim delegasi hampir semuanya enak-enak, namun ada satu suguhan yang benar-benar bikin kaget, karena -menurut kita - bukan makanan yang lazim disajikan untuk tamu . Pada mulanya kami tidak menyadari keanehan menu ini karena tersaji dalam satu piring dan berbaur dengan lauk pauk lainnya. Tapi begitu kita amati dari dekat langsung saja bulu kuduk berdiri, ternyata yang hampir saya masukkan ke mulut adalah sejenis ulat dan kepompong (enthung- bahasa Jawa) goreng. Soal kebiasaan orang China makan berbagai serangga sebenarnya sudah saya ketahui dari berbagai media, namun saya tidak mengira kalau jenis makanan yang menjijikkan ini muncul dalam jamuan makan resmi.
Perempuan-Perempuan yang fashionable
Pengaruh Barat yang sangat nyata di China saya temukan di gaya berpakaian para perempuan. Gaya berbusana model Barat (western styles) nampaknya sangat disukai anak muda kota-kota besar di China. Sejak masuk di bandara Xiamen sampai ke Kunming banyak sekali saya berpapasan dengan cewek memakai hot pants super minim dengan model beraneka ragam. Perempuan tengah baya bahkan ibu-ibu dengan nyaman dan percaya diri berbusana model punggung terbuka atau mempertontonkan kemulusan tubuh mereka. Baju mini juga dikenakan dosen pembawa acara di event seminar internasional yang saya ikuti. Tidak terbayang di event formal seminar ilmiah di Indonesia pembawa acaranya memakai rok mini yang memperlihatkan kemulusan paha dan kakinya. Rok mini di Indonesia hanya dipakai ABG jalan-jalan ke mall.
Perempuan-perempuan perkasa
Yang paling menarik dari Kunming adalah banyak perempuan yang berprofesi sebagai sopir transportasi umum. Sopir bis pariwisata yang mengantar rombongan kami tour ke Stone Forest adalah perempuan usia sekitar 50 tahunan. Selama mengelilingi Stone Forest sopir mobil listrik juga perempuan semua. Menurut Chen dan Kanna (2012) sebelum Reformasi China di tahun 1978 hanya elit politik China dan orang asing yang naik mobil dan taksi dan untuk menjadi sopir orang harus ikut les selama 1 tahun penuh. Sekarang orang bisa jadi sopir jika telah mempunyai pengalaman mengemudi selama 3 tahun dan tidak memiliki catatan kecelakaan. Di bawah usia 60 tahun untuk laki dan 55 tahun untuk perempuan. Tidak seperti di kota-kota besar di dunia dimana sekitar 99% sopir taksi atau bus kebanyakan laki-laki, di Kunming 1 dari 5 sopir taksi adalah perempuan. Prosentase sopir taksi perempuan yang cukup besar juga tidak lazim di kota-kota di China lainnya.
Stone Forest
Berkunjung ke Kunming terasa kurang lengkap tanpa singgah ke Stone Forest - destinasi wisata yang menjadi icon Provinsi Yunnan, selain Danau Dianchi. Stone Forest atau Shilin dalam bahasa China merupakan formasi bebatuan raksasa menjulang tinggi dengan beraneka bentuk : ada yang berbentuk stalagmit , binatang, dan bentuk pepohonan sehingga disebut sebagai hutan batu. Stone Forest merupakan bebatuan purba, usianya diperkirakan lebih dari 270 juta tahun. Dulunya bebatuan ini berada di bawah permukaan air laut yang terangkat ke permukaan karena gempa besar yang melanda China di masa lalu.
Stone Forest benar-benar terawat dengan baik. Pada saat saya hendak berfoto di hamparan rumput dekat bebatuan, pemandu wisata dengan tegas meminta saya segera keluar dan tidak menginjak rerumputan. Saya juga melihat tidak ada corat-coret di bebatuan. Semua batu dalam kondisi bersih. Stone Forest memang benar-benar destinasi wisata yang sangat menarik. Tidak salah kalau Pemerintah China mengklasifikasikan Stone Forest sebagai destinasi wisata level AAAAA (A5) atau tempat wisata dengan tingkat atraktif paling tinggi.
Lain ladang , lain belalang. Tiap negara memiliki keunikannya sendiri. Datang dan melihat langsung Kota Kunming dan Stone Forest di Provinsi Yunnan China membuat saya semakin menghargai keragaman kultur dan kekayaan alam anugerahNya.
Referensi :
https://www.travelchinaguide.com/attraction/yunnan/kunming/dianchi.htm
Xiangmin Chen dan Ahmad Kanna. Eds. Rethinking Global Urbanism: Comparative Insights from Secondary Cities. Routledge. New York.2012.
https://www.travelchinaguide.com/attraction/yunnan/kunming/dianchi.htm
Xiangmin Chen dan Ahmad Kanna. Eds. Rethinking Global Urbanism: Comparative Insights from Secondary Cities. Routledge. New York.2012.